Tersamar

14 4 2
                                    

Perbedaannya adalah, aku telah mengetahui segalanya tentangmu. Sedangkan kau sama sekali tidak mengenalku. Aku menggunakan segala cara untuk membuatmu terkesima, tetapi kau meragukanku. Maka sebut saja aku penggores abstrak.

(Raditya Wiratmaja)

Aryla masih sedikit terguncang ketika mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Penanda waktu seharusnya sudah menuntut mereka untuk pulang, tetapi keadaan masih belum mengijinkannya. Aryla masih menemani Radit yang beristirahat sebentar di teras rumah warga desa. Beruntung pemilik rumah berbaik hati menyediakan balsem dan minuman hangat untuk mereka.

"Biasanya, banteng itu ndak nyerang orang lho, Nduk! Berarti danyange kuat," tegur Mbok Saripah, pemilik rumah. Aryla masih enggan berbicara untuk sekedar menyahuti teguran sang nenek. Ia menyibukkan dirinya dengan mengoleskan balsem pada penggung Radit.

"Tidak apa-apa, Mbok. Namanya juga orang kerasukan," sahut Radit sopan. Mbok Saripah mengangguk paham kemudian berlalu memasuki rumah dan kembali membiarkan Radit beristirahat sejenak di rumahnya.

"Kau terus diam sejak tadi, kenapa?" tanya Radit tiba-tiba. Lantas Aryla menghentikan pijatannya.

"Kenapa kau bisa dengan mudah melakukannya? kukira aku tidak cukup pantas mendapatkan perlakuan heroik seperti tadi," lirih Aryla. Radit mengernyit, mencoba memahami aduannya.

"Kau masih menganggapku orang asing rupanya," sahut Radit pelan. Ia mengancingkan kemejanya yang sesaat tadi sempat terbuka menampakkan dada bidangnya.

"Maaf," ujar Aryla.

"Karena menganggapku orang asing? Atau karena telah membuatku diseruduk banteng?" tanya Radit lagi.

Aryla menggeleng pelan. "Jika tadi aku tidak memaksa pergi, mungkin kau tidak akan mendapat lebam seperti ini," ucapnya menyesal. Radit menghela napasnya kasar.

"Belum tentu, kau tidak dengar apa kata Mbok Saripah tadi? Jangan merasa bersalah, sudah sewajarnya aku melakukan itu. Lelaki macam apa aku ini, membiarkanmu menjemput bahaya seorang diri." Seluruh kalimat itu begitu menenangkan di telinga Aryla. Ia membalasnya dengan senyuman lembut yang tak kalah menenangkan di mata Radit

"Sudah hampir petang, sebaiknya kuantar kau pulang," sambung Radit.

"Kau yakin bisa menyetir dengan keadaanmu sekarang?" tanya Aryla memastikan. Radit hanya menanggapinya dengan mengangguk mantap.

Radit melajukan motor sportnya kencang, menembus gerimis kecil yang mulai menyapa setiap menjelang sore. Membawa Aryla hingga ke pelataran rumahnya. Aryla terkejut dengan kehadiran ayahnya yang tengah berdiri menyeringai di depan rumah sembari berkacak pinggang. Aryla merasakan semburat kemarahan dalam diri ayahnya. Ia memberanikan diri berjalan menghampiri ayahnya. Belum sempat ia membuka suara, ayahnya telah lebih dulu berseloroh.

"Kemana adikmu? Kenapa ia tidak ada bersamamu?" tanya ayahnya sengit. Aryla begitu terkejut mendengar adiknya belum pulang. Ia bertanya-tanya, apakah Gibran tidak mau menjemputnya? Aryla membisu, tidak tahu harus menjawab bagaimana.

"Rupanya kau sibuk berkencan dan tidak mempedulikan adikmu." Ucapan ayahnya semakin meninggi. Membuat Aryla semakin beringsut takut. Sedangkan Radit yang berdiri di belakangnya juga merasa tak enak hati melihat kesalahpahaman di antara Aryla dan ayahnya.

"Maafkan kami, Paman. Kami hanya sedang melaksanakan liputan lapangan. Kiranya Aryla pasti sudah menghubungi adiknya sebelum kami bertugas," bela Radit.

"Ayah tidak mau tahu, cari adikmu sampai ketemu kalau kau tidak ingin dicambuk dengan ikat pinggang ayah!" bentak ayahnya.

