02. Kamu dan Duka Kenangan

449 190 43
                                    

Langit kelabu, tertutup gundukan awan yang kini seperti hendak menangis.

Aquila terdiam di halte bus, duduk sambil memeluk lengannya. Dia takut dengan suara teriakan semesta.

"Nana, Lala takut," ucapnya lirih.

Suara air yang turun dari langit itu terdengar semakin deras disertai bau tanah yang kini menyeruak masuk ke dalam hidung Aquila.

Gadis itu kini membuka payungnya, mungkin dia harus berani menembus hujan. Hujan seperti ini pasti akan awet pikirnya. Hawa dingin juga sudah menyelimuti tubuhnya.

Dalam langkahnya, gadis itu berjalan dengan sedikit cepat. Biarlah air akan membasahi tubuhnya, toh lama-kelamaan juga tubuhnya akan basah. Aquila hanya ingin cepat menghangatkan diri di rumah.

Perasaannya kalut. Kepingan ingatan tentang masa lalunya terasa seperti sorotan proyektor film.

--

"Lala, jangan hujan-hujanan ya? Nana gak mau kamu sakit,"

Gadis itu tetap saja berlarian di tengah gerimis.

"Lala nanti semesta marah,"

Gadis itu enggan menolehkan kepalanya ke arah Tuan yang mengajaknya berbicara.

"Aquila, masuk ke rumah ya? Aku gak mau kamu sakit,"

Kini, gadis itu pun menolehkan kepalanya, "Emang kenapa? Nana gak mau ya direpotin sama Lala?"

Sang adam memperlihatkan senyuman manisnya, "Engga, bukan. Nana gak mau liat Lala- si pencerah hari jatuh sakit. Nanti hari-hari di bumi ini jadi gak cerah, warnanya jadi seperti penyatuan antara hitam dan putih,"

Dahi gadis itu berkerut, "kok? Maksud kamu abu-abu?"

"Iya kelabu. Di warna putih Nana suka kalo Nana bisa jagain Lala dan selalu ada buat Lala. Tapi di warna hitam, Nana ikut sedih dan sakit kalo Lala juga sakit,"

Dia menjelaskan itu dengan jelas, bahwa perasaannya akan merasakan hal yang sama dengan gadis sebayanya.

Lengkungan indah melawan gravitasi terukir di wajah gadis cantik ini.

Karena gadis yang berada beberapa meter dengannya diam, akhirnya lelaki itu berjalan cepat ke arah gadis sebayanya.

"Kamu nanti kedinginan," ucap sang hawa sendu.

Lelaki itu menghentikan langkahnya kemudian tampak berpikir.
"Kamu juga bisa kedinginan, Lala,"

"Sebentar,"

Lelaki itu berlari ke dalam rumah dengan cepat.

Dia membawa payung dan handuk kecil, kemudian menyusul gadisnya yang berada di dekat pos satpam rumahnya.

Lelaki itu dengan telaten menaruh handuk kecil ke pundak gadis manis itu.

"Kenapa sih? Terus kenapa segala pake payung?"
"Udah terlanjur basah, Na,"

"Ngomel,"
"Diem ya, lebih baik diatasi daripada terus membuat air itu menghantam badan kamu,"

"Bawel banget,"

Onism Where stories live. Discover now