My (Fake) Best Friend

804 32 1
                                    

Aku mengabaikan semua orang yang menganggapku seperti orang gila saat ini. Terbukti dari pandangan siswa-siswi lain yang memandangku aneh. Aku tidak tahu kenapa mereka bisa memandangku seperti itu, padahal aku hanya terus tersenyum ceria karena suasana hatiku yang sedang gembira.

Aku berjalan penuh percaya diri hingga rambut yang ku kuncir ekor kuda ini mengayun kanan-kiri. Retina mataku menangkap tubuh seseorang yang sangat ku kenali, meski hanya dengan melihat punggungnya saja. Aku bahkan mampu mengenalinya dari segi manapun.

"Kaila!" Seruku meneriaki namanya.

Ia menghentikan langkahnya sejenak, membalikkan badannya ke arahku. Senyum merekah menghiasi wajahku saat ia balik menatapku. Aku pun berlari mendekatinya dan langsung menyamakan langkah kakinya.

"Guten Morgen, Kai!" Sapaku padanya.

"Morgen!" Balasnya.

Kaila, dia adalah sahabatku. Aku sudah menganggapnya sebagai saudaraku sendiri. Sifatnya berbanding terbalik dengan sifatku. Ku akui sifatku kekanak-kanakan tapi Kaila berbeda, sifatnya yang lebih dewasa dariku itu mampu membuatku nyaman bersamanya.

Aku berjalan menuju ke kelas beriringan dengannya. Seperti biasanya, aku akan mengoceh setiap saat. Entahlah, aku sama sekali tak pernah merasa lelah untuk bercerita padanya. Sedangkan Kaila bisa dibilang sebagai pendengar baik. Ia hanya mendengarkan ocehanku dan akan menanggapi seadanya.

Aku dan Kaila satu kelas, bahkan kami berdua duduk sebangku. Bukan rahasia lagi, kami sudah bersahabat dari semasa SMP. Ditambah lagi, kami berdua sering diikutkan olimpiade untuk mewakili sekolah. Siswa-siswi di sekolah ini pasti mengenal kami.

