BAB 1 : PATAH HATI LAGI (1)

11 0 0
                                    

Kesalahan yang kita buat adalah ketika kita meminta untuk dicintai, bukannya mencintai.

—Charlotte Yonge



Senja yang menyesakkan.

Aku kembali menelan pil patah hati. Pil ini terasa teramat pahit melebihi pahitnya jamu daun pepaya yang biasa ku beli dari mbok pinem. Tak hanya sebatas mual, ingin muntah, atau incresi sekresi saliva, tapi semua seakan bertambah lengkap dengan penampakan hitam dan kunang-kunang yang bercanda ria di selaput otakku.

Patah hati, bukan hal yang ingin kuintip lagi, setelah dulu, aku pernah begitu patah hati karena sebuah cinta monyet yang tak biasa. Cinta monyet yang kata orang hanya sebuah masa belajar mencinta—yang bisa saja kau lupakan hanya dalam sekali kedip mata—tapi malah mampu membuatku terkapar karena aku begitu sulit melupakannya. Tak biasa karena aku merasa seolah akan mati ketika tak ada dirinya.

Gila, memalukan, lebay, begitulah!

Dan aku—saat ini—benar-benar tidak ingin lagi berada di posisi itu.

"Lihatlah monyet, anggap saja kau dulu khilaf karena telah menyukai seekor monyet. Lalu apakah kau masih ingin mengingatnya?" Terputar kembali susunan kata menggelikan yang pernah diselorohkan sahabatku—yang setidaknya mampu membuat ujung bibirku menyipit. Saat ini dan untuk sebentar saja.

Aku melamun. Sangat lama. Terlena dalam angan yang coba kupalsukan. Sibuk menyusun puzzle pertanyaan yang sulit kupecahkan. Tentang alasan dia memutuskan untuk menjauh dari hidupku. Tentang kebahagiaan yang tiba-tiba terhempas angin dan berlalu.

Bagaimana mungkin dia mampu menghilang?

Bagaimana bisa dia tega meninggalkan?

Bukankah hari-hari lalu dia masih bisa mengatakan padaku dia tak akan pergi?

Bukankah hari-hari indah itu masih bisa kurasakan sisanya hari ini?

Tapi kenapa?

Karena dia lenyap.

Akhirnya kenyataan itulah yang menetapkanku sebagai terdakwa patah hati. Untuk kesekian kali.

<<aulya>>

PERI KERTASWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu