First Season • Bab XVI

109K 4.8K 171
                                    

    Uap panas mengepul dari secangkir teh yang dihidangkan. Menghangatkan ruang kerja yang ditata sederhana namun terlihat apik.

  "Silakan. Ayo, diminum dulu," ujar Ferryadi dengan ramah. Dia seorang pria berusia 55 tahun, yang sekarang ini menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMU Cattleya.

  Ya, sekolah tempat Althair bersekolah. Si Bad Boy yang serba sesuka hatinya dan sudah berani mengacaukan upacara bendera di Senin pagi.

  Ferry mengusap - usap keningnya, tiba - tiba merasa pusing memikirkan kelakuan Althair yang naudzubillah min dzalik. Sempat berpikir kalau toh sewaktu muda dulu dia kerap dicap sebagai anak nakal, tapi kelakuannya tidak separah yang dilakukan Althair barusan.

  Ferry menghela nafas berat. Menatap iba pada sosok gadis yang sedari tadi duduk terdiam di ruangannya. Seolah membeku. Yah, wajar saja. Siapa yang tidak shock kalau secara tiba-tiba dicium di depan seluruh sekolah sewaktu upacara bendera berlangsung.

  Setelah beberapa kali menghela nafas, Ferry berjalan mendekati sofa dan duduk di depan muridnya. Dilihatnya teh yang dia suguhkan lima menit lalu masih belum tersentuh.

  "Alisha Keyra Zahrani, kelas XI - E, kan ?" sapanya dengan nada yang diusahakannya ceria. Sedang murid yang disapanya masih belum bereaksi.

  "Nak," Ferry menyentuh pelan bahu Alisha. "Coba diminum dulu tehnya. Mumpung masih hangat, biar perasaanmu lebih lega. Ya ?"

  Alisha mendongak, akhirnya memberi respon setelah sebelumnya hanya terdiam bak patung. Bibirnya bergetar, sedikit terbuka, seolah hendak mengatakan sesuatu. Tapi belum lagi Alisha sempat bersuara, terdengar keributan di luar pintu ruangan Kepsek. Menyusul kemudian pintu ruangan yang dibuka kasar.

  Althair berdiri di depan pintu, dibelakangnya nampak beberapa guru pria yang rupanya tadi sempat menahannya agar tidak masuk ruangan.

  "Ma, maaf, Pak Ferry. Kami tadi sudah mencoba mencegahnya masuk," lapor Pak Nanang, guru olah raga.

  Pak Ferry menanggapinya dengan mengangguk paham. Sambil memasang senyum, berkata, “Tidak apa – apa, Pak Nanang. Sudah tinggalkan saja, biar saya yang selesaikan.”

  "Cih ! Cerewet sekali," decak Althair sewaktu pintu ruang Kepsek kembali ditutup. Perhatiannya kemudian beralih pada Kepseknya. "Pilih mana : ingin tanganmu patah atau segera singkirkan tanganmu dari bahunya ?"

  Walau Althair mengatakan dengan nada tenang, namun Pak Ferry menanggapinya segera. Seolah tahu kalau Althair memang tidak main - main dengan ucapannya. Dia segera menarik tangannya yang tanpa disadarinya sedari tadi masih bertengger diatas bahu Alisha.

  "Sabar dulu, Althair," ujarnya, beringsut berdiri dan berjalan mendekati Althair. "Ayo, duduk dulu. Kita bicara baik - baik."

  "Aku tidak ada urusan denganmu, Fer. Urusanku dengannya. Jadi, cepat keluar," perintah Althair, membuat Alisha melongo mendengarnya.

  Hei, itu Kepsek lho yang diajak bicara.

  "Althair, kamu lihat sendiri bagaimana keadaannya setelah kelakuanmu tadi. Lihat, dia masih shok," debat Pak Ferry. Anehnya, tidak merasa tersinggung sedikitpun dengan sikap Althair.

  Althair menatapnya tajam, lalu dengan ketenangan yang sama, berkata," Jangan buat aku mengulangi perintah dua kali. Keluar kamu, Fer."

  "Zack, please. Ini sekolah," ujar Pak Ferry dengan nada putus asa.

  "SEKARANG !!!"

  Sambil meneguk ludah dengan gugup, Pak Ferry menoleh kepada Alisha. "Yang sabar ya, Sha," ucapnya dengan sorot mata kasihan. Lalu saat berikutnya, bisa dibilang dia hampir berlari keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang lagi - lagi melongo.