Sesampainya di kelas, kami langsung duduk di bangku biasanya. Aku mengeluarkan dua bungkus roti dari dalam tasku. Yang satu, roti dengan krim mokka untukku. Yang satunya lagi, roti dengan krim coklat ku berikan kepada Kaila. Sembari menunggu bel masuk berbunyi, kami melahap roti terlebih dahulu.

~~~

Kaila yang ku kenal, tidak sependiam ini. Semakin hari, aku merasa keberadaan Kaila sulit ku jangkau. Dalam artian, kita tidak dekat seperti dulu lagi. Entah mungkin hanya perasaan diriku saja yang akhir-akhir ini terlalu sensitif.

"Kai, nanti berangkat les bareng aku aja. Tadi pagi aku sudah bilang ke ayahku." Kataku sambil memperhatikan Kaila yang sedang menata rapi buku-buku tugas sekelas untuk dikumpulkan di meja guru mata pelajaran biologi kami.

Tanpa menatapku, Kaila membalas, "Gak perlu. Hari ini aku tidak ikut les."

Aku mengerutkan kedua alisku heran. Tidak biasanya seorang Kaila yang ambisius membolos les. Saat aku hendak menanyakan alasannya, dia sudah meninggalkan kelas lebih dulu. Aku hanya bisa menghela napas berat merasakan perubahan sifat Kaila itu.

Semakin hari, Kaila seperti menjauh dariku. Dia seolah-olah terusik dengan kehadiranku. Aku pun mulai penasaran, kenapa dia bisa berubah.

Diam-diam aku mengikutinya diwaktu istirahat. Ku lihat dia masuk ke ruang perpustakaan dan langsung berjalan ke bagian rak novel. Meski hanya sekilas, aku bisa menebak genre novel yang dia baca dari cover bukunya.

Thriller

Sempat terpikir dalam benakku kalau buku itu yang merubah cara bersikapnya. Segera aku menggeleng membuang pikiran negatif itu. Aku tidak bisa menyalahkan buku-buku yang ia baca. Aku tahu itu tidak ada hubungannya. Tetapi anehnya, perubahan sikapnya tidak berangsur pelan. Ia berubah dalam waktu yang singkat. Entah siapa provokatornya.

Ku perhatikan sekitar terlebih dahulu sebelum akhirnya aku perlahan mendekatinya.

"Kaila," panggilku berbisik.

Dia hanya menoleh sebentar ke arahku, lalu kembali lagi membaca novel yang ia pegang.

"Aku ingin kita bicara sebentar."

"Apa lo gak liat gue lagi apa?" Aku langsung terkejut. Ucapannya jauh diluar dugaanku.

"Kamu kenapa? Kamu lagi ada masalah? Tidak biasanya kamu-"

"Pergi! Jangan ganggu gue!" Usirnya dengan raut muka jengkel.

Aku tak menggubris dirinya yang telah mengusirku. Ku sahut novel yang ia baca dan menyembunyikannya di balik badanku.

"Apaan sih?!! Balikin!!!" Protesnya sembari menggebrak bangku. Beruntung hanya ada kami berdua di perpustakaan.

Aku bergerak mundur disaat ia perlahan melangkah ke arahku untuk meraih novel yang dia baca.

"Kenapa kau menjauhiku? Apa salahku?" Tanyaku lirih.

"Bukannya lo sudah gue usir tadi?!! Apa lo tuli?!"

Deg

Novel yang ada di tanganku terjatuh. Aku menunduk sedih. Bukankah dia sangat mengenali diriku? Meski dia tidak sengaja mengucapkannya, tapi mendengar hal itu jujur saja membuatku sangat sakit hati.

Ku copot alat bantu pendengaran yang terpasang di kedua telingaku dan langsung ku lemparkan ke mukanya. Indera pendengaranku memang tidak sempurna. Namun dengan begini, aku merasa tenang karena tidak lagi mendengar ucapan-ucapan buruk yang keluar dari bibirnya.

Aku berlari keluar dari perpustakaan meninggalkan Kaila yang termenung di tempat. Tak sedikit yang menyapaku tidak ku gubris saat aku lewat di hadapan mereka. Saking sunyinya pendengaranku, aku sampai tidak bisa mendengar tangisanku sendiri.

Aku masuk ke dalam toilet. Tiba-tiba tanpa ku sengaja, aku menabrak bahu Tiara-sang primadona-sedikit kencang dan hampir membuat kami berdua terjatuh. Ia mentapku tidak suka awalnya, tapi tatapan itu berubah menjadi licik.

"Inikah Via yang disebut pintar oleh semua guru? Lo memang sering dapat juara waktu lomba, tapi ternyata siswi yang sering dibanggakan ini sangatlah bodoh. Kalian berdua sama saja bodohnya. Tapi gue suka memanfaatkan kebodohan kalian hahaha..."

Beruntung tak ada yang mengetahui kemampuanku yang satu ini, termasuk Kaila sekalipun. Lip reading. Aku bisa dengan mudah membaca bahasa bibir seseorang.

Aku pura-pura bertingkah layaknya orang cengo di hadapannya. Dia mengibaskan rambut panjangnya sembari menatapku jijik dan sinis. Ia pun berjalan keluar dari toilet sebelum aku sempat mengucapkan kata 'maaf' karena tidak sengaja menabrak tubuhnya.

Aku masih terdiam di tempat, memikirkan apa yang sudah Tiara perbuat. Tanpa sengaja, aku menundukkan pandanganku. Aku sangat terkejut melihat jari-jariku terdapat cairan berwarna merah. Sekelibat kejadian yang lewat dipikiranku tentang hal tadi di perpustakaan, dimana aku melepaskan alat bantu pendengaranku secara kasar.

Ku pegang telingaku, dan benar saja telingaku sedang terluka. Menghadap di depan cermin seraya menyalakan keran wastafel, aku pun membersihkan telinga dan seragamku yang sedikit terkena tetesan darahku sendiri. Setelah bersih, aku mematikan keran tersebut. Ketika aku menatap pantulan diriku di depan cermin, aku bertanya dalam hati, "Apakah Tiara sengaja ingin merusak persahabatanku dengan Kaila?".

Tanpa sadar aku memukul wastafel menumpahkan kemarahanku. Aku langsung berlari menuju perpustakaan, dengan harapan Kaila masih berada di sana. Akan tetapi saat aku sudah tiba di perpustakaan, aku sama sekali tidak menemukan keberadaan Kaila.

Entah mengapa aku merasa Tiara bukanlah orang yang baik. Meskipun dialah sang primadona di sekolah, akan tetapi banyak rumor buruk yang menimpanya. Entar benar atau tidak, lebih baik menjaga jarak terlebih dahulu dengannya.

Ku harap kau tidak ada hubungannya dengan Tiara, Kai.





Edited: 19 Juni 2024

Vanila🍦

Imagination [Short Story]Where stories live. Discover now