EPILOGUE #1: TELEPON BELLA

198 23 0
                                    

Saat aku sedang meyakinkan Tante Eli untuk pulang dengan segera, aku mendapat panggilan telepon dari nomor yang tidak kukenal. Aku mengerutkan dahi melihat nomor tanpa nama yang tertera di layar ponsel pintarku. Aku menekan tombol hijau dan menggesernya, lalu menempelkan ponselku ke telinga.

“Halo.”

“Hai.”

Aku mengerutkan dahi. Bella?

Ini Bella,” katanya di seberang sana, tepat seperti dugaanku.
.
.
.

“Oh, iya, Bella. Ada apa?” tanyaku langsung. Setelah pengalaman yang sudah-sudah, aku menjadi takut dengan apa yang akan Bella katakan. Tidak pernah ada hal baik yang aku dengar dari Bella.

“Gue mau pamit,” jawabnya.

Aku terperanjat mendengar jawabannya.

“Sampai akhir gue nggak akan minta maaf sama lo, karena gue sama sekali nggak menyesali tiap perbuatan dan perkataan yang gue lontarin ke lo. Tapi, gue mau ngucapin..... terima kasih.”

“Ya?” aku bertanya kaget, takut salah mendengar kata-kata Bella yang sepertinya amat janggal keluar dari mulutnya.

“Makasih karena lo udah datang ke hidup gue dan bikin gue sadar dan berani untuk ngelepas Saka.” Bella berkata cepat, “Walaupun awalnya  gue marah, tapi akhirnya gue malah ngerasa lega. Gue sadar selama ini gue terlalu terobsesi sama Saka yang bikin gue ngelupain hakikat sebenarnya dari mencintai.”

Aku menelan ludah, pebicaraan ini ternyata lebih serius dari yang kukira. Jujur saja aku bukan orang yang suka membicarakan sesuatu yang penting di telepon. Aku lebih suka bertemu langsung dan bertatap muka, jadi aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi dan emosinya saat mengatakan hal serius itu.

“Lima hari setelah gue ngomong sama lo sore itu. Gue selalu kepikiran untuk ngehancurin kalian berdua. Tapi makin lama gue mikirin itu, gue malah makin ngerasa nggak tenang.... terus gue coba untuk merelakan, menerima, kalo gue emang nggak bisa bareng Saka.... mendadak ide untuk ngehancurin lo berdua itu kedengaran bodoh.”

Bella diam sebentar, aku tidak yakin apa yang terjadi padanya di seberang sana.

“Ngeliat lo bisa dengan mudah maafin Saka atas kecelakaan nyokap lo, bikin gue sadar, kalo gue juga harus bisa merelakan Saka dan biarin dia nemuin hidupnya lagi.”

Aku terperanjat mendengar suara Bella yang bergetar, “Bell, lo gak pa-pa?”

“Gue sayang sama Saka.” Kini aku bisa mendengar isakannya, “Dan gue mau dia bahagia. Gue tau diri, gue bukan orang yang bisa bikin dia bahagia seingin apapun gue untuk ngebahagiain dia.”

Pedang sedingin sembilu menusuk jantungku mendengar Bella berkata begitu. Aku sadar saat ini betapa Bella mencintai Saka. Aku bukan tipe orang yang mudah bilang ‘cinta’, bahkan sering kali aku menemukan diriku merasa geli saat membicarakannya. Tapi hari ini aku bisa melihatnya dengan jelas dalam diri Bella, sejelas matahari di hari yang cerah tanpa awan.

“Gue pamit. Salam untuk Saka. Gue akan pegang janji gue di awal untuk ada dipihak Saka sekarang untuk gagalin rencana Tante Lidya. Setelahnya gue akan serahin sisanya ke lo. ”

“Lo mau ke mana?” tanyaku pelan.

Aku mendengar Bella tertawa lirih, “Nyari hidup gue, Ta. Selama ini gue terlalu fokus sama Saka sampai lupa sama hidup gue sendiri. Thanks, Ta. Semoga kita bisa ketemu di waktu lain. Dan sori karena gue ngomongnya lewat telepon, gue nggak punya keberanian untuk ngadepin lo... bye.”

Bella memutus hubungan teleponnya sebelum aku mengatakan hal lain. Aku menatap layar ponselku, masih tercengang dengan pernyataan Bella. Benarkah yang baru saja meneleponku adalah Bella? Kalau iya, aku benar-benar merasa lega. Kukira Bella tidak akan pernah benar-benar merelakan Saka. Kukira Bella akan terjebak bersama dendamnya itu. Tapi mendengar kata-kata Bella di telepon barusan benar-benar melegakanku karena akhirnya Bella bisa mengikhlaskan Saka dan kembali ke hidupnya.

Aku masih memandangi ponselku dan belum sembuh dari keterkejutanku saat pintu di belakangku terbuka dan Dio muncul di ambang pintu. []

Last epilogue will be updated next night! Wait for that...

Malam&Kamu [Selesai]Where stories live. Discover now