Serpihan Kisah Ruri [September 2017]

11 2 0
                                    

Rumah?

Rumahku di mana-mana bermasalah.

Lalu ke mana lagi aku harus berpulang?

-lacahya

"Kalau ingin mengutuk, kutuk saja ayahmu yang berkulit putih itu!" ucap Paman, direnteti dengan berbagai umpatan sembari memakai celananya dan membenahi pakaianku. Aku diam. Bingung. Hingga belasan tahun kemudian tak ada yang pernah mengetahui perkara ini.

Kamu juga diam. Mendengar. Tapi aku tahu diammu adalah marah. Aku menolak memberikan nama lelaki yang berani merusak jiwaku.

"Ayo kawin saja, biar kamu keluar dari rumah itu," katamu. Ketika aku bercerita dengan tenang bahwa kedua orangtuaku berencana untuk berpisah.

"Kawin denganmu, apa lantas memutus hubungan dengan keluarga? Aku hanya tahu ikatan darah lebih hebat dibanding besi terkuat. Aku tidak bisa enyah begitu saja,"

"Mungkin aku egois dan terkesan tidak peduli, tapi kuanggap mereka sudah dewasa menentukan pilihan. Memilih bercerai karena Kakakku kawin lari dengan pria yang tidak mereka restui. Mereka juga menganggapku sudah dewasa. Meletakkan segala beban di pundakku. Aku mendengar mereka bercerita, Sayang. Tapi suaraku tak akan terdengar oleh mereka, kalau aku bilang butuh mereka tetap saling mengutuhkan."

The feeling of calm that I get after selfharm

Its like being high

For that night I can sleep calmly

Weird

How something so evil can feel so good

-anonim

Kita menyatukan peluh. Kau serukan namaku dan aku meneriakkan namamu. Kebahagiaan meledak di bawah sana. Aku tersenyum dan kau menatapku puas. Buas. Kita mengerang liar melukiskan indah dunia di atas ranjang.

"Aku sayang kau, Ruri."

Aku tersenyum mendengar bisikmu. Memelukmu yang lelap dalam dekap. Mencium wangimu yang sekilas serupa parfum mahal milik Ayahku dulu. Melepaskan yang mendesak, lalu aku lelap dalam bayanganku sendiri.

Benar-salah sudah bukan peduliku. Antara cinta dan nafsu juga aku menutup mata. Aku hanya berlari dari segala yang mengejar. Seolah tak ada lagi tempatku berpulang, dan kau khawatir bila aku mulai melukai diriku sendiri.

Aku hanya lelah, pulangku serupa pelukmu antara malam-malam yang hening. Entah kau memang sayang atau mencari alasan di sela kacauku, aku tak lagi tahu. Dan yang kupahami hanya hangat tubuhnya sangat nyata merepet di tubuhku.

Aku tak lagi percaya apa pun. Semua rasa dalam hatiku sudah terbunuh satu per satu. Semua luka sudah kutelan seorang diri. Menyakitiku, tapi aku tak akan lagi bicara. Toh setiap luka nantinya hanya berganti dengan erangan nikmat mengiringi fajar menjelang.

Entah apa beda kamu dengan dia yang dulu.

Hingga dengan sengaja kau rebahkan kata sudah,

Padaku yang terlanjur menyembah, pada kita yang sudah basah.

Aku bisa apa? Terjerembab dalam dusta yang kau sengaja; entah.

Kau tanggalkan rasa yang merekah dengan marah.

Oh, ternyata,

Kau bukan rumah.

-Nahla&Alvida

Sungguh aku muak pada segala pola yang terukir.

"Aku sayang kau,"

"Jangan pergi, aku tak bisa kalau bukan denganmu,"

"Kawin denganku, keluar dari rumah yang membuatmu penat,"

Katamu.

Kalimatmu.

Dulu.

Aku tak lagi bisa merasa kecewa. Aku hanya terkejut kau berani melukaiku segini mesranya.

"Untuk apa kau berdua denganku kalau nyatanya kaupilih mendua?"

"Maafkan aku." Air matamu jatuh, memohon iba. Tapi aku mati dengan pasrah.