  Ini dia yang cengo atau apa ?! What the hell !!!

  "Mau melongo sampai kapan ?! Hmm ?!" tanya Althair, bersandar santai pada pintu ruang Kepsek yang sudah tertutup kembali.

  Alisha segera menutup mulutnya. Bibirnya menipis. Wajahnya yang semula pucat perlahan memerah. Marah. Apalagi melihat Althair yang terkesan santai dan tidak bersalah.

  "Sialan kamu, Althair ! Apa sebenarnya yang ada dalam pikiranmu, hah ?!!" hardik Alisha, melemparkan bantal sandaran sofa yang dengan mudah dielakkan Althair.

  "Memangnya kamu pikir aku ini apamu ?!! Seenaknya saja kamu berbuat seperti itu !!!" sambung Alisha, terus melemparkan sisa bantal sandaran sofa. “Sialan kamu, Althair ! Jahat !!!”

  Alisha terengah, mengatur nafasnya setelah beberapa saat meneriaki Althair. Sementara Althair hanya melihatnya dengan ekspresi yang tidak berubah, tetap saja tenang.

  “Sudah ?” tanyanya dengan santai, seolah Alisha tak lebih dari sekedar seorang anak kecil yang sedang ngambek. “Marah – marahnya sudah atau belum ? Kalau belum, lanjutkan saja. Aku dengarkan sampai puas. Nggak masalah kok.”

  Belum selesai dia bicara, sebuah sepatu melayang ke arahnya. Beruntung bisa dia tangkap sebelum mengenai mukanya.

  Alisha tidak sadar sudah melemparkan sebelah sepatunya saking jengkelnya. ‘Bagus,’ pikirnya kecut. ‘Sekarang sepatuku dipegangnya.’

  “Kembalikan !” ujar Alisha, memalingkan muka dan mengulurkan sebelah tangannya. “Kembalikan sepatuku, Althair. “

  “Kembalikan ?!” sebelah alis Althair terangkat. “Setelah tadi kamu lempar mukaku dengan sepatu, sekarang kamu minta dikembalikan ?! Are you serious, Alisha ?!”

  Menarik nafas dalam, kali ini Alisha memandang langsung pada Althair. “Nggak sengaja. Sori,” ujarnya singkat. “Nah, sekarang kembalikan, Althair. Lempar saja kesini.”

  “Huh ?! Sayangnya aku tidak punya hobi melempar – lempar barang,” dengusnya disertai tawa kecil. “You want it ? So come here to take it.”

  Alisha menggigit bibirnya. Ragu. Antara ingin mengambil sebelah sepatunya atau keengganannya mendekati Althair. Cemberut, akhirnya Alisha berjalan mendekati Althair sambil berkata, “Jangan macam – macam, Althair.”

  Seulas senyuman tidak dapat ditahan lagi oleh Althair. Melihat Alisha yang bimbang dengan wajah cemberut, terlihat lucu baginya. “Aku memang nggak mau macam – macam denganmu kok, Sha.”

  Ditimang – timangnya sebelah sepatu yang ditangannya, seolah hendak mengiming – imingi Alisha agar mendekat padanya.

  “I just want one thing : You !”

  Lalu seolah tanpa dosa, Althair melemparkan sebelah sepatu Alisha keluar jendela, mengambil kesempatan Alisha yang terkejut menyaksikan sepatunya melayang pergi, dengan segera meraih tangan Alisha dan menariknya dalam pelukan. Tidak butuh waktu lama, Althair segera menikmati sepasang bibir ranum Alisha. Lagi.

  Tubuh Alisha menegang karena terkejut, berusaha lepas dari pelukan Althair. Tapi yang ada, Althair justru merengkuh pinggangnya dan menariknya lebih erat. Sementara bibirnya terus dikunci oleh Althair yang menyesapnya dengan nikmat.

  "Eughmp... ahh ! Apa kamu sudah gila ?! Apa yang kamu lakukan, Al ?!!" teriak Alisha, mendorong tubuh lawannya dan melepas paksa tautan bibir mereka.

  "Bukankah kemarin sudah kukatakan kalau kamu harus bertanggung jawab ?" segaris senyum miring bermain di bibir Althair.

  "Ini salahmu, Alisha. Aku sudah terlanjur menyukai manisnya bibirmu."

🦀🦀🦀

First published : 24 Januari 2019
Revisi : 25 November 2019

Salam sayang,

~Rae~

 

ShotgunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang