03 Hakikat Perjuangan

27.4K 3K 171
                                    

Aku tidak pernah merasakan cemburu yang begitu membara seperti saat ini, bukan ketika orang lain mampu mendirikan gedung mewah di pusat perkotaan atau yang berulang kali masuk keluar negeri dengan alasan melepas letih. Tetapi ketika melihat laki-laki lain yang berangkat bersama istri dan membawa serta anak mereka ke majelis ilmu syar'i.

***

"Assalamualaikum. Maa syaa Allah, Ustadz anaknya tiba-tiba gede aja."

Arvan mengurungkan niatnya memasuki kantin yang terletak beberapa langkah darinya saat ini begitu mendengar celetukan dua santri yang berpapasan dengannya.

"Waalaikumussalam." Arvan mencoba mengabaikan candaan tersebut. Ia memang cukup mengenal dengan baik kedua santri di hadapannya ini, Yusuf dan Aldi—kelas tiga SMP.

"Kumcalam," timpal Hafshah ikut-ikutan.

"Adek," panggil Yusuf gemas.

Hafshah cekikikan dengan mata yang menyipit hingga memperlihatkan gigi geramnya. "Hihihi."

"Kalian nggak kelas?" tanya Arvan memecah.

Yusuf dan Aldi saling berpandangan.

"Jangan bilang kalian ketiduran di kelas terus izin cuci muka ke kamar mandi, dan sekarang berakhir di kantin?"

"Hehehe." Yusuf dan Aldi terkekeh canggung. "Kalau begitu kami kembali ke kelas dulu, Ustadz. Assalamualaikum," lanjutnya bermaksud kabur.

Arvan menatap kepergian Yusuf dan Aldi mencoba maklum—setelah menjawab salam—meskipun nanti ia akan berusaha untuk mengarahkan agar tidak terjadi hal semacam ini lagi. Memang semacam ini sudah berulang kali, menjadi khas tersendiri.

Pernah suatu ketika, Adam—satu tahun di bawah Yusuf dan Aldi—terpaksa harus merelakan ponselnya disita karena melanggar aturan dengan membawa ponsel. Adam mengaku, semasa kecil sampai sekolah dasar, ia tidak pernah mempunyai kesempatan untuk bermain ponsel. Saat itu Adam tidak terlalu peduli akan hal itu, karena keluarganya memang sudah mengarahkan untuk menjadi seorang penuntut ilmu.

Tetapi mungkin jiwa keinginan tahuan Adam diuji ketika mulai masuk pondok—saat menengah pertama—sehingga membeli ponsel dengan uang yang ditabungnya sendiri. Hanya saja belum sampai satu pekan, ponsel tersebut harus disita karena ketahuan memainkannya di bawah selimut ketika pengecekan rutinitas untuk santri.

Bukan bermaksud orang tua untuk membatasi anak bermain, hanya saja ingin agar mereka mendahulukan akhirat baru nanti dunia akan mengikuti.

"Dek Hafshah, jangan ngebut begitu larinya!"

Arvan mengikuti Hafshah yang tengah berlari dengan cukup kencang untuk anak seukurannya—dengan langkah yang tidak beraturan dan berulang kali tubuhnya hampir oleng. Keponakannya itu juga memeluk satu kresek jajanan berisi roti dan jajanan lainnya yang bisa dimakan oleh Hafshah.

"Buka, buka!" Hafshah menggedor-gedor pintu ruangan Arvan dengan tangannya yang mungil. Terbiasa diajak oleh Arvan, membuat ingatannya cukup bisa menampung beberapa hal yang biasa ia lihat di pondok.

Arvan membuka kunci pintu ruangannya, kemudian masuk ke dalam setelah didahului oleh Hafshah yang segera naik ke kursi di sana. Kakinya diselonjorkan, sementara jajanan yang dibawanya sedari tadi dikeluarkan satu per satu.

Tok Tok

"Assalamualaikum."

Belum sempat Arvan menyusul Hafshah, pintu ruangannya diketuk. "Waalaikumussalam."

Man Anta? ✔ [SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang