13. Kita Yang Tak Lagi Rahasia

8.7K 414 18
                                    


Cinta itu butuh perjuangan. Tidak peduli, seberapa manis rasanya. Kadang-kadang, kita harus menyecap rasa pahit dalam kisah cinta. Seperti sekarang, Leonardo Firdaus terdiam di kursi kebesarannya. Pria bermata biru itu benar-benar tidak menyangka, bahwa calon mertuanya akan memberinya nasehat halus, dan belum bisa menerima Leo sebagai menantunya.

Jauh di dalam lubuk hati pria itu, egonya sebagai pria terluka. Dia selalu dipuja, dan mendapatkan dengan mudah apapun yang diinginkannya. Pria berusia 30 tahun lebih itu meringis pelan, ingin mengumpat tapi dia menahannya karena melihat sang putra yang sedang tertidur di sofa.

"Erick," panggilnya lembut, berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang kalut.

Bocah kecil itu hanya mendesis pelan, lalu menggeser tangan sang Papa dari bahunya, mencoba mencari kenyamanan dan tidak ingin diganggu. 

"Sudah siang, kamu belum makan dari tadi pagi, Boy." Kali ini, Leo menggendong putra tunggalnya itu. Hingga membuat mata Erick, mau tak mau terbuka.

"Papa!" Tegurnya, lalu memandang Sang Papa dengan pandangannya tidak suka.

"Jangan menatap Papa seperti itu, waktunya makan."

Pria bermata biru itu, mengecup pipi putih Erick, lalu disusul tawa geli bocah 3 tahun itu, karena Leo sudah megecupi seluruh area wajahnya.

"Mama dimana?" Erick bertanya dengan nada tidak jelas, sambil menyantap makanannya dengan lahap, sehingga mulutnya penuh dan belepotan.

"Sebentar lagi juga datang, dan jangan berbicara ketika mulutmu seperti itu, Boy." Leo menasehati, tangannya terjulur untuk menarik tisu dan melap bibir Erick.

"Pa, nanti aku sama Mama mau pergi ke taman. Temani yah." Pintanya.

Leo mengangguk, lalu tersenyum. "Tentu saja, Boy."

Hubungannya dengan Erick, semakin hari semakin maju. Erick sudah terbiasa dengan kehadiran Leo, dan pria itupun sebaliknya. Mereka sering melakukan kegiatan bersama, dan Leo sering mengajak Erick ke tempat kerjanya. Juga membawanya ke berbagai tempat, seperti sekarang. Mereka makan di salah satu restauran Jepang ternama di Jakarta, Sushi Tei.

"Ohayo-" Sapaan beberapa karyawan terdengar, pertanda ada tamu yang masuk.

"Mama!" Seru Erick, ketika melihat Mamanya masuk, wanita 28 tahun itu tersenyum manis, lalu memeluk putra tampannya.

"Sayang, kamu makan apa?"

"Sushi Ma, rasanya gak seburuk yang kita pikirkan," jawabnya sambil terkikik geli.

Ana tersenyum kaku, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dulu, dia dan Erick sering membayangkan sushi itu seperti apa rasanya? Ana sendiri, tidak pernah mengkonsumi makanan itu, karena alergi dengan yang namanya daging yang tidak matang, seperti tingkat kematangan medium misalnya. Bukan, bukan wanita itu tak sanggup untuk membelikan Erick seporsi sushi untuk putranya, tapi di pulau Samosir makanan Jepang itu tidak tersedia.

"Darimana kamu?" Suara Leo, membuat Ana mengerjap pelan.

"Dari tempat percetakan buku," sahutnya.

"Mbak!" Ana memanggil seorang waiters, lalu memesan semangkuk nasi goreng teriyaki, dan segelas ocha dingin, yang tentu saja bisa direfil.

"Jadikan hari ini, kamu mengajari aku sholat?"

*

"Leonardo Firdaus, seorang pria yang digilai di Amerika, rela mualaf, hanya demi gadis yang tidak seberapa itu?"

Mata Leo, terpaku pada sesosok wanita berdress hitam, setengah paha tanpa lengan. Sexy. Pria itu masih tidak buta, untuk tidak mengenali. Alexa Caprio, wanita yang menjabat sebagai sahabatnya, sekaligus mantan  friend with benefitnya.

Cinta Satu Malam (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang