Berhentilah Berjuang

2.4K 88 20
                                    




"Tunggu sebentar. Ini sudah mau sampai," suara mas Naren di telepon.

"Okay," jawabku sambil celingukan mencari mobil mas Naren.

Aku sudah sampai di Jogja lagi dan hari ini, tugas mas Naren adalah menjemputku di bandara karena aku baru sampai di bandara setelah maghrib. Alasannya sih seperti itu, padahal aku yakin kalaupun aku sampai di Jogja siang hari, mas Naren akan tetap menjemputku.

Sambil memegangi koper dan sebuah tas berisi oleh-oleh, aku berdiri di tepi titik penjemputan, menunggu mas Naren. Sebuah mobil mendekatiku, aku perhatikan pengendaranya, mas Naren tersenyum sambil melambaikan tangan. Aku membalas lambaiannya dengan tawa. Ia kemudian menepikan mobilnya lalu turun menghampiriku.

"Selamat lebaran," ujarnya sambil menyodorkan tangan kanannya. Aku menyambut tangannya sambil tersenyum lebar.

"Selamat lebaran. Maaf aku terlalu cantik," kataku jemawa. Mas Naren tertawa.

"Kamu nggak usah minta maaf, karena percuma. Cantiknya diulangi lagi," balasnya. Ia kemudian dengan sigap membawa koper dan tasku lalu memasukkannya ke dalam bagasi mobil, membiarkanku menikmati sipu malu-malu yang berusaha kusembunyikan. Setelah semua barangku dimasukkan ke mobilnya, aku bergegas masuk ke mobil, duduk di sebelahnya.

"Masih pukul tujuh. Kamu mau main ke rumahku dulu?" tanya mas Naren. Aku melirik jam di pergelangan tanganku.

"Ketemu bapak sama ibu? Nggak besok aja, mas?" tanyaku gugup.

"Sekarang aja, tapi kalau besok mau main lagi ke rumah juga nggak apa-apa," jawab mas Naren.

Aku mendengus.

"Nanti sebelum pukul 9, aku antar kamu pulang," mas Naren berjanji. Akhirnya aku setuju.

Memang perjalanan dari bandara menuju Bantul itu tidak seromantis jalanan daerah Tugu Jogja dan Malioboro, tapi kalau perjalanannya sama orang yang selama ini dirindukan, rasanya sama saja romantisnya. Di dalam mobil, aku dan mas Naren tidak banyak mengobrol. Kami hanya sesekali bercerita tentang seberapa ramai lebaran tahun ini dan silaturahmi ke mana saja kemarin. Sisanya, perjalanan kami hanya diwarnai aku yang sibuk memandangi lampu-lampu kota dan mas Naren yang fokus menyetir sambil mendengarkan lagu-lagu Payung Teduh.

Sesampainya di rumah mas Naren, aku segera turun dan bertemu dengan bapak dan yang menyambutku dengan begitu hangat. Kami bersalaman lalu aku menyerahkan oleh-oleh berupa kerupuk ikan dan pempek khas Palembang untuk mereka.

"Lebarannya ramai nggak, mbak di sana?" tanya bapak saat aku sudah duduk di ruang tamu.

"Ya lumayan ramai, Pak. Tapi kalau dibandingkan lebaran di sini mah ya termasuknya sepi," jawabku.

"Kalau di sini sampai hari ketiga juga masih ramai," sahut ibu sambil memberikan segelas teh hangat manis di hadapanku.

"Ya iya kan bapak dukuh di sini, jadi pada main ke sini," balasku sambil tertawa.

"Lha iya, mbak. Kalau mau lebarannya ramai, mulai tahun depan mbak lebaran di sini saja," sahut bapak. Aku membalas candaan bapak dengan tawa yang agak kaku karena sebenarnya aku bingung harus menanggapinya bagaimana.

Obrolan kami di ruang tamu berkisar topik mudik dan lebaran saja. Sesekali bapak menanyakan bagaimana orang tuaku di rumah dan apa yang mereka lakukan selama lebaran kemarin. Hampir pukul 9 malam, aku akhirnya memberi kode pada mas Naren untuk mengantarku pulang.

"Sering-sering main ke sini ya, mbak," pesan bapak saat aku berpamitan.

"Dia akan sering main ke sini kok," balas mas Naren. Aku hanya menanggapinya dengan hehehe saja.

anagataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang