Detak Jantung

15 3 0
                                    

Cerpen pertama, 19 Februari 2019

Lembayung senja menyapa manja seorang perempuan yang terduduk di sebuah pelataran rumah sakit. Suara berisik terdengar dari arah lainnya. Rumput hijau yang di dudukinya saat ini terasa mengenai kulit kakinya yang mulus tanpa alas kaki. Wajahnya sumringah disertai tawa yang membahana. Di depannya seorang laki-laki dengan perawakan tinggi, wajah tampan, hidung mancung, dan kulit coklat yang khas berjongkok seraya menggenggam erat tangan perempuan yang tengah memakai pakaian rumah sakit itu. Bibir tipis laki-laki itu berucap dengan penuh kelembutan bahwa ia akan selalu menjaga dan menemaninya bahkan sedetikpun ia tak akan pernah meninggalkan perempuan di hadapannya. Perempuan itu hanya merespon dengan anggukan lalu tersenyum manis khas seorang perempuan yang tengah berbahagia.

Laki-laki itu kemudian duduk di samping sang gadis dengan  kedua tangan di belakang punggung menopang berat tubuhnya. Matanya terpejam dengan pikirannya melayang kembali tepat pada kejadian dua tahun lalu dimana seorang gadis cantik yang menenteng kantong plastik berukuran sedang berlari dengan sangat cepat tanpa menghiraukan sesuatu di depannya hingga kemudian terdengar suara bedebuk dibarengi dengan isi kantong plastik yang berhamburan.

" Ahk... maaf saya tidak sengaja." Ucap gadis itu meminta maaf kepada orang di hadapannya seraya mengambil isi kantong plastik yang berserakan.

Laki-laki yang ditabraknya barusan kemudian berdiri lalu membersihkan tubuhnya dari debu dan kotoran. Wajahnya terlihat kesal dan merah padam.

"Woii... punya mata gak seh? Jalan kok gak lihat-lihat."

Mendengar laki-laki yang ditabraknya marah maka ia buru-buru mengambil semua barang yang berserakan. Setelah selesai mengambil semua barang yang berserakan dengan takut-takut gadis itu berdiri lalu kembali meminta maaf kepadanya. Melihat gelagat sang gadis yang ketakutan laki-laki itu mulai meredakan amarahnya lalu balik meminta maaf karena terlalu kasar padahal gadis di hadapannya pasti tidak sengaja menabraknya. Mendengar penuturan itu sang gadis merasa lega hingga terbitlah garis melengkung di bibirnya membentuk senyuman yang sangat manis.

"Ngomong-ngomong nama kamu siapa? Aku vernon." Tanya laki-laki itu sembari mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan

"Agisa pelita, biasa dipanggil Gisa." Menjabat tangan laki-laki di hadapannya.

"Kamu terlihat terburu-buru sekali mau kemana?"

Seketika Gisa teringat tugasnya kemudian pamit karena terburu-buru harus mengerjakan sesuatu. Gisa berlari meninggalkan Vernon yang menatap punggungnya hingga tak terlihat dengan senyuman yang terbit di wajahnya.

Gisa berhenti berlari di depan sebuah rumah berpagar besi lalu masuk ke dalam pekarangan rumah bercat merah muda dengan disambut seorang perempuan cantik berusia empat puluh dua tahun.

"Maaf mam aku ke minimarket perempatan jadi agak lama."

"Tapi kamu gak papa? Itu lutut kamu lecet gitu." Tanya wanita yang diketahui sebagai ibu Gisa dengan raut cemas.

Melihat ke arah lututnya yang lecet Gisa mengatakan bahwa ia baik-baik saja lalu menceritakan semua kejadian yang dialami kepada ibunya. Ibu yang mendengar penuturan Gisa mengerti lalu mengambil kantong plastik di tangan anaknya dan mengajaknya masuk karena ibu harus segera masak.

Tanpa Gisa sadari sebenarnya pertemuan tadi merupakan jalan yang akan membawanya kepada takdir yang telah ditetapkan sang pemilik hati dengan skenario luar biasa. Karena sesungguhnya hati manusia hanya sebuah bidak catur yang bergerak kemanapun takdir memainkan bidak itu. Saat takdir mulai memainkan skenarionya maka tugas manusia adalah  bergerak mengikuti.

Suasana romantis tercipta diantara kedua sejoli yang duduk berhadapan di sebuah meja dengan cahaya lilin sebagai penerangannya. Sebuah cincin tersemat di jari sang gadis dengan cantiknya.

Ruang CintaWhere stories live. Discover now