10. Kesan-kesan berikutnya

249 66 10
                                    

Suasana semakin canggung saja setelah pernyataan Chalista tadi. Bahkan bibir Chalista kini terkatup cukup rapat guna menahan erangan yang mungkin saja akan keluar karena Sari terus menginjak kakinya di bawah meja.

Kesal? Ya, Sari kesal.

Hani yang menyadari atmosfir di sekitarnya mendadak berubah buru-buru menawarkan hidangan penutup.

Berbeda dari mereka, pria yang selalu terlihat santai itu malah menanggalkan jas kerjanya, lalu menyampirkan di kursi.

Sari menunjukkan watadosnya. "Maaf ya, emang gitu dia kalo ngomong, suka gak disaring dulu." simpulnya.

Hani tersenyum, lalu menyentuh Sari lembut. "Iya Sar, gak pa-pa kok."

Merasa suasana semakin tegang dan langit semakin gelap, Burhan berdehem sebentar. “Jadi, Hani udah cerita banyak tentang putri kalian dan saya menyetujui itu." Hani, Sari dan Randra tersenyum lega.

“Menyetujui apa, Om?” sela Chalista tak sabar. Yang tentu saja mendapatkan pelototan dari sang ibunda.

Kebiasaan nih anak, batin Sari.

Ekor mata Chalista mendapati ibunya seakan tak suka dengan apa yang baru saja ia tanyakan. Buru-buru ia meminta maaf. "Eum ... maaf, silakan dilanjutkan, Om."

Hembusan napas berat terdengar sampai di indra pendengaran Chalista, ia menolehkan kepalanya sedikit. Ada Nathan di sana, si pria yang tangannya sibuk membuka kancing kemeja bagian atas karena merasa gerah.

Gadis berzodiak Pisces itu mengalihkan pandangannya cepat, tatkala netra mereka bersitubruk sekilas. Kelopak matanya berkedip dua kali guna menetralkan kegugupan.

“Tujuan kami hanya satu ... mempersunting putri kalian untuk putra kami."

Haduuh sumpah, ini gue deg-deg'an gak pake bo'ong.

Chalista meremat jemari di bawah meja. Setelah mendengar pernyataan Burhan barusan keringat dingin dengan cepat membasahi kening juga telapak tangannya.

Nathan berusaha mencuri pandang. Gadis yang ia pikir masih duduk di bangku sekolah menengah pertama itu tampak gundah. Meskipun ia tahu bahwa gadis mungil di depannya ini sudah kelas dua belas SMA, tapi rasanya sulit untuk dipercaya.

Lagi-lagi tatapan mereka bertemu, Nathan berusaha mengunci pandangan mereka, namun Chalista memutusnya sepihak. Terlalu canggung rasanya jika harus bertukar pandang dengan seorang pria.

"Sebaiknya, tunangan dulu lah ya .... " beo Sari tiba-tiba. Membuat Chalista membulatkan matanya lebar, tapi sayang matanya yang sipit tak sempat melebar dengan sempurna.

Hanya tersisa dessert di depan mereka. Melihat itu, membuat Sari ingin mencomot es krim dengan warna pelangi itu saja.

Hani mengernyit, lalu ia berkata, "Sebaiknya kapan?"

"Lebih cepat, lebih baik." sahut Burhan, ia ikut menyomot hidangan di depannya.

"Kalo menurut saya pribadi, pelan-pelan saja. Lagian mereka juga baru kenal, kan?" ucapan Randra mendapatkan tatapan tak setuju dari beberapa pihak. Burhan yang pertama kali menanyakan unek-uneknya. "Maksudnya gimana ya?"

"Kenapa mereka gak pacaran aja dulu? PDKT, biar mereka saling mengenal lebih dalam. Nikah karena perjodohan itu gak gampang loh, apalagi buat putri saya yang masih ingusan ini."

Tau aja nih bokap kalo gue lagi flu.

Hani, Burhan serta putranya manggut-manggut samar.

"Iya juga sih, biar mereka lebih akrab gitu kan ya?"

"Hu'um."

Cukup lama mereka berbincang, sampai rasanya pantat Chalista sudah panas, terlalu lama duduk.

Tangan mungil itu terus saja mengucek matanya yang sudah sangat berair dan merah. Ia sudah tidak fokus lagi ke pembicaraan orangtua mereka, terakhir kali ia dengar Sari dan Randra membahas tanggal tepatnya.

Nathan tampak tenang di duduknya, senyum samar terukir di bibirnya. Sudah lebih dari dua kali ia mendapati Chalista menguap lebar, seperti saat ini.

Lihat saja pipinya yang chubby berangsur memanjang saat bibir mungil dengan lipstik merah muda itu terbuka cukup lebar, bahkan Nathan pikir, jika ada nyamuk terbang mungkin saja nyamuk tersebut akan penasaran dengan apa yang ada di dalam dan memutuskan masuk, begitu pun Nathan.

Kenapa? Nathan pria normal bukan?

Ia menggeleng pelan, berusaha menghilangkan pikiran negatifnya yang mulai melantur ke mana-mana.

"Ternyata udah malem banget, restorannya juga udah mau tutup."

Dengan kesadaran penuh Chalista menoleh menatap ibundanya.

"Iya Sar, kalian juga harus istirahat."

Mereka berdiri, saling berjabat tangan, lalu berpelukan singkat. Begitu pula pria berwajah datar yang Chalista pikir akan sangat menyebalkan itu merangkul Randra, dan berpindah mencium punggung tangan Sari.

Chalista tersentak kaget. Sari menyenggol pundaknya dengan sengaja. "Salaman dulu, yang sopan dong kamu." bisiknya.

Tanpa menunggu lama ia segera meraih kedua tangan Hani dan Burhan bergantian. Lalu mengucapkan salam, dan mereka berpisah di pelataran restoran.

***

Bulan kini sudah tak terlihat di langit malam yang sepertinya akan segera hujan.
Hembusan angin pun terasa dingin menusuk ke tulang-tulang.

Berbeda dengan Chalista yang sudah berlabuh di alam mimpinya. Sari cepat-cepat berjalan menuju jendela di sampingnya. Jendelanya terbuka, jadi udara dingin masuk dan terus mendominasi suhu di ruangan ini.

Mengadahkan tangannya sebentar, ia menghela napas.

Tanpa Sari sadari Randra sudah berdiri tepat di belakangnya, perut Sari yang ramping memudahkan Randra melancarkan aksinya, memeluk sang istri dari belakang, menumpukkan dagunya di pundak Sari, menghirup aroma memabukkan sang candu.

"Ayo tidur, udara malam gak baik buat kamu."

Suara bariton yang terdengar serak dan memabukkan memasuki indra pendengaran Sari. Sari sangat lelah, akan tetapi mungkin saja malamnya kali ini akan terasa lebih panjang.

 Sari sangat lelah, akan tetapi mungkin saja malamnya kali ini akan terasa lebih panjang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Ketika kata tak lagi mampu mengisahkan kita ... hanya aku, kamu dan Tuhan yang tahu ....

Tinggalkan bintang serta komentar positif kalian!

HEART HARBOURWhere stories live. Discover now