1. Nol Bernilai

143 1 0
                                    

          Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Istilah inilah yang sering diutarakan banyak orang tentang akan menjadi seperti apa putra-putri mereka. Ketika seorang ayah berprofesi sebagai polisi, dokter, hakim dan lain sebagainya, maka setiap sang ayah memandangi mata putra-putrinya dengan  perasaan kasih sayang, di saat itu pun orangtua mulai menanam bibit harapan dan impian bahwa putra-putri mereka harus seperti sang ayah.

          Joe, salah satu pemuda yang berpandangan bahwa dirinya harus menjadi seperti ayahnya. Dalam ilmu sosiologi, inilah yang disebut identifikasi. Ketika Joe umur dua tahun, ia selalu mengikuti ayahnya kemanapun pergi. Banyak hal-hal yang tidak biasa ia lewati bersama ayahnya yang tercinta. Dan peristiwa itupun kini selalu menjadi kebanggaan bahwa ternyata Joe bersama keluarganya mampu melewati titik-titik terendah tersebut. Pandangan Joe tentang karakter ayahnya menjadi cerminan ketika ia dewasa.

         Pohon-pohon rindang yang penuh dengan titik-titik embun serta suara ayam jantan menyambut terbitnya sang mentari. Kesibukan masyarakat desa pun menambah suasana desa yang semakin siang semakin sepi karena orang-orang sudah pergi ke kebunnya masing-masing. Hal ini yang menjadi ciri khas suatu desa yang masih memiliki budaya agraris. Seperti kemarin, hari ini, dan esok, rutinitas ini tidak pernah berubah. Rutinitas pagi di desa inipun membuat Joe si kecil ingusan mengikuti orangtuanya yang sedang sibuk mencari rerumputan untuk makanan sapi. Ayah Joe berjalan ke ladang rerumputan, sementara Joe harus berlari di belakang ayahnya yang berjalan cepat karena harus mengejar waktu untuk pergi ke kantor desa sebagai pelayan masyarakat. Ketika sampai di ladang, secara tidak langsung Joe telah belajar banyak hal. Meskipun masih kecil dan ingusan, ia tetap berusaha membantu ayahnya. Tidak seperti anak-anak kebanyakan yang seumuran dengannya, Joe sudah memiliki pandangan bahwa ia harus mampu meringankan beban orangtuanya.

        Memang ketika itu, Joe tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan ayahnya ternyata merupakan bentuk pelajaran hidup yang memang harus dihadapi. Ayah Joe memberikan Joe seekor sapi untuk dipelihara. Seketika itu, Joe menyayangi hewan peliharaannya dan bermimpi bahwa peliharaannya akan segera memiliki anak. Ini adalah cara sederhana seorang ayah mengajarkan anaknya tentang nilai tanggungjawab. Cara sederhana ini semakin lama sudah semakin hilang. Ketika Joe mulai menginjak sekolah dasar, maka Ayahnya meminta pertimbangan kepada Joe untuk menjual sapi peliharaannya untuk membeli buku dan pakaian sekolah. Memang Joe merupakan anak yang langka, selalu mengerti keadaan ekonomi keluarga. Bahkan uang jajan pun, Joe tidak pernah meminta kepada orangtuanya.

        Keadaan ekonomi seperti inilah yang membuat Joe harus memutar otak agar bisa seperti teman-teman sekolahnya setiap hari membawa uang jajan. Akhirnya, Joe yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar, menawarkan kerja sama dengan ibunya untuk menjual pisang goreng di sekolah. Tanpa pertimbangan yang panjang, maka esok harinya Joe mulai menjual pisang goreng. Hasil penjualan pisang goreng hari pertama sangat membuat ibunya bangga, bahkan mulai melihat peluang agar bisa mengumpulkan modal untuk membeli bibit babi untuk usaha ternak babi. Hari demi hari, seminggu, sebulan, dua bulan, enam bulan selalu menjual pisang goreng. Tentu hasil penjualan diberikan semua pada ibunya, dan akhirnya ibunya bisa membeli bibit ternak babi. Bahkan yang sebelumnya Joe membawa satu kantung plastik pisang goreng setiap harinya, Joe mulai menambah barang yang dijual yaitu kripik singkong hasil kerjasama dengan neneknya.

        Namun yang dilakukan oleh Joe tidak selalu berjalan mulus, sesekali ia hanya mendapatkan keuntungan kurang dari 30% dari hari biasanya. Bukan hal yang mudah untuk selalu konsisten dalam perubahan situasi menjadi lebih buruk. Tidak terpikirkan untuk anak seumuran Joe sudah memiliki pandangan bisnis bahwa konsistensi dalam berbisnis sangatlah penting. Tidak ada pelajaran tentang manajemen ekonomi, belum ada guru mengajarkan anak yang baru duduk di sekolah dasar tentang wirausahawan, bahkan tidak pernah ada tentang ilmu marketing. Murni yang dilakukan Joe adalah naluri seorang manusia yang berada dalam masalah ekonomi sehingga harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

        Sesuatu yang sangat sederhana yang dipikirkan oleh Joe. Sebelumnya, Joe pernah melihat ayahnya menjual sapi kepada saudagar. Dan ia berpikir bahwa menjual sesuatu pasti mendapatkan uang. Sederhana tapi memiliki makna yang mendasar dalam bidang bisnis. Itupun Joe lakukan karena ayahnya terlihat semakin semangat memelihara sapi setelah sapi yang lainnya laku terjual. Joe pun tidak mau kalah dengan semangat ayahnya. Esok harinya, Joe menambah barang dagangannya bahkan ia sudah punya lapak sendiri dekat dengan ruang guru.
         Itulah titik awal Joe mulai mengenal usaha sehingga cerita ini mungkin saja akan bermanfaat untuk keturunan Joe kelak. Memang harapan utama penulis adalah untuk membagikan pengalaman yang tak ternilai ini agar dapat menjadi cerminan hidup sehingga dapat menjadi pelajaran berharga dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama.

Bersambung ...!

Memetik di Titik TerendahWhere stories live. Discover now