A K U

11 3 1
                                    

Diskha Sandhya, nama pemberian Ayah dan Ibu sejak aku lahir ke dunia. Aku anak kedua, sekaligus anak perempuan satu-satunya. Karena itulah, aku agak sedikit membanggakan diri. Menjadi anak perempuan satu-satunya selalu mendapat perhatian lebih dari orang tua.

Aku punya abang yang tiap kali melihatnya rasa iriku muncul karena hidungnya. Ya, hidungnya yang tinggi bak gunung Mount Everes hehehe. Namanya Rey Phasya. Orangnya baik dan perhatian, tapi kalau ada maunya. Yang paling menyebalkan dia suka menggantungkan baju di mana pun dia mau eerrrrgggghh. Waktu kecil, aku selalu ikut ke mana dia pergi bermain. Dan aku terbiasa bergaul dengan teman-temannya, bermain bersama mereka. Apa saja yang mereka mainkan aku ikut kalau permainannya mudah dan ringan, seperti main sepeda, bola kasti, kelereng, petak umpet, tapi kalau sudah bermain bola aku ya cuma bisa menonton saja.

Di bawahku ada adik laki-laki yang usianya selisih 15 tahun denganku. Ia sedikit manja, kadang juga jahil. Aku suka melihatnya saat tertawa. Lepas tanpa beban. Dulu sewaktu Ibu mengandungnya, Ibu selalu ingin mempunyai anak perempuan lagi. Aku sangat marah karena tidak ingin posisiku sebagai anak perempuan satu-satunya tergantikan. Maklum saat itu usiaku masih belia, 14 tahun. Waktu itu, alat canggih pendeteksi jenis kelamin bayi belum terlalu familiar, kalau pun ada hanya orang tertentu yang bisa menikmati jasa ini, dan kami orang yang berpenghasilan minim hanya bisa check up di bidan desa. Tiba kelahirannya ternyata dia seorang bayi laki-laki. Dan kami semua memberinya nama Aldran Rama.

Ibuku seorang Ibu rumah tangga yang cukup produktif. Sambil momong anak ia bisa mencari rejeki untuk membantu pendapatan keluarga. Ia orang yang tegas dan berprinsip. Tidak pantang menyerah dengan kehidupan. Kuat dan selalu bersukacita. Ia juga stalker handal apa yang ia inginkan pasti didapatkannya dengan kerja keras tanpa meminta pada Ayah dan ini menurun padaku. Bagiku Ibu wanita perkasa.

Ayah. Seorang penjual ikan di pasar. Ayah tidak seperti Ibu, ia termasuk orang yang cukup santai menghadapi kehidupan. Bekerja yang penting cukup untuk makan, itu sudah sangat disyukurinya. Mungkin juga karena keterbatasan modal untuk usaha yang membuatnya jadi santai seperti itu. Ntahlah, hingga kami tumbuh besar pun ia tetap seperti itu. Ada satu kelebihan pada Ayahku, ia seorang yang berhati mulia, suka memberi walaupun ia berkekurangan. Ia tidak pernah melarang ibu untuk berpergian ke mana pun ibu suka. Ia juga rajin membantu pekerjaan ibu mengurus rumah.

Dan aku, seorang anak perempuan yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga sederhana, yang ditempa oleh keadaan cukup makan saja sudah syukur. Aku termasuk anak yang pendiam tapi memperhatikan. Tidak banyak bicara tapi melakukan. Dan kalau ditegur aku akan mengurung diri di kamar. Cengeng namun tidak manja.
Dari kecil aku sudah mengerti keadaan orang tua yang pas-pasan. Beruntung ketika sekolah dulu ada program orang tua asuh dan aku salah satu siswa yang masuk program itu. Walau demikian, aku selalu membiasakan diri menyisihkan sebagian bahkan kadang semua uang jajanku untuk ditabung. Dari hasil tabungan aku bisa bayar iuran sekolah, beli tas, buku, pena, fotokopi buku pelajaran dan keperluan sekolah lainnya. Hampir tidak pernah aku memintanya ke orang tua. Yang aku pikirkan adalah bagaimana caraku untuk meringankan beban orang tua.

Keluargaku adalah keluarga yang bahagia, sederhana, dan harmonis. Aku sangat mencintai ayah, ibu, abang, adik. Mereka adalah orang yang selalu melekat di hatiku. Tapi setelah kejadian tsunami itu, masalah besar menghimpit keutuhan keluargaku. Dan inilah kisahku.

Bila Kupandangi Langit SenjaWhere stories live. Discover now