CHAPTER 01

240 29 8
                                    

— DON'T BELIEVE ME —

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

— DON'T BELIEVE ME —









ㅤㅤㅤSELAYAKNYA ANAK PANAH yang berhasil menancap persis ke arah target—rumah sederhana dengan desain cantik yang berlokasi jauh dari keramaian penduduk kota tersebut nyatanya sanggup mencuri hati seorang Jeon Aileen bahkan hanya dalam lima detik cepatnya.

"Bagaimana, Ai? Kamu menyukainya?" Tersenyum cepat, melangkah di belakang si gadis dan ikut mengagumi keindahan tempat tinggal mereka dalam hati, Seokjin menarik napas. "Aku jamin, pasti akan menjadi hal yang menyenangkan untuk tinggal bersama di sini dalam waktu yang lama. Bagaimana menurutmu?"

Masih melemparkan pandangan ke banyak sudut ruangan karena terlalu kagum akan arsitektur bangunan dengan konsep kayu modern yang kelewat memesona beserta eksistensi taman kecil di depan rumah, si gadis lantas menoleh ke arah satu sosok yang masih mengikuti langkahnya dari belakang—sejenak menarik napas seraya menggeleng tak habis pikir. "Kamu gila, Jin. Sungguh gila. Dasar Tampan Sialan."

Yang diumpati kemudian menaikkan salah satu alis—merasa tidak mengerti. "Eh? Kenapa, Ai? Ada yang salah? Kamu tidak menyukai rumahnya, ya?"

"Aku sangat menyukai ini, Berengsek!" Aileen sontak berbalik—segera meraih tubuh semampai yang tadi sedang berdiri di belakangnya, buru-buru dipeluk erat sembari terisak pelan. "Kim Seokjin, astaga. Aku masih tidak percaya bahwa kamu benar-benar melakukannya. Kamu berhasil membuatku semakin jatuh hati, sialan. Aku membencimu."

Wow, sial. Kalimat terakhir yang baru saja si gadis ucapkan tadi entah mengapa malah tertangkap seperti ungkapan sungguhan yang akan dia dapatkan nanti, pikir Seokjin. Tetapi lelaki itu nyatanya sama sekali tidak peduli. Ekspresinya masih tertentang seperti orang yang ikut merasa bahagia ketika melihat kekasihnya bahagia. Hatinya semacam tengah mempersiapkan diri untuk menghancurkan hidup orang lain (atau bahkan meremukkan hidupnya sendiri) menjadi banyak kepingan dalam durasi beberapa detik saja. Rasa apatis dalam benak mau tak mau harus dirawat supaya bisa tumbuh menjadi pohon berukuran besar. Ucapan tersebut kini telah bertransfigurasi menjadi tamparan, membuat salivanya tersedak, arkian ruang memorinya kembali menayangkan sebuah adegan dalam layar memori bersama kalimat, "Aku yakin kau telah mengetahui bahwa sikap profesional sangat dibutuhkan dalam pekerjaan ini, Kim. Ya, bersikap profesionallah atau kematian akan menghampiri hidupmu nanti."

Memandang bagaimana Aileen terdiam rapat sembari memeluk dadanya yang bidang, Seokjin menghela napas. Dia lantas buru-buru membalas dekapan bersama bisikan yang terdengar begitu hangat, "Astaga. Kupikir kamu sungguhan tidak menyukai rumahnya. Kamu membuatku panik." Seokjin kemudian menaikkan penglihatan, diam-diam mendadak ingin menertawai dirinya sendiri terhadap apa yang baru saja dia lontarkan kendati sebenarnya ada yang mengeluarkan tawanya terlebih dulu di dalam sana bahkan sebelum Seokjin membalas pelukan. "Aku senang melihatmu bahagia, Ai."

Gadis itu kalakian ikut menengadah. Pandangannya entah mengapa serta-merta berubah menjadi lebih dingin meski mulutnya berkata sebelum perlahan melepas rangkulan, "Aku mencintaimu, Jin."

Seokjin merespons tanpa ragu, "Ya, aku tahu."

"Apa kamu juga mencintaiku?"

