2. Such A Good Liar

2.7K 459 393
                                    

Jimin tidak begitu mengingat bagaimana bibir itu bergerak menyuarakan nama kakaknya—Park Namjoon. Atau barangkali tak sempat melihat bagaimana bibir tersebut mengucap. Ia kalut dengan pikiran yang sedari tadi menggerayangi kepalanya layaknya potongan film horror yang dipertontonkan oleh Jungkook saat malam tahun baru. Melewati pergantian tahun dengan jerit ketakutan yang keluar dari bibir tebalnya, sedangkan kedua sahabatnya itu duduk santai mengapit Jimin yang tengah berupaya menutupi wajah dengan bantalan sofa.

Ah, perihal kejadian itu, sebaiknya anggap saja sebagai kepingan mimpi yang harus dilupakan secepat mungkin. Dan ada baiknya jika Jimin hanya memusatkan pikirannya pada gadis yang ia temui di bawah pohon trembesi beberapa saat yang lalu. Senyum yang sempat tersemat di bibir merah itu membuat Jimin berkali-kali menyadarkan diri agar tidak terpincut oleh yang namanya wanita. Ia tidak ingin jatuh kembali dan melukai hati untuk yang kedua kalinya. Biarkan Anha menjadi garis kegagalan yang terakhir Jimin alami.

Setelah mendengar Ash yang berucap demikian—bahwa Namjoon sedang menunggunya di rumah, lekas saja Jimin mendehem lalu bangkit sembari menyampirkan ranselnya ke punggung. Mengucap kalimat perpisahan dan melangkah menjauhi tempat itu.

Sebelum benar-benar menjauh, Jimin sempat menoleh ke belakang, hanya untuk menatap kembali manik pekat Ash yang menggiring di setiap langkah yang ia ambil. Tanpa sadar salah satu tangannya terangkat ke atas, melambai beberapa kali sembari mengulas seutas senyum. Tubuh boleh berbohong, namun hati tidak akan pernah bisa. Jimin ingin bertemu dengan Ash lagi. Entah besok, lusa atau kapan pun. Yang terpenting, ia akan menunggu hari itu datang menghampirinya.

Kini, kakinya yang masih terbungkus oleh sepatu kets putih itu menginjak pekarangan rumah. Tiba tepat di saat matahari hampir kembali keperaduannya di ufuk barat. Deru angin mengisi rungu, lengkap dengan kicauan burung yang seolah-olah memanggil sanak keluarganya agar kembali ke hangatnya sarang yang mereka buat di dahan pohon.

Jimin dapat melihat dengan jelas bahwa lampu di penjuru rumahnya telah menyala dengan terang, kecuali kamar miliknya. Sejak dua tahun yang lalu, Namjoon memang tidak pernah menginjakkan kaki ke dalam kamarnya. Biasanya, kakak laki-laki Jimin itu paling tidak tiga kali sehari akan memasuki kamarnya. Yang pertama untuk membangunkan Jimin. Kedua, untuk memastikan jendela terkunci rapat sebelum dirinya berangkat bekerja. Dan yang terakhir saat memanggil Jimin turun untuk makan malam.

Meraih kunci rumah yang sempat ia selipkan ke dalam ransel, Jimin memasukkan benda kecil tersebut ke dalam lubang, lalu memutarnya dengan perlahan. Mengacuhkan gonggongan anjing milik Namjoon yang bernama Monie. Anjing dengan ras golden retriever itu nampaknya tengah kelaparan. Namun, sepersekon kemudian, ia tak bersuara lagi. Untuk memastikan, Jimin menolehkan kepala. Ternyata Monie lebih memilih kembali ke dalam rumah miliknya dan merebahkan diri. Mungkin lelah dan tidak memiliki tenaga lagi.

Kunci kembali diputar. Jimin sudah menyiapkan diri untuk memperkuat benteng pertahanannya. Kontrol ekspresi wajah, itu penting. Dan ia pun akhirnya mendorong pintu yang dicat putih tulang itu dengan cukup kuat hingga membuat seseorang yang tengah duduk menatap cemas ke arah jam dinding terkaget, cepat-cepat menarik selembar koran di atas meja dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Jimin melihatnya. Melihat bagaimana raut cemas tersemat di wajah Namjoon. Satu detik yang cukup melegakan hatinya. Memberikan sebuah tanda bahwa sang Kakak masih peduli terhadapnya. Namun, Jimin tetaplah Jimin. Ia tidak akan bersikap lemah. Ia sudah besar, dan egonya semakin tinggi.

Jendela sudah tertutup oleh tirai cokelat yang menggantung, pemanas ruangan dihidupkan bersamaan dengan deru kipas angin yang berputar di atas langit-langit. Jimin melepas sepasang sepatunya dan menyimpannya di dalam rak. Irisnya secara tak sengaja melihat kilauan dari pantofel milik Namjoon yang berada dua baris di atasnya.

Unseen, Before You Fall | ✔Where stories live. Discover now