2

1.1K 9 2
                                    


Sebelum adzan Subuh berkumandang, Bima sudah terbangun dari tidurnya. Ia pun mandi terlebih dahulu untuk persiapan melaksanakan shalat ke mesjid.

Sebelum berangkat ke mesjid, ia menoleh sejenak ke arah istrinya yang masih terlelap.

Nadira Wafa, namanya. Seorang wanita yang membuatnya terpesona kala pertama kali berjumpa. Begitu terlihat anggun dengan tahi lalat di bawah dagu yang menambah kesan manis siapa pun yang memandang.

Bapak si wanita tersebut merupakan kawan sepekerjaan Seno -- Paman Bima--- di sebuah pabrik. Mereka pun dikenalkan agar pertemanan itu berlanjut menjadi saudara. Berharap para lajang itu merasa cocok.

Bima pun merasa tertarik dengan pemahaman agama wanita itu yang 'katanya' bagus. Ditambah penampilannya yang tertutup dengan jilbab lebar. Sehingga ia yang memang sedang mencari calon, tanpa pikir panjang lagi langsung melamar wanita itu, setelah mengenal selama dua bulan.

Harapan merajut keluarga yang sakinah dan mawaddah harus pupus, kala wanita itu ternyata tak bisa diajak bekerja sama. Apalagi istrinya tak ingin melakukan kegiatan ibu rumah tangga, yang biasa dikerjakan para istri.

"Kata Ibu, pekerjaan rumah bukan urusan istri. Karena istri bukan babu tapi ratu. Masa ratu ngepel dan cuci-cuci. Nanti tanganku jadi kapalan bagaimana. Ibu aja nggak pernah nyuruh ngerjain apapun. Masa setelah nikah aku harus ngerjain hal menyebalkan itu. Sorry aja," jelasnya panjang lebar.

Pantas saja saat masa perkenalan, setiap kali ia datang berkunjung, yang menyediakan minuman adalah calon ayah mertua. Ia kira itu hanya kebetulan. Sungguh hal sekecil itu malah luput dari perhatian.

Diberi pembantu pun tak mau. Katanya itu akan merepotkan dan menambah biaya. Apalagi ia akan merasa risih jika ada orang lain di rumah selain dirinya.

Ngerjain sendiri tak mau, dikasih pembantu juga menolak. Bima pusing jadinya.

"Mas, saja yang kerjakan. Gitu aja kok repot," ucapnya kala itu.

Astaga! Ia hanya bisa mengelus dada mendengar ucapan istrinya. Wanita yang saat itu baru beberapa hari dinikahinya. Bubar sudah rencana keluarga impian indahnya.

Bercerai pun rasanya tak mungkin, mengingat nama baik Paman Seno yang menjadi taruhan. Seseorang yang begitu baik kepadanya. Tak mungkin ia permalukan begitu saja. Biarlah dirinya yang menanggung. Siapa tahu ke depan ada keajaiban.

Bima hanya tak menyangka jika pemahaman agama istrinya hanya ditelan separuh. Belum full memaknai arti setiap kalimat hadist yang tertera.

Sering ia meluruskan kekeliruan tersebut, tapi tidak mempan. Istrinya tak ingin mendengarkan petuahnya sebagai seorang imam dan kepala keluarga.

Apalagi ajaran itu sudah terdoktrin dari ibunya semenjak gadis. Dan tentu saja istrinya lebih percaya ibu tercinta daripada dirinya yang baru dikenal beberapa puluh purnama. Butuh tenaga ekstra tentu saja. Tapi ia masih berharap suatu ketika istrinya akan berubah.

Bukankah sebongkah batu yang keras pun lama kelamaan akan hancur, jika tertimpa air terus menerus? Apalagi hati yang hanya sebongkah daging. Walau sudah empat tahun berlalu masih belum ada perubahan yang berarti.

"Dek, bangun. Udah masuk Subuh. Mas mau ke mesjid dulu, ya."

Istrinya hanya bergumam sebagai respon. Itu cukup bagi Bima untuk bersegera berangkat ke mesjid. Setidaknya ia sudah membangunkan sang istri.

Keluar pintu kamar, ia melihat bekas cemilan dan sate daging yang tinggal tersisa bumbu kacangnya masih tergeletak manis di atas meja.

Bima hanya menghela napas melihatnya, geleng-geleng kepala dengan kelakuan malas sang istri. Entah harus dengan cara apalagi menasehatinya.

Istri Yang Tidak Mau Mengurus Suaminya (Ready Stok)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang