In your living room

4K 482 24
                                    

Hinata meremas roknya gugup, sedari tadi matanya begitu jahil menilai tiap jengkal ruangan yang kini ia tempati bersama Dai.

"rileks." Dai bergumam, tanpa mengalihkan pandangannya dari tv layar datar yang menempel di dinding.

"huh, mudah bagimu bicara. Bagaimana jika ayahmu tidak suka padaku."

Dai menyeringai, "kau itu kesini untuk mengurusku, bukan membuat ayahku suka padamu."

Hinata memutar matanya. "kau tau benar apa maksudku, Dai-kun" Hinata berbicara dengan nada untuk mengejek Dai.

"ne, ne kaa-chan." Dai membals ucapan Hinata, dan mereka berdua tertawa hingga sebuah suara mengagetkan mereka.

"Dai, kau sudah pulang.?" Shikamaru datang bersama seorang wanita cantik berambut pirang panjang.

Dengan wajah yang kusut Shikamaru melepas kasar dasinya dan meletakkan tas kerjanya di lantai.

Hinata melirik tas kerja itu, tangannya begitu gatal ingin segera merapikannya. Bukan apa-apa, tapi bahkan di panti asuhan yang anak kecilnya bejibun saja selalu rapi.

"tou-san, siapa dia.?" Dai menatap wanita itu dengan pandangan tak suka, mengabaikan lirikan galak Hinata.

Shikamaru baru mau mengatakan bahwa itu rekan kerjanya, tapi Ino keburu bicara. "oh, aku teman dekat ayahmu." ia tersenyum semanis yang ia bisa, dan berkata lagi. "aku akan menginap di sini beberapa hari."

Dai tersenyum mengejek. "apa anda baru saja mengatakan kalau kau akan berusaha merebut hati ku begitu.?"

Ino nyaris menganga karna tak tau betapa tajamnya lidah anak lelaki Shikamaru ini. "well, begitulah." ia memutuskan akan meladeni kemauan bocah yang terlihat sombong di matanya ini.

"maaf mengecewakan anda nona, tapi aku kesini membawa pilihanku sendiri. Untuk menjadi ibuku." Dai berkata dengan angkuh,  matanya yang tajam berkilat penuh kemenangan saat melihat raut terkejut ayah dan wanita yang Dai asumsikan sebagai pacar ayahnya ini.

"dia.?" Ino berkata dengan nada tidak percaya sambil matanya memicing menilai penampilan Hinata dari atas hingga bawah.

"Dai, apa maksudmu.?" Shikamaru yang bingung akhirnya juga bertanya.

"aku akan menerima tawaran masuk universitas Kanada saat aku lulus empat bulan lagi. Makanya aku minta Hinata tinggal disini sampai aku berangkat." Dai menjelaskan.

"tapi apa maksudmu 'menjadi ibuku'?" Shikamaru membuat tanda petik dengan dua jarinya.

Dai mengangkat bahu, enggan menjelaskan.

"baiklah kalau begitu, antar dia ke kamar tamu." kata Shikamaru  akhirnya.

"kamar tamu di ujung itu.?" Dai memastikan. Shikamaru mengangguk.

"Tapi aku sudah memasukkan barang-barangnya di kamar sebelah kamar tou-san." Shikamaru memijit pelipisnya.

"yasudah, biar Ino saja yang di kamar itu." Ino menatap Shikamaru dan ingin protes, tapi Shikamaru sudah keburu mengerti demgan pandangan itu. "besok saja, aku lelah." katanya.

.

.

.

Rumah Shikamaru tidak besar, tapi tidak kecil juga. Ada dua lantai tepatnya.

Lantai bawah adalah ruangan terbuka yang nyaris tanpa sekat. Ada ruang tamu yang minimalis, lalu ruang keluarga yang dindingnya di ganti dengan kaca hingga saat siang hari cahaya dari sana bisa menerangi seluruh rumah.

Lalu dapur yang luas, dengan beberapa kursi dan sebuah meja agak besar yang berfungsi sebagai ruang makan.

Di bawah juga ada satu kamar mandi dan garasi dengan dua mobil mewah dan satu motor sport besar terparkir di sana.

Sedangkan lantai dua hanya berisi empat kamar tidur, dua kamar tidur besar, dua kamar tidur sedang yang di peruntukkan bagi tamu yang menginap. Tiga kamar saling berdekatan, sedangkan satu lagi terletak agak jauh karna di batasi dengan ruang baca.

.

Hinata membolak-balikkan tubuhnya di atas kasur yang baginya sangat empuk itu.

Sore tadi ia sampai di rumah ini, dan hingga sekarang tidak ada apapun yang terjadi, Shikamaru tidak bereaksi, Dai juga terlihat sangat dingin pada ayahnya itu.  Entah apa yang terjadi di antara mereka, Hinata tak ingin tau. Tapi ia ingin tau dimana letak kamar mandi.

Ia keluar kamar, dan melihat sesuatu yang harusnya tidak ia lihat.

"sebaiknya kau kembali ke kamarmu, selama di sini cobalah untuk bersikap sopan." Shikamaru menekankan kata-katanya. Dan segera menutup pintu kamarnya.

Ino berbalik dan terkejut melihat Hinata, "apa lihat-lihat.?" ia berseru kesal dan menabrakkan bahunya dengan keras ke tubuh Hinata. Membuatnya sedikit oleng.

.

Bangun pagi adalah rutinitas Hinata, entah itu hari libur atau hari biasa. Entah itu di rumah sendiri, atau di rumah orang lain. Seperti saat ini, pukul setengah enam pagi ia sudah bangun dan menyiapkan keperluan sekolahnya, yang ia lakukan selanjutnya adalah membuat sarapan pagi.

"Dai, Dai bangun." Hinata berbisik dan mengguncang tubuh Dai perlahan.

"hmmm, apa sih.?" Dai menjawab dengan mata terpejam. Entah ia sudah sadar atau belum.

"boleh aku masak di dapurmu.?" Hinata berbisik lagi.

"hmmm, anggap saja rumah sendiri." Dai menarik lagi selimutnya, menutupi hingga kepala.

"dasar tukang tidur." Hinata menggerutu dalam perjalanannya menuju dapur. Dan ia menambah gerutuannya saat ia membuka pintu kulkas.

Dalam kulkas yang besar nan mewah itu hanya berisi berkaleng-kaleng soda dan sake.

Beberapa buah jeruk, dan sekotak susu yang isinya mungkin hanya tinggal setengah, beberapa butir telur.

Dan saat Hinata membuka lemari dapur, ia hanya bisa mengambil nafas. Berbungkus-bungkus ramen dalam berbagai rasa dan merk memenuhi lemari.

"pantas orang kaya hidupnya pendek." Hinata bergumam, tak heran Dai saat di sekolah selalalu mengeluh sakit perut, atau perutnya kembung. Ternyata ini sebabnya.

Akhirnya, ia membuat sarapan seadanya, dengan teh melati panas dan segelas jus jeruk untuk Dai. Hinata baru akan menuangkan air mendidih ke dalam teko saat seseorang mendorongnya dan membuat air panas yang ia pegang tumpah mengenai perut dan lengannya.

"kyaa." Hinata memekik kecil, ia terbiasa menahan suaranya, karna dari kecil ia hidup di panti yang di dalamnya terdapat banyak anak kecil.

"ups, maaf aku tak sengaja." Ino menatap sinis Hinata yang tengah mengibas-ngibaskan baju yang ia kenakan.

"hiks." satu air mata lolos dari mata Hinata.

.

.

.

😠

Kezel akutuh sama Ino.

You Must be my MOMWhere stories live. Discover now