Down to Memory Lane

3.7K 137 36
                                    

Semenjak kejadian mas Rafa membelikan makan malam untuk mas Naren, kekagumanku pada mereka berdua mulai tumbuh dan kian subur. Apalagi teman-teman kelompokku yang lain juga sudah mulai berisik dan terang-terangan menggoda mas-mas anak pak dukuh itu. Ditambah pak dukuh dan bu dukuh malah senyum-senyum saja reaksinya kalau kami sibuk menggoda bujang-bujang mereka. Poin lainnya, mereka berdua jomlo alias tidak punya pacar. Tambah bahagia lah teman-temanku ini. Waktu itu di antara kami berenam, yang sudah punya pacar hanya 2 orang. Lagi-lagi aku dan mbak Sasa. Mbak Sasa malah sudah lamaran. Jadi kami berdua walaupun dekat dengan mas Naren dan mas Rafa, jelas tidak mungkin memiliki rasa yang lebih apa lagi berharap punya hubungan yang lebih dari sekadar kenalan dan teman.

Setiap pagi, saat kami membantu ibu memasak sarapan, biasanya aku dan seorang temanku bernyanyi-nyanyi lalu tertawa. Suatu pagi, karena di rumah bu dukuh akan ada acara, Bu Sutri, ibu yang rumahnya dulu pernah aku tanyakan kepada mas Naren, ikut membantu ibu memasak di dapur. Saat kami sedang asyik-asyiknya bercanda dan bernyanyi di dapur, tiba-tiba alarm mas Rafa berbunyi. Alarmnya berbunyi sama sekali tapi mas Rafa tidak kunjung bangun.

"Mas Rafaaaa! Banguuun!" teriak kami bergantian. Mas Rafa akhirnya mematikan alarmnya. Bu Sutri tertawa melihat tingkah kami.

"Biasanya ibu kalau bangunin anak itu manggilnya anak soleh, karena kalau selain itu kan tidak boleh. Panggilan kita ke anak itu adalah doa kita, jadi ibu nggak pernah manggil anak ibu pemalas. Manggilnya selalu anak soleh," ujar bu Sutri.

Kami yang mendengar penjelasan bu Sutri itu kemudian bareng-bareng tertawa tapi merasa bahwa hal itu masuk akal. Memang anak-anak sebisa mungkin mendapatkan reward positif dari orangtuanya, termasuk dalam hal panggilan atau julukan.

Beberapa menit kemudian, saat kami semua di dapur sedang asyik sendiri-sendiri menunaikan tugas memasak kami masing-masing, ada yang sedang memotong kacang panjang, mengupas kentang, mengulek, mengaduk sayur, tiba-tiba gantian alarm mas Naren yang berbunyi. Kami serempak memanggil-manggil mas Naren untuk membangunkannya.

"Mas Nareeeen! Ayo bangun!" teriak salah satu temanku.

"Anak soleh, bangun, anak soleh," teriakku. Yang lain tertawa, termasuk bu dukuh.

"Ayo, anak soleh. Udah siang!" teriak mbak Sasa dan yang lainnya. Alarm mas Naren dimatikan. Kami berhasil membangunkannya pagi itu.

Setelah kejadian pagi itu, kami memanggil mas Naren dan mas Rafa anak soleh. Setiap mereka kelihatan rapi dan mau pergi, kami selalu bertanya, "Mau ke mana anak soleh?"

Yang sering berangkat pagi biasanya mas Naren. Aku dan temanku biasa mengikutinya ke teras dan banyak bertanya, sengaja ingin membuatnya sebal.

"Anak soleh mau ke mana? Nanti pulang jam berapa? Pergi sama siapa? Temannya kapan diajak ke sini?" begitu terus kami bergantian bertanya sampai mas Naren menghela napas panjang sekali, pura-pura sebal. Kami tertawa, ia pun ikut tertawa.

Mas Rafa biasanya pergi siang hari, saat kami sedang tidak di rumah karena pergi ke rumah warga atau ke puskesmas untuk membantu di sana. Jadi biasanya ia pergi dengan damai dan tentram tanpa pertanyaan macam-macam.

Kemesraan kami terjalin lewat candaan seperti itu. Hal-hal yang sengaja dibuat menyebalkan tapi sebenarnya lucu. Aku sendiri dan temanku beberapa kali membantu mas Naren mengerjakan tugas akhirnya yaitu membuat maket, seperti rumah-rumahan kecil yang terbuat dari kertas karton yang dipotong-potong berdasarkan pola yang sudah dibuat mas Naren. Kami membantu memotongi kertas mengikuti pola lalu memberikan lem dan menempelkannya. Tentu saja diselipi candaan tidak jelas dan sesekali teman-temanku menggoda mas Naren.

Kekagumanku pada mas Naren dan mas Rafa hampir sama karena keduanya sama-sama adorable. Aku melihat mereka sebagai kakak adik bukan sebagai laki-laki yang mungkin akan kupacari. Jadi rasa kagumku sebatas senang melihat kelakuan dan interaksi mereka saja, tidak sampai berdebar-debar dan susah tidur. Sampai suatu malam, saat aku, teman-temanku dan bu dukuh baru saja pulang dari kumpul PKK, waktu itu pukul 22.00 dan kami berjalan ramai-ramai untuk pulang ke rumah. Di jalan, kami melihat mas Naren sedang mengendarai motor ke arah kami. Sekitar 10 meter di depan kami, tiba-tiba mas Naren putar balik, lalu menghampiri seseorang. Orang itu kemudian membonceng ke motor mas Naren lalu mas Naren melaju. Teman-temanku pada heboh.

anagataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang