Empat Belas

27.9K 1K 184
                                    

Cerita ini sudah ditulis ulang. Harap maklum apabila ada komentar yang tidak sinkron.

♡♡♡

Nata bangun sepagi biasanya, dengan perasaan yang sedikit berbeda. Dia merasa telah melupakan sesuatu yang penting. Tapi, apa itu? Nata benar-benar tidak ingat. Sudahlah, pikirnya. Melempar kejanggalan tersebut jauh ke belakang kepalanya, dia mengawali harinya sebagai petugas kebersihan. Haha, dia tertawa dalam hati. Sebutan itu boleh juga.

Tapi, hari ini benar-benar aneh.

Dia turun dari kamarnya dan mendapati Sindi sudah berada di ruang tamu memegang sapu dan kemoceng. Kerutan di dahi Nata kian jelas. Apakah hari ini matahari terbit dari barat?

Mungkin tatapan Nata terlalu kuat, atau Sindi memang terlalu peka, kakak perempuannya itu akhirnya menoleh, balas menatap pada Nata. "Kenapa?" tanyanya tanpa keramahan sedikitpun.

Walaupun hal itu bukan pertama kali, bahkan sudah sering kali, Nata tetap saja merasa sedih. Kenapa mereka tidak bisa seperti saudara pada umumnya? Dia selalu bertanya-tanya, tapi, tak pernah mendapat jawabannya. Dia berkedip, mencoba menyesuaikan emosi hatinya. "Harusnya gue yang tanya, lo ngapain?" Menatap sapu di tangan Sindi, dia benar-benar tidak berani berpikir kalau kakak perempuannya melakukan hal-hal ini untuknya.

Sebelah alis simetris Sindi terangkat. "Masalah? Udah biasa kali gue bersih-bersih," katanya, percaya diri.

Hampir Nata terbahak setelah mendengarnya. Tapi, urung ketika memikirkan trik apa lagi yang mungkin sedang Sindi mainkan. Bukannya dia berprasangka buruk, tapi, dia hanya sangat mengenal siapa Sindi. Mengingat terakhir kali dia membuat kakak perempuannya ini kesal, kemungkinan besar dia akan membayar harga untuk itu sebentar lagi. Bisa dibilang karakter pendendam Sindi mirip Brian. Oh, tiba-tiba dia merasa buruk dengan pemikirannya sendiri.

Mengerutkan kening, Nata berkata, "Jangan bercanda. Gue tanya sekali lagi, kenapa lo jadi rajin tiba-tiba?"

"Peduli amat, sih! Pergi sana! Males gue lihat muka lo!" Memunggungi Nata, Sindi melanjutkan pekerjaannya dengan gerakan canggung, membuat Nata terkekeh melihatnya.

Pundak Nata terangkat tak acuh. Masa bodo, pikirnya. Dia tak peduli trik apa yang Sindi mainkan, kalau kakak perempuannya itu ingin menggantikan tugas-tugasnya, tentu saja dia akan memberikannya dengan senang hati. Dia berbalik dengan suasana hati yang baik, kembali ke kamarnya. Dia akan bersantai sebelum berangkat ke sekolah.

Sampai di kamar, Nata tak terburu-buru. Dia menyalakan lagu favoritnya cukup keras, dan suara merdu Taylor Swift berpadu bersama beat di dalam kamarnya. Seleranya memang seumum itu. Lagi pula, siapa yang tak suka lagu-lagu milik penyihir macam Taylor Swift? Oh, dia sepertinya agak berlebihan kali ini. Semerdu apapun suara Taylor, atas dasar apa dia bisa menyebut dewinya sendiri sebagai penyihir? Bukannya Taylor bisa mengubah labu menjadi kereta, kan? Haha.

"Ah." Nata mendesah setelah melemparkan tubuhnya ke atas empuknya ranjang. Kepalanya bergerak sesuai alunan lagu. Satu per satu lagu Taylor Swift diputar.

Someday I'll be living in a big old city..
And all you ever gonna be is mean..

Sampai lagu berjudul "Mean", tiba-tiba Nata merasa emosional. Mungkin ini adalah efek menjadi seorang remaja baru puber, dimana tiap hal mampu merangsangnya dengan berlebihan. Yah, itu artinya dia normal.

Nata yang sementara waktu tenggelam dalam musik, terusik ketika suara-suara gaduh terdengar dari lantai bawah. Apa rumahnya kedatangan tamu? Dia bertanya-tanya dalam kebingungannya. Turun dari kasur, tanpa sadar dia mempercepat langkahnya menuju arah suara, ruang tamu.

Senior MesumDonde viven las historias. Descúbrelo ahora