Bagian 9

1.2K 58 21
                                    

Di ruangan bernuansa biru muda terlihat seorang pemuda terbaring lemah dengan masker oksigen menutupi sebagian wajahnya. Wajah pemuda itu tampak sangat pucat. Keringat dingin mengalir deras dari keningnya. Di sampingnya tampak seorang wanita paruh baya yang duduk dengan raut wajah kecemasan. Tangannya terulur menggenggam erat tangan pemuda itu. Sesekali wanita itu menyeka keringat di kening pemuda itu.

"Nak, kamu harus kuat ya.. Mama dan Papa akan berusaha sebaik mungkin untuk kesembuhanmu. Kami akan melakukan apapun demi kesembuhanmu, Nak." Yah, wanita itu adalah Diana.

Wanita paruh baya itu tak hentinya mengusap lembut rambut Bayu yang masih tak sadarkan diri. Sudah dua hari berlalu sejak Bayu kambuh malam itu. Diana dan Herman secara bergantian menjaga Bayu, tak jarang pula Dimas menemani adik semata wayangnya itu. Ketiga orang itu tak ingin berpaling dari Bayu meski hanha sejenak seakan ingin menebus waktu yang telah mereka sia-siakan selama ini.

Masa kecil Bayu selama ini hanya ditemani oleh Bi Sum, sementara keluarganya benar-benar tak memperdulikan keberadaan dirinya. Demi menebus masa-masa itu, keluarganya kini hanya ingin berada di sisinya. Saat ini hanya satu hal yang ingin mereka lakukan, yaitu selalu ada di sisi Bayu.

"Mah, Bayu gimana? Dia masih belum bangun?" Tanya Dimas yang baru saja pulang dari sekolah.

Pemuda yang memiliki postur tubuh tinggi itu masuk ke kamar Bayu masih dengan menggunakan seragam sekolahnya. Bahkan jaket kesayangannya masih dikenakannya. Hal itu berarti Dimas dari halaman rumah langsung menemui Bayu. Satu-satunya alasan adalah karena saat ini dia tengah mengkhawatirkan kondisi adik semata wayangnya itu.

"Bayu belum bangun, Nak." Jawab Diana dengan raut wajah sayu.

"Kata Bi Sum tadi Tante Widya dateng. Tante Widya bilang apa? Bayu nggak kenapa-napa kan, Mah?" Tanya Dimas lagi kini dengan nada panik.

"Kata tante kamu tadi sih Bayu udah baik-baik aja. Dia sudah diberi suntikan obat untuk kekebalan tubuh dan vitamin. Sekarang Bayu cuma butuh istirahat." Sahut Diana sembari mengusap lembut wajah Bayu yang masih tampak pucat.

"Beneran, Mah? Syukurlah." Dimas berjalan menghampiri tempat tidur dimana Bayu berbaring. Lalu, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia membaringkan tubuhnya di samping adiknya itu.

"Dimas, kamu ngapain tiduran disitu?" Tanya Diana.

"Aku mau nemenin Bayu, Mah. Mama istirahat dulu aja."

"Tapi...."

"Mah, sekarang muka mama kelihatan lesu banget. Nanti kalau Bayu lihat mama mukanya kusut gitu dia pasti sedih. Mama istirahat aja ya.."

"Tapi..."

"Udah, Mah. Nggak usah tapi-tapian lagi. Mama ke kamar Mama terus istirahat. Biar Bayu aku yang jagain. Aku janji, aku bakalan jagain Bayu dengan baik."

"Ya udah. Tapi kalau ada apa-apa kamu langsung berutahu Mama ya.."

"Iya, Mah."

Dengan melangkahkan kakinya perlahan Diana berjalan meninggalkan kamar Bayu. Sebelum benar-benar keluar, Diana masih menengok melihat ke arah anaknya yang berbaring dengan kedua mata yang masih tertutup rapat.

Sepeninggal sang mama, Dimas yang berbaring di samping Bayu dengan penuh perhatian membelai rambut Bayu yang cukup panjang. Tatapan mata Dimas hanya tertuju pada Bayu yang masih enggan untuk membuka matanya. Meski masih tampak pucat, wajah Bayu terlihat sangat tenang. Untuk pertama kalinya Dimas melihat wajah Bayu yang tenang seolah tanla beban. Untuk yang kesekian kalinya Dimas kembali merasa menyesal karena dulu sempat membenci Bayu.

Seutas senyuman terukir di bibir Dimas saat melihat kelopak mata Bayu mulai bergerak. "Udah bangun, Bay?"

Bayu menganggukkan kepalanya lemah. Matanya melihat ke arah Dimas yang masih berbaring di sampingnya. Dimas kembali tersenyum saat melihat adiknya tersenyum meski tipis. "Akkk..." (Kak..)

The Most Beautiful Times In My LifeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora