Bab 1 - Haphephobia

9 1 0
                                    

Namaku Aisya Salshabilla, orang-orang biasa memanggil ku Ica. Umurku 15 tahun, tapi sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Iya, aku memang sedikit berbeda dengan anak-anak lain. Saat usiaku 5 tahun, aku sudah keterima di sekolah dasar. Alasannya singkat, aku terlalu pandai untuk ukuran anak-anak TK pada umumnya. Bayangkan saja, diusia ku yang biasanya hanya belajar mewarnai atau menulis abjad, aku sudah bisa membaca dan menghitung, makanya aku ditendang dari TK.

Tidak hanya itu, untuk menyelesaikan sekolah menengah pertama pun, aku hanya butuh waktu dua tahun, dituntut melompat kelas karena teman-teman seangkatanku tidak mau bersaing denganku, karena hal itu, tak ada satupun orang yang mau berteman denganku.

Selain karena aku terlalu pandai, aku juga mengidap haphephobia, itu adalah fobia bersentuhan dengan manusia. Entah sejak kapan aku mulai memiliki fobia itu, yang jelas saat ini, aku selalu menutup diri dari keramaian. Satu lagi tentang keanehan ku, tak ada satupun orang yang mengetahuinya, termasuk kedua orang tuaku. Ini, tentang penglihatan keduaku. Tentang bagaimana aku melihat apa yang tidak bisa orang lain lihat.

Segala lamunanku buyar begitu bel masuk berdering. Aku mengembuskan napas panjang, merapikan buku-buku ku lantas berjalan perlahan keluar dari perpustakaan sekolah.

Sepanjang jalan, aku terus menunduk, berbagai penampakan ku temui. Meski sudah terbiasa, tetap saja menyeramkan. Bahkan terkadang, tak sedikit di antara 'mereka' ingin berteman denganku, menggangguku dengan tingkah jailnya.

Langkahku terhenti. Tatapan mataku tertuju pada seorang siswa yang tengah duduk di sisi lapangan, memunggungi ku. Tapi bukan itu masalahnya, melainkan makhluk halus di samping lelaki itu. Seorang wanita bergaun putih yang terlihat kotor dan lusuh.

Aku bisa merasakan, lelaki itu dalam bahaya. Hantu wanita itu menoleh, menatapku dengan senyum menyeringai. Melihatnya, tubuhku gemetar, ludahku seolah berubah menjadi kerikil.

"Aisya, ngapain di sini?" Aku tersentak kaget saat suara seseorang terdengar tepat di sampingku. "Kamu kenapa sih? Kayak habis liat setan aja" kata Pak Hasan heran.

Aku berusaha mengatur deru napasku, lalu menggeleng samar.

"Tunggu apa lagi? Cepat ke kelas! Kita akan mulai pelajaran!" Tegas Pak Hasan. Sekali lagi aku menoleh pada wanita itu, dia masih ada, kali ini menatapku tajam. Cepat-cepat aku berlari, kencang.

***

Pukul 3 sore. Pak Hasan baru saja keluar dari kelas, dia terlambat. Seharusnya, jam pelajarannya berakhir pukul 2.30. Bagiku sih tidak masalah, tapi kasihan teman-teman ku yang lain pada mengeluh begitu Bu Laila langsung masuk kelas menggantikan Pak Hasan.

"Semangat dong, masa loyo semua?" Bu Laila tersenyum simpul, matanya mengedar ke seluruh penjuru kelas. Dia salah satu guru yang menyenangkan, masih muda, simpel, santai, namun tegas. Di lengannya ada setumpuk kertas yang di ketuk-ketukan pada meja. "Mau ulangan lagi?"

"Enggak!!!!!!" Seisi kelas berseru kencang, membuatnya terkekeh pelan.

"Ibu bagikan ya kertas ulangan kemarin" kata Bu Laila. Beberapa orang berdecak, sementara aku biasa saja.

"Aisya, gak bosen dapet nilai paling tinggi?" Kata Bu Laila dan terkekeh pelan. Aku hanya tersenyum canggung, terlebih saat beberapa temanku menggerutu. Bu laila menyodorkan kertas ulangan ke arahku. Aku segera bangkit dari dan mengambilnya.
Sempurna. Angkat seratus terpampang jelas di kanan atas kertas ulanganku. Aku tersenyum simpul, meski sudah biasa, tetap saja aku bangga pada diriku sendiri.

Bu Laila mulai menulis senyawa-senyawa kimia di papan tulis setelah semua murid mendapatkan kertas ulangan. Namun tiba-tiba saja Arkan, lelaki nakal yang duduk di sudut ruangan sana mengangkat tangannya, membuatnya seketika menjadi pusat perhatian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 23, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Penglihatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang