Ada aku dipandang hadap, tiada aku dipandang belakang

25 2 0
                                    

Seorang satpam dengan sigap membukakkan pintu gerbang ketika sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik berhenti di depan gerbang.

Senyum ramah langsung tersungging di bibir Pak Danung--satpam tersebut--ketika matanya bertemu pandang dengan seseorang di balik kemudi. Anggukan pelan ia dapati sebagai balasannya, sebelum mobil melaju pelan ketika gerbang terbuka lebar. Mobil dengan perlahan masuk lebih dalam menuju parkiran di mana sudah berisi beberapa mobil lain dengan berbagai merk terkenal.

Hampir tiga mingguan ini Pak Danung setia membukakkan pintu untuk adik dari majikannya itu karena ia yang berjaga malam. Selalu di waktu yang nyaris sama, lewat dari tengah malam bahkan terkadang subuh. Pekerjaanlah yang membuat pria tersebut selalu pulang terlambat.

Pak Danung menutup kembali gerbang dan setelah memastikan sudah terkunci, segera masuk ke dalam posnya. Melanjutkan menonton siaran bola sepak kesukaannya tanpa mengurangi kesiagaannya mengawasi sekeliling rumah.

Kaki yang dibalut sol sepatu mahal itu menapak dilantai. Tubuhnya yang nyaris mencapai dua meter terlihat menjulang ketika keluar dari dalam mobil. Kakinya yang kokoh melangkah tegap meninggalkan parkiran. Memasuki rumah yang dengan sengaja tidak terkunci.

Suasana rumah dalam keadaan sunyi karena waktu telah larut. Ketika kakinya melewati ruang tamu, jam dinding langsung berdentang ... cukup nyaring. Menandakan bahwa waktu menunjukkan tepat pukul 02.00 pagi. Tangannya bergerak melonggarkan ikatan dasi lalu melepas dua kancing teratas kemejanya. Matanya mulai terasa lelah dan yang dibutuhkannya sekarang adalah beristirahat.

"Kau baru pulang?" Suara itu terdengar ketika kaki panjangnya menaiki undakan kelima anak tangga. Pria berkulit cokelat tersebut menghentikan langkah dan menoleh ke asal suara.

Itu ... kakak perempuannya yang sepertinya baru dari dapur melihat sebuah gelas besar berada di tangannya.

"Hmm ...."

Nelly menghela napas mendengar respon adik lelakinya yang datar itu.

"Sesekali cobalah untuk bersantai, Raz," pintanya lembut. "Baiklah. Beristirahatlah. Besok ada yang ingin kakak bicarakan."

Pria tersebut mengangguk pelan,"Aku duluan, kak," ucapnya lalu melanjutkan kembali langkahnya.

Nelly masih di sana. Memandang bagian belakang adiknya dengan tatapan campur aduk.

Hampir sebulan keberadaan Raza dirumahnya. Kalau bukan karena pekerjaannya, mungkin Nelly tak akan tahu kapan Raza bersedia tinggal lama di ibukota, dirumahnya.

Sudah lama sekali tidak bertemu dengan adik keduanya itu. Beberapa tahun belakangan Nelly tak sempat berkunjung ke Pekanbaru, kota di mana ia di lahirkan.

Ada aku dipandang hadap, tiada aku dipandang belakang. Nelly merasa bersalah dengan kurangnya komunikasi dengan keluarganya. Kesibukannya sebagai dokter bedah dan suami yang juga memiliki jam terbang yang tinggi, serta anak-anak yang masih sekolah membuatnya tak bisa meluangkan waktu banyak. Hanya bermodalkan video call sesekali yang selalu ia andalkan untuk berkomunikasi dengan orangtuanya di Pekanbaru.

Mereka tiga bersaudara. Nelly, Raza dan si bungsu Wildan yang juga tinggal berjauhan, di Jayapura. Menjadi seorang tentara dan ditugaskan di sana membuatnya mau tak mau harus menetap di sana sampai batas yang tak bisa ia tentukan. Bersama istri dan dua anaknya yang masih sangat kecil.

Tinggallah Raza yang menemani kedua orangtuanya di pekanbaru. Raza, si pria datar.

Adik keduanya yang seolah tak bisa dijangkau.

Adik keduanya yang mulai membuat kedua orangtuanya khawatir. 

Di umurnya yang ke-38, Raza masih sendiri. Tak ada tanda-tanda bahwa dirinya memiliki seseorang untuk dipinang.

Yang dilakukannya sehari-hari tak jauh-jauh dari dokumen-dokumen, pertemuan dengan klien, sidang dan segala hal yang berkaitan dengan pekerjaannya.

Sudah saatnya Nelly bertindak.

*****





Trouble Wedding - AirenWhere stories live. Discover now