"Sudah terlanjur. Kita bisa apa? Pastinya aku tak bisa melihatmu tanpa mengingat dia yang kau ajak berdua di belakangku."

"Aku sayang kau, Ruri."

"Itu juga yang kauucapkan padanya."

"Salahku, tak bisa memilih,"

"Jangan memilih, aku sudah enyah. Hanya tinggal dia dan kau, Wisnu."

"Jangan sejahat ini, kau buat aku patah."

"Kau yang mendua dan aku yang jahat?"

"Maaf, bukan maksudku..."

"Sudahlah. Kita pecah. Rusak."

"Aku pilih kau, sungguh. Ayo kita mulai dari awal. Tolonglah."

"Baiklah,"

"Benar?"

"Kita mulai dari awal: saat kita tak saling kenal. Dan aku tak akan ulangi salah yang sama: mengenalmu."

Aku pergi, membiarkanmu yang tergugu. Aku harus bisa berdiri sendiri kan, Wisnu? Meski nanti kisah ini yang membuatku cukup luka, kehilangan rumah untuk entah keberapa kalinya, tak apa. Aku memilih pergi dan bahagia dengan diriku sendiri.

Kemudian, hari-hari berlalu. Aku tak peduli dengan status-statusmu yang berlalu-lalang meminta perhatian. Membuat orang mengira aku begitu jahat mengenyahkanmu dengan paksa kala kau bersikeras untuk bertahan. Lucu.

Membiarkan orang lain tenggelam dalam kesalah-pahaman miliknya sendiri, dan membuatnya mengira apa-apa yang dia pikirkan adalah benar, dosakah?

Sedangkan aku sudah terlanjur malas mengulang kembali runtutan segala sesuatunya, yang pada akhirnya dia tampik dengan egois tanpa mau belajar memahami apa yang sedang terjadi dan kenapa bisa begini.

Sekarang, aku sudah berhenti menjelaskan, karena asumsi-asumsi mereka yang mematahkan. Aku berhenti bicara, karena aku lelah. Pada akhirnya aku jatuh dalam pelukan kata-kata. Aku tak perlu lagi kecewa karena khianat.

Pada pulang, yang membuatku kembali menyebut seseorang sebagai rumah.

Tahun berlalu, aku tenggelam dalam ketidak-percayaan. Ketakutan-ketakutan. Masa-lalu kelam yang mengayunku tak tentu arah. Luka-luka yang tertutup tapi masih bernanah. Kepayahan membuatku lelah, hampir sungguh menyerah.

Pada kamu, seseorang yang bisa kusebut rumah sebagai tempat berpulang.

Rebahku di dekapmu kala penat dan lelah datang mendera.

"Aku tak perlu tahu tentang kamu yang dulu. Aku paham dari segala cerita dan luka yang kau perlihatkan. Aku bukan lelaki sempurna, Ruri. Dan aku tahu kamu pun begitu. Kita tak akan bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa bertaruh demi masa depan. Mungkin aku tak selamanya bisa paham dengan apa yang kaurasa. Tapi aku bisa menjadi pendengarmu yang paling setia. Kita bisa belajar memahami satu sama lain. Kau tahu bagaimana aku, dan aku tahu bagaimana kamu. Percayalah aku berusaha tak menghinamu dengan melakukan hal-hal seperti yang Pamanmu lakukan. Aku ingin segalamu dengan cara yang benar. Kawin denganku, Ruri. Dengan cara yang tepat. Restu orangtuamu yang kita butuh. Meski mereka telah pisah dan kau enggan menyebut mereka rumah, tunjukkan bahwa kau bahagia dengan dirimu sekarang. Maafkan semua, termasuk dirimu. Kau berhak bahagia. Aku ingin kau bahagia, denganku kalau kau mau." Adi, nama lelaki yang selama berbulan-bulan tak pernah kenal kata menyerah demi membuatku yakin memilihnya. Mengikat diri dengan bebas. Menggenap.

Akhirnya, aku bisa pulang dengan sungguh.

Forbidden LustOù les histoires vivent. Découvrez maintenant