Terdengar menyakitkan bagi Aryla. Bahkan Radit pun tercengang dengan sikap kasar ayahnya. Pemuda itu melirik Aryla yang sudah mulai berkaca-kaca, tetapi belum menemukan celah untuk menenangkannya. Radit masih tetap mematung di belakang Aryla. Menunggu tindakan yang akan diambil Aryla berikutnya. Tidak bisa disangkal, ia cemas melihat Aryla yang tak kunjung melakukan sesuatu untuk menanggapi gertakan sang ayah.

Aryla sudah akan pergi lagi untuk mencari Nando. Namun baru saja ia berbalik, Nando telah lebih dulu datang dengan wajah bingung mendapati kakaknya menyeka titik peluh di sudut matanya. Nando datang dengan masih memakai seragam sekolah yang ia kenakan sejak pagi hari ini. Itu berarti petang ini Nando memang baru pulang dari sekolahnya. Aryla begitu lega, hingga membuatnya berhambur ke arah adiknya. Mendekapnya lembut sesaat setelah memastikan tiap inci tubuh adiknya dalam keadaan baik-baik saja.

"Kemana saja kamu, Nando? Kenapa baru pulang sekarang? Apakah Gibran tidak menjemputmu, hm?" Aryla memberondong adiknya dengan banyak pertanyaan, tetapi tidak mengatakan jika ayahnya marah kepadanya. Nando menyadari kecemasan kakaknya. Nando juga peka terhadap suasana hati kakaknya. Tanpa diberi tahu pun, ia bisa membaca raut tegang kakaknya yang selalu muncul saat ayah mereka sedang marah.

"Apa kau baru saja dimarahi lagi oleh ayah?" tanya Nando yang seketika membuat Aryla menahan napasnya. Awalnya ia memang berniat untuk bungkam, tetapi Nando justru lebih dulu menyadari kecemasannya. Sulit sekali untuk berbohong pada adiknya.

"Kalau sampai itu benar, seterusnya aku akan mendiamkan ayah!" sergah Nando. Ayahnya sudah hampir habis kesabaran saat mendengat ucapan Nando, namun kemudian beliau memilih diam dan berlalu masuk ke dalam rumah. Ayahnya memang tak pernah bisa marah dengan Nando, tetapi selalu temperamen jika menyangkut Aryla.

"Aku akan pulang sekarang, bicaralah dengan adikmu! Sepertinya suasana hatinya sedang tidak bagus," saran Radit. Pemuda itu tidak ingin lebih lama lagi mengganggu waktu mediasi mereka.

"Terima kasih, hubungi aku nanti saat kau sudah sampai di rumah!" balas Aryla disertai dengan lambaian tangan saat motor Radit meninggalkan rumahnya.

Aryla menyusul Nando yang telah lebih dulu memasuki rumah. Ia menemukan adiknya telah merebahkan dirinya di ranjang milik kakaknya, dan bukannya berada di kamarnya. Aryla melepaskan kaus kaki yang masih terpakai di kaki Nando. Kemudian mendudukkan dirinya di sisi ranjang. Memandangi adiknya yang terpejam. Nando tidak tidur, ia hanya sedang menenangkan psikisnya dengan cara memejamkan matanya sejenak.

Biasanya jika sudah seperti itu, ia akan meminta Aryla mengusap dan menepuk dadanya dengan lembut untuk mengurangi sesak setiap kali hatinya sedang tertekan. Aryla begitu paham dengan kemelut hati adiknya yang selama ini membuatnya menjadi anak laki-laki yang sensitif.

"Sebenarnya tadi itu kau kemana saja? Apa Gibran tidak menjemputmu?" tanya Aryla penasaran.

"Tidak... tidak! Bukan itu, Kak! Aku yakin kak Gibran pasti sudah menjemputku. Ia bahkan meneleponku berkali-kali. Aku hanya ingin berkeliling. Kebetulan saat kubaca pesan darimu, kau bilang tidak bisa menjemputku," sangkal Nando.

Mendengar pengakuan Nando, cepat-cepat Aryla memeriksa ponselnya. Dan benar, ternyata Gibran juga telah menghubunginya berkali-kali. Aryla jadi merasa bersalah karena mengabaikan Gibran yang kebingungan mencari adiknya.

"Kau merindukan ibu?" tanya Aryla tiba-tiba. Kemudian Nando bangkit dari posisi tidurnya untuk menatap kakaknya lebih dekat. Ia tidak bicara dan malah meraih telapak tangan kakaknya, kemudian meletakkannya di dada. Lagi-lagi ia ingin kakaknya memberikan usapan lembut untuknya. Aryla bisa merasakan ketika Nando bernapas dengan berat.

"Jadi benar..." pungkas Aryla.


Terima kasih untuk semua yang telah berkenan mampir,

salam hangat,

Siluet DistorsiWhere stories live. Discover now