Chapter 23

11K 399 4
                                    

Para pelayan kaget begitu melihat Dira berada dalam gendongan Daffa. Mereka hendak bertanya namun tertahan oleh rasa takut. Semoga gadis itu baik-baik saja.

Daffa membawa Dira naik ke kamarnya. Jangan ingat tangga, mansion sebesar itu mana mungkin tidak memiliki lift.

Dira terbangun saat Daffa berhasil membaringkan tubuhnya dengan pelan ke king size. Ia terpaku, jarak wajahnya dan Daffa begitu dekat.

"Sekarang jam berapa?" tanya Dira dengan suara seraknya.

"Jam 1 siang."

"Allisa belum jemput aku?"

Daffa mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Lagi pula untuk apa menunggu Allisa kalau dirinya sendiri bisa menghantar Dira.

Dira duduk di atas ranjang. Jari-jarinya saling bertautan.

"Hmm Daf?"

"..."

"Aku mau tinggal di sini bareng kamu," rengeknya dengan sangat manja.

"Ingat adik kamu." mendengar respon Daffa, Dira langsung terdiam.

Yang di katakan Daffa memang benar. Kalau Dira sampai tinggal bersama Daffa, lalu siapa yang akan mengurus Allisa dan Revan nantinya. Dilema yang luar biasa.

"Yaudah deh, nanti sore kamu antar aku pulang." Daffa mengangguk dan kemudian pergi meninggalkan Dira.

Jujur saja, ada rasa kecewa di hati Dira karena tidak bisa memenuhi keinginannya tinggal bersama Daffa.

"Duh yakali gue ninggalin Revan sama Allisa sendirian." Dira kembali berbaring. Matanya baru setengah terpejam, tiba-tiba seorang pelayan datang.

Pelayan itu mengatakan bahwa Daffa menunggu Dira di bawah, ada hal penting yang harus mereka bicarakan. Melihat kesan serius dari cara pelayan itu berbicara, Dira akhirnya mengangguk. Dari atas Dira dapat melihat Daffa tengah duduk bersama seorang wanita. Dira merasa tidak asing dengan punggung wanita itu.

Perlahan Dira menuruni tangga. Matanya menatap Daffa yang saat itu ikut menatapnya.

"Dira?" teriak Wenda. Ia bagkit dan berhambur memeluk Dira.

"Lu ngapain di sini? Eh kemarin lu gak datang ke acara pertunangan gue. Kenapa sih?" tanya Dira disertai rasa kaget.

Wenda menunduk. Tangannya saling meremas satu sama lain, seakan tengah menahan beban.

"Kalau orang nanya tuh di jawab. Lu kenapa?"

"Rumah gue baru aja kebakaran Dir. Gue gak bisa hadir karena sedih banget."

Mulut Dira menganga. Yang Wenda katakan seperti mimpi untuknya. Rumah itu adalah rumah yang dulunya mereka pakai melepas penat ketika pulang sekolah.

"Lu gak lagi main-main kan? Berhubung ini bulan april."

"Lu pasti gak lupa kalau gue paling benci april mop" Dira mengusap wajahnya dengan kasar. Wenda akan tinggal di mana sekarang.

Melihat Daffa yang hanya diam, mendadak hati Dira memanas.

"Kamu kenapa diam aja sih?" tanya Dira dengan kesal. Matanya menatap tajam kearah Daffa.

"Kamu tinggal di rumah Dira dan Dira tinggal di mansion saya. Sekalian kamu bisa mengawasi Allisa sekaligus Revan."

Wenda kaget bukan main. Ia begitu bahagia mendengar ucapan Daffa. Lain halnya dengan Dira yang berusaha mencerna ucapan Daffa, ia bahkan tidak menyadari bahwa tubuhnya telah di peluk kuat oleh Wenda.

"Ya ampun Dir, baik banget sih lu," ucap Wenda.

"Gak salah dengar kan aku mas?"

Please jangan lagi, batin Daffa. Lebay tingkat akut Dira sepertinya akan kambuh. Karena tidak mau menjadi korban, Daffa merampas handphonenya di meja lalu pergi.

"Aaaa Chagi ku, makasih loh." Daffa tetap berjalan tanpa memperdulikan teriakan Dira.

"CHAGI JANGAN PERGI."

"..."

"Yampun di tinggal lagi."

"Dir gue pulang dulu." Wenda merasakan kegerian yang sama seperti Daffa.

Tanpa melirik Wenda, Dira terus saja mengoceh. Saat Wenda pamit pun ia tidak peduli. Teman laknat.

Keberuntungan memang akan selalu berpihak. Keberuntungan untuk Dira adalah, bisa tinggal bersama Daffa tanpa perlu mengkhawatirkan kondisi Revan dan Allisa. Wenda pasti bisa menjaga mereka dengan baik.

Seperti di jatuhi ribuan bunga sakura, Dira berjalan ria menuju kamarnya. Tanpa ia sadari, Di balik tembok perbatasan ruang keluarga dan dapur, Daffa tengah menatapnya tersenyum.

Daffa tidak benar-benar pergi. Ia hanya menghindar.

"Tuan Daffa," Panggil Vanya. Daffa yang mungkin ketahuan tengah menatap Dira diam-diam hanya bisa memasang wajah datar.

"Kenapa?" Daffa tahu betul Vanya tengah menahan tawanya. Sial, umpat Daffa dalam hati.

"Ada telepon dari nyonya Helen,"

"Saya sibuk."

"Nyonya menitip harap melalui saya. Nyonya bilang ia ingin agar anda mengesampingkan masalah."

Daffa tidak mau memperpanjang obrolan dengan seorang pelayan. Bukan sombong, hanya saja Daffa merasa malas.

Daffa pergi begitu saja. Berjalan kearah telepon rumah dan tentu saja untuk menelpon Helen. Sepenting apakah sampai ibunya menelpon.

"Halo," sapa seseorang dari seberang sana.

Sejenak Daffa terdiam. Ia menarik napas untuk menetralkan degupan jantungnya. Saat ini biarkan masalah itu tidak teringat, Daffa hanya ingin mengetahui apa kepentingan si penelpon.

"Ada apa bun?"

Percakapan terus berlanjut. Saat Helen berucap panjang, Daffa hanya merespon singkat. Tentu itu membuat Helen merasa sedikit kesal.

"Baiklah." telepon di tutup. Daffa menyandarkan punggungnya, mencoba untuk menyembuyikan rasa kesalnya. Yah, walau hanya sementara.

My Cold Man [END√]Where stories live. Discover now