XI | You are mine

6.2K 745 27
                                    

Tamu-tamu undangan sudah mulai berdatangan. Aku baru selesai dengan semua persiapan. Saat ini sedang menuju ke ruangan tempat Aisyah sedang bersiap-siap. Aku tebak aku akan menunggu lama. Tapi saat aku sampai di depan ruangan, bersamaan dengan pintu dibuka. Aisyah dan beberapa sepupuku keluar dari ruangan.

Tumben cepat.

Aku tak begitu mendengarkan kata-kata sepupuku. Yang jelas, aku mengakui kalau Aisyah terlihat sangat cantik malam ini.

Biasanya aku selalu lihat gadis-gadis dengan pakaian terbuka di pesta. Kebanyakan gadis yang aku kencani selama ini juga seperti itu. Sexy. Tapi melihat Aisyah dengan balutan gaun berhijab seperti ini cukup merubah cara pandangku.

Wew, aku bicara apa? Sudahlah lupakan. Kami langsung saja ke lokasi acara. Sudah terlalu lama tamu-tamu menunggu.

Kolega-kolega bisnisku mengucapkan selamat. Ada yang memang tulus. Tapi aku tau kalau ada juga yang hanya mencari muka. Tapi sudahlah. Selama mereka tidak merugikan, aku akan abaikan.

"Kak Aisyah kayaknya berbaur dengan baik. Lihat, dia bisa cepat akrab dengan tamu-tamu."

Aku pandangi Aisyah yang sedang berbincang sambil tersenyum manis.

"Dia sepertinya wanita yang pintar," tambah Jeje. "Dia bahkan bisa bahasa Belanda."

Pffttttt...

"Mas Vian, oh my god. Jorok," protes Jeje karena aku semburkan minuman yang sudah ada di dalam mulut.

Apa dia bilang barusan?

"Apa yang kamu bilang barusan?"

"Apa?" tanya Jeje sembari mengelapi tangannya dengan tisu. Padahal tidak kena. Jeje terlalu lebay.

"Yang kamu bilang barusan? Ai bisa bahasa Belanda?"

Jeje mengangguk santai. "Dia sepertinya juga mahir bahasa Jerman dan Inggris."

Aku benar-benar merasa seperti baru ditumpahi pupuk kompos sebaskom. Jadi?

"Tapi tenang aja. Obrolan kita malam itu dia nggak dengar, kok. Kata kak Ai dia nggak minat denger."

Apa? Sialan. Kenapa rasanya harga diriku baru saja jatuh?

Setidaknya Ai tidak tau. Itu yang penting. Kuteguk lagi air minumku.

"Tapi Jeje cerita ke kak Ai isi obrolan kita itu."

Uhukkk..

Damn! Tadi muncrat sekarang tersedak. Bagus, Je.

"Mas Vian kenapa sih? Minum tuh pelan-pelan."

Jika saja tidak sayang, sudah kubungkus karung adikku ini. Sudah bagus Aisyah tidak tau, kenapa dia malah menjelaskannya.

"Kenapa Jeje kasih tau?" Tanyaku kesal.

"Ya mana tau kak Ai pengen tau. Tapi kayaknya kak Ai nggak kepo. Dia juga santai aja kayaknya kemaren. Lagian kenapa sih, Mas, kalau kak Ai tau? Bagus dong. Harusnya kan emang nggak ada rahasia antara suami dan istri."

God! Hell! Pintar sekali dia bicara. Dari mana dia dapatkan semua pengetahuan itu?

"Jeje sejak kapan jadi dekat sama kak Ai?" Kenapa aku jadi latah ikutan manggil Aisyah dengan Ai?

Jeje kendikkan bahu. "She is a nice girl and fun."

Ok terserahlah. Aku pandangi Aisyah. Kerumunan yang awalnya dipenuhi ibu-ibu itu kini sudah mulai didominasi oleh laki-laki. Aku tidak bisa biarkan ini.

Kurangkul Aisyah. Itu berhasil membuatnya terkesiap karena kaget. Namun bisa kulihat dia dengan cepat kembali tenang lalu melemparkan senyum padaku.

Acting yang hebat. Beraninya dia berikan senyum itu pada laki-laki lain tadi.

Beberapa pasang mata tampak memandangi kami dengan iri. Beberapa rekan bisnisku yang masih lajang tampak iri melihatku merangkul Aisyah. Lalu dengan sengaja aku eratkan rangkulan dan tak lupa berikan senyuman lebar. Seolah aku adalah orang paling bahagia sedunia hari ini.

Tamu-tamu berikan ucapan selamat. Ada yang mendoakan kami langgeng sampai akhirat. Tak sedikit juga yang doakan kami cepat dapat momongan.

"Doakan saja, Tante. Kalau Evra sih pengennya cepet. Tergantung Ai mau nggak diajak sering bikinnya."

Mataku bertemu dengan Aisyah. Dia melotot. Tapi aku abaikan.

"Duh, ya harus mau dong. Senang nggak nak Aisyah dapat suami ganteng kayak nak Evra ini?"

"Hmmm, iya, Tante.." sahut Aisyah pelan.

"Semangat dong, sayang. Masa nggak semangat gitu? Kan kita belum ngapa-ngapain.."

Aisyah melotot lagi. Tapi aku malah berikan ia senyuman tanpa dosa.

Suara MC hentikan obrolan kami. Masuk ke sesi acara.

"First dancing untuk pengantin baru kita."

Musik mengalun. Para tamu mulai menyingkir, memberikan aku dan Aisyah ruang. Kuraih pinggang Aisyah, lalu satu tangan menggenggam tangannya. Kubawa ia bergerak mengikuti musik.

Tamu-tamu bersorak senan. Tapi fokusku tidak bersama mereka. Fokus ku ada pada manik milik perempuan yang beberapa hari lalu ini sudah aku sah kan sebagai istri.

Aisyah memutus tatapan kami dengan menundukkan wajahnya. Tampak malu.

"Ai.."

Ia menyahut pelan.

"Angkat wajah kamu."

Pelan-pelan ia angkat wajahnya.

"Apa aku yang pertama?" Entah kenapa aku penasaran ingin tau.

Dia mengangguk, "iya."

"Kamu belum pernah dansa sama laki-laki lain?" Rasanya bodoh bertanya begini. Melihat lingkungan Aisyah sudah jelas jawabannya belum. Aku ragu apa dia pernah pacaran. Sepertinya belum juga.

Aisyah menggeleng. Apa aku harus senang? Tidak ingin mengakui, tapi kenapa rasanya ingin tersenyum dengan jawabannya itu?

"Tatap aku.."

Aisyah menurut. Namun wajahnya menyiratkan bahwa ia berusaha keras untuk itu. Untung saja cahaya tidak terlalu terang. Aku yakin pipinya memerah saat ini.

Tamu-tamu sudah mulai ikut berdansa. Kuraih tangan Aisyah, menarik pergi. Membawanya menjauh dari kerumunan.

"Mas, mau ke mana?" tanyanya bingung.

Kami sampai di tempat sepi. Lorong hotel. Kitarik Aisyah agak kesudut, lalu kutarik pinggangnya hingga kami otomatis menempel.  Aisyah tampak terkejut. Tanpa kata, kuselipkan tangan ke belakang kepalanya, lalu menariknya mendekat hingga bibir kami menyatu. Aku bisa rasakan lembut bibirnya.

Tak ada perlawanan. Aisyah diam. Kupeluk dia agar semakin menempel. Perlahan Aisyah membalas ciumanku.

****
Hufftt.. well done 👏😂

Cinderella Girl [ON DREAME]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang