The situation is something to blame, because I feel weird by your side.
***
Malam itu, aku pun mengerti defenisi tentang untaian benang hitam. Eksistensi yang tidak pernah diharapkan ada. Namun cepat atau lambat, dia akan datang merenggut kehidupan seseorang. Bakat yang awalnya kupikir sebagai lelucon, mulai menjadi hal yang menggerikan.Lama kelamaan, aku merasa aneh dengan bakat ini. Pertanyaan yang seharusnya kutanyakan sejak awal, pun kembali mengerubungi diriku.
Bagaimana bisa aku mendapatkan kemampuan ini? Mengapa harus aku? Dan apa tujuannya aku--seseorang yang normal dan tidak penting--mendapatkan kemampuan ini?
Semua ini membuatku bingung....
Tidak benang merah, tidak benang hitam, tidak Arlan Pratama.
Hari ini adalah hari senin, upacara bendera. Hal yang ajaib hari ini adalah fakta bahwa aku bisa kebetulan berdiri tepat di samping Arlan Pratama hari ini.
Tidak tahu dia yang menyusut atau aku yang tumbuh tinggi tiba-tiba, karena urutan baris berbaris seharusnya diurutkan berdasarkan tinggi badan.
Kami tidak berbicara. Aku tidak terlalu memusingkan apa pun. Lagipula, memang sudah sepantasnya kami tidak mengobrol saat upacara sakral. Hanya terkadang, aku jadi bisa memperhatikan apa yang dilakukannya lebih jelas. Arlan Pratama jadi lebih pendiam, mungkin?
Sesi upacara pun berakhir. Kami masuk ke kelas masing-masing, berjalan berbaris sesuai komando pemimpin upacara. Saat sedang berjalan, Rania menjadi ninja yang tiba-tiba menyelip di belakangku. Padahal dia memang selalu berdiri di posisi hampir akhir, mengingat Rania memang termasuk perempuan yang tinggi di kelas.
"Tadi kami di belakang ngebahas soal festival minggu depan sama anak 8-2. Kayaknya mereka sudah nentuin bakal ngadain lomba apa," sahut Rania.
Aku menatapnya bingung, "Terus?"
"Terus apanya? Kelas kita dari kemarin belum nentuin lomba, padahal deadline-nya Jumat ini."
"Iya, jadi kenapa tidak bahas sama ketua kelas aja?" tanyaku sambil melirik ketua kelas yang berdiri di barisan kanan kelas kami, tampaknya tidak sadar kami sedang membicarakannya.
"Nah, bener tuh, kata Alenna. Kalau kamu bahasnya sama Alenna, nanti kelas kita malah ngadain lomba olimpiade," celetuk Fhea dari depan.
"Diam ih, Fheak! Aku nanya ke Alenna karena dia yang paling waras. Kalau nanya ke kalian, jangan-jangan kelas kita bakal ngajuin lomba makan bubur pakai sumpit!" ucap Rania mendramatis.
Saat dia mengatakan sumpit, aku mengerutkan kening. Apa tidak ada nama lomba lain yang lebih konyol daripada itu?
"Lagian ya, kalau kita nanya sama anak cowok, permainan yang mereka ajuin pasti permainan anak-anak. Percaya deh, kalau nggak lempar kelereng, ya palingan lomba umum misalnya lomba makan kerupuk kayak tujuh belasan," celetuk seseorang dari depan, yang sepertinya mendengar perbincangan kami.
"Jangan ngeremehin lomba makan kerupuk lho, ya. Pas aku kecil dan lagi kelaparan nunggu ibuku ngejemput pulang, lomba itu yang menyelamatkan perutku," sambung seseorang dari depan.
"Pembahasannya jadi ke mana-mana, kan," sahut Rania sambil menghela napas. "Ya sudah, kalau kita nanti kita diskusi sama sekelas. Nanti voting saja daripada sekelas diskualifikasi."
Aku hanya mengendikkan bahu. Salah Rania juga, mengapa harus membahasnya di sini alih-alih di kelas. Lagipula aku yakin, mereka pasti akan mendapatkan permainan yang mereka mau sebelum Jumat mendatang.
*
Aku mulai merasa aneh saat menyadari bahwa komunikasiku dengan Arlan Pratama sepertinya mulai terasa janggal sejak malam itu. Ya, aku tidak salah menafsirkannya. Bisa kurasakan dengan jelas bagaimana Arlan Pratama memilih diam saja daripada mengajakku mengobrol.
KAMU SEDANG MEMBACA
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...