10. Binar Mata

81.1K 5.8K 160
                                    

Aku baru tau alasan Mas Hasyim mengajakku menginap di hotel mewah ini. Alasannya adalah, karena kami belum belanja kebutuhan nutrisiku saat hamil. Menurut suamiku, lebih baik berada di Surabaya lebih lama asal semua yang kubutuhkan -merangkap yang kuinginkan- bisa didapat tanpa ada yang tertinggal.

Usai mandi sore tadi, aku mengenakan pakaian hamil yang baru saja dibeli. Mas Hasyim mengajakku shalat dikamar berdua. Usai shalat Ashar, Mas Hasyim memintaku berbaring dipangkuannya.

"Mas mau ngapain?" tanyaku namun tetap bergerak menuruti perintahnya. Kini, aku sudah merebahkan tubuhku berbantalkan pangkuannya.

"Aku mau mengaji." Kulihat ia membuka ponsel dan aku terkesiap kala satu tangannya ia letakkan diatas perutku.

Aku tersenyum saat ayat demi ayat Mas Hayim lantunkan. Merdu dan menenangkan. Inilah yang Abah banggakan dari suamiku. Abah pernah beragumen saat aku menolak dinikahkan dulu. Kata Abah, Mas Hasyim adalah pria yang sempurna untuk dijadikan suami. Agamanya baik, sikapnya baik, keluarganya baik, dan hartanya ... sangat baik.

Namun mendengar penuturan Aisyah tempo lalu, membuat satu pertanyaan menggelayuti pikiranku hingga saat ini. Apa yang membuat Shafira pergi?

"Mas, aku mau beli banyak camilan." Aku berkata saat ia baru saja selesai mengaji.

Mas Hasyim mengangguk tanpa menolehkan pandangannya dari ponsel.

"Apa kita ... belanja perlengkapan bayi juga?" tanyaku lirih.

Ia melirikku sesaat sebelum fokusnya beralih pada kotak donat yang berada diatas nakas. "Nanti saja," ucapnya seraya menikmati donat yang kubeli di Tunjungan Plaza tadi.

Usai menghabiskan sore di kamar hingga petang, kini aku dan Mas Hasyim tengah dalam perjalanan menuju supermarket. Entah mengapa, menghabiskan waktu berbelanja dan jalan-jalan seperti ini membuat perasaan dan moodku menjadi baik. Kelip lampu malam hari menambah keindahan yang memendarkan penatku.

Sepintas aku melirik Mas Hasyim yang fokus mengemudi ditengah padatnya lalu lintas Surabaya malam ini. Aku mengingat kejadian sore tadi setelah mandi. Pria ini bertekuk lutut dan mengalirkan rasa baru yang tak ku kenal. Rasa ini bukanlah gairah. Saat kelembutannya menyentuh kulit perutku, ada rasa sesak yang entah berasal dari mana. Aku seperti ingin menangis, antara bahagia dan menyesal tak memberinya kesempatan selama ini.

"Mau makan apa?"

"Eh?" Aku menoleh pada Mas Hasyim. "Mas tadi bilang apa?"

Kendaraan Mas Hasyim berhenti di lampu merah. Ia menoleh padaku dan menatapku lekat, "Mau makan apa?"

Mulutku menggumam "Oh" dengan lirih. "Ehm ..., sebenarnya Hasna mau makan es di Zangradi. Tapi karena sudah malam, Mas pasti tidak mengizinkan. Jadi---"

"Yasudah kita kesana," sela Mas Hasyim dan aku sontak menganga memandangnya. Jujur aku terpana dengan sikapnya yang tidak melarangku mengkonsumsi apapun. Padahal jika dirumah, dengan keras dan tegas ia memintaku mengkonsumsi sayur organik, ayam kampung dan makanan bergizi lainnya.

Jadi ..., wajar kan jika aku merasa seperti di surga dengan segala kuliner yang bisa kunikmati sepuasnya?

"Lho, Mas, kok berhenti disini? Katanya makan es?" Kendaraan Mas Hasyim berhenti di depan depot sate kelapa, alih-alih kedai es legendaris itu.

"Makan berat dulu baru kita beli esnya," jelas Mas Hasyim yang sibuk melepas sabuk pengamannya dan milikku.

Aku tersenyum samar, berusaha menutupi bahagiaku. Mas Hasyim membuka pintu mobil dan membantuku turun. Refleks aku melingkarkan tanganku dilengannya. Sepintas kurasakan ia menoleh padaku. Namun, mataku tetap fokus mencari meja kosong didalam depot sate kelapa itu dan berusaha tidak menghiraukannya.

When I Know, It Was You (Complete)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