Tertentang bak orang tuli yang tidak bisa mendengar pertanyaan tadi dengan baik, Seokjin lantas sekonyong-konyong melemparkan atensi ke arah ruangan yang berada di sudut kanan lalu bicara perihal lain tanpa melontarkan jawaban, "Oh! Aku baru ingat kalau ada sesuatu yang telah kupersiapkan untukmu di dalam sana, Ai."

Untuk sesaat, segaris kerutan muncul pada permukaan kening si lawan bicara. "Hm?"

Seokjin menolehkan kepala sejemang. "Tanganmu, sini," ujarnya lembut. Berharap dia mampu menghindar. Menarik telapak tangan milik sang kekasih untuk digenggam, membawa Aileen berdiri persis di depan pintu kamar, Seokjin arkian membuka akses ruangan tersebut lantas tersenyum menatap lurus ke arah presensi piano digital yang bertumpu di sudut kamar dekat jendela. "Ta-da! Aku mempersiapkannya hanya untukmu, Ai."

Mematung sejenak, mengeratkan genggamannya pada jari-jemari si lelaki, lantas menghela napas dan mendongakkan wajah—Aileen berbisik tak percaya, "Seokjin ... kamu serius?"

"Hm?"

"Kamu terlalu banyak berjuang untukku."

"Tidak juga, ah. Kamu pantas mendapatkannya, kok." Seokjin diam sesaat, mendadak teringat akan sesuatu. "Waktu itu kamu pernah bilang kalau ingin sekali punya piano di dalam kamar supaya bisa memainkannya setiap malam sebelum tidur, 'kan? Kalau begitu, baiklah. Pada detik itu juga aku lalu langsung bertekad dalam hati bahwa aku akan membelikan piano untukmu suatu saat nanti. Aku ingin membuatmu bahagia."

Aileen sontak terkekeh tak percaya. Dia mengelus pelan pipi Seokjin sedangkan sang lawan hanya tersenyum hangat, gadis itu kemudian membalas dengan helaan napas, "Jadi ... selama ini kamu telah banyak bekerja keras cuma untuk menyiapkan semua ini untukku?" Aileen mendadak menghapus jarak di antara kedua wajah, lantas merasakan tekstur legit nan lembut milik sang lawan tatkala dia mulai menyapu spasi kecil di antara bibir mereka. "Ah, kalau begitu pantas saja kamu terkadang tidak membalas pesan maupun menjawab telepon dariku. Toh rupanya kamu sedang sibuk. Lelah, tidak?"

Si pria sontak menjauhkan labiumnya perlahan, jantungnya mendadak bertalu begitu cepat. "Tidak, kok. Biasa saja," tanggapnya setengah ragu. "Ngomong-ngomong ... apa kamu sungguh tidak apa-apa kalau tinggal bersamaku di sini untuk semalam? Maksudku—apa nanti Jungkook tidak akan mencari keberadaanmu?"

"Tidak akan menjadi masalah kalau cuma untuk satu malam, barangkali." Aileen menggeleng. "Lagi pula tadi aku juga sudah meminta izin. Ck, semoga Jungkook Sialan itu tidak diam-diam mengirimkan anak buahnya untuk mengikuti ke mana aku pergi."

Oh ... semoga saja. Kali ini, serta-merta terselip sekantung kecemasan di benak si pria. Seokjin dapat merasakan cuaca hatinya yang mendadak bergemuruh. Merasa seperti dia telah melakukan kekeliruan dalam menyusun daftar rencana yang sebenarnya sudah apik tercatat dalam kepala. Entah secara sadar atau tidak, lelaki itu nyatanya sempat berasumsi bahwa menghancurkan hidup seseorang yang berasal dari keluarga terpandang bukanlah hal tersulit di dunia yang harus dia lakukan. Namun seakan gunung baru saja jatuh persis di atas kepalanya, Seokjin sontak memahami—perhitungannya barangkali salah. Kelewat salah.

"Kalau begitu, lebih baik sekarang kamu mandi. Sementara aku akan pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam, oke?"

Aileen menarik seulas senyum tipis, buru-buru mengangguk. "Siap, Kapten!" []

Trapped in a Nightmare ㅡ K.sj ✓Where stories live. Discover now