Petir yang menyambar di luar sana terdengar seperti irisan amarah yang ingin langit bagi dengan Seoul.
Di bawah lebatnya hujan dari awan kelam sore hari terdapat ibukota super sibuk yang saat ini diheningkan serangan air keroyokan langit.
Lebih jauh lagi di dalam kota metropolitan itu terdapat seorang pria dewasa awal-atau remaja akhir?-tengah terduduk sendirian di atas permukaan sofa empuk yang menempel dengan jendela. Menjadi melankolis dengan menghayati kerasnya suara tetesan air yang bertumbukan dengan jendela kost yang ia singgahi, membuka barang beberapa senti bagian bawah bingkai kayu jendela itu dengan harapan bisa menghirup aroma petrichor yang menguar ke dalam kepala melalui perantara indera penciuman.
Jun duduk di sana dalam kondisi lampu ruangan dimatikan, wujudnya hanya berupa siluet yang disorot sisa-sisa cahaya redup dari luar sana.
Ia sesungguhnya bukanlah sang empunya ruangan. Ia hanyalah seorang tetangga. Tetangga menyenangkan sekaligus menyebalkan bagi si penghuni kamar yang sebenarnya.
Awalnya ia datang berniat untuk menghabiskan waktu bersama Mingyu sepulang kuliah seperti biasa. Tapi ternyata pria tinggi itu belum kembali dari kampusnya.
Ada beberapa probabilitas alasan masuk akal yang bisa membuat Jun memaklumi keterlambatan kepulangan Mingyu saat ini. Salah satunya adalah hujan lebat ini. Dan salah satu kemungkinan alasan Mingyu tidak membalas pesannya beberapa saat lalu adalah karena telepon genggamnya yang kehabisan daya.
Jadi beginilah keadaan pria oriental itu sekarang. Menunggu sang penghuni kamar datang, walaupun entah kapan.
Dan jika kau bertanya-tanya kenapa ia yang bukan penghuni kamar ini bisa mengakses ruangan ini dengan mudahnya, kau akan segera mendapatkan jawabannya.
Brak!
Pintu dibuka dengan kasar, mengejutkan Jun yang dengan spontan mengarahkan atensi pada asal keributan. Cahaya lampu koridor yang terang benderang mengiluminati sebagian kecil ruangan sekitar pintu, menampakkan sosok Mingyu yang telah basah. Kuyup, tak ada sedikitpun celah.
"Selamat datang."
Tanpa memedulikan presensi si tetangga, Mingyu segera melempar tas selempangannya asal dan menanggalkan seluruh pakaiannya hingga Jun bisa melihat tubuh yang telanjang bulat. Mingyu tidak peduli. Satu-satunya yang ia pedulikan untuk saat ini adalah kenyamanan di tubuhnya. Berharap dengan melepas semua bajunya, hal itu serta-merta membuat ketidaknyamanan itu pergi meninggalkannya.
"Astaga, Mingyu! Kau bahkan belum menutup pintu dan kau sudah memamerkan punggung dan bongkahan bokongmu itu di hadapan semua orang yang lewat di koridor?!"
"Masa bodoh!" Setelah berteriak demikian Mingyu segera mengambil langkah lebar menuju kamar mandi.
Brak!
Jun menggelengkan kepala tanda merasa tidak habis pikir dengan kelakuan kelewat cuek tetangganya itu.
Bangkit, ia berjalan menuju pintu masuk dan menutupnya dengan cara yang lebih layak-ketimbang Mingyu yang kerjaannya memperlakukan buruk semua pintu baik itu ketika membuka maupun menutupnya. Tidak tahukah dia jika suatu saat pintu itu rusak dibuatnya siapa yang akan membayar ganti ruginya?
Menekan tombol saklar samping pintu guna menyalakan lampu, Jun kemudian memunguti seluruh pakaian basah Mingyu dan melemparnya dengan tepat sasaran ke dalam keranjang cucian di sudut ruangan. Mengeringkan jejak basah yang Mingyu buat menggunakan lap kering yang entah ia mendapatkan dari mana.
Selesai, ia hanya tinggal menunggu suara air shower di balik pintu kamar mandi berhenti dan memunculkan Mingyu yang sudah bersih dan segar dari sana.
Dan itulah yang terjadi setelah beberapa menit berlalu.
Mingyu sudah mengeringkan tubuhnya di dalam kamar mandi, jadi ia tetap meninggalkan handuknya di sana. Muncul tanpa sehelai benangpun yang membalut tubuh, persis seperti ketika ia masuk ke kamar mandi itu. Sekali lagi membiarkan Jun melihat setiap inci lekukan indah yang dimiliki tubuh tinggi itu.
Mengenakan pakaian kasual khas pergi tidur, Mingyu kemudian mengeringkan rambut dengan hairdryer. Jun memperhatikan segala bentuk pergerakan Mingyu yang tampak... ia tidak tahu bagaimana ia menamai kondisi itu. Memang gesit? Atau tergesa?
Selesai, Mingyu mendudukkan diri di samping Jun dan tersenyum. Sudah merasa lebih nyaman, sepertinya. "Terima kasih karena sudah membereskan kekacauan kecil yang tadi kutimbulkan. Kau memang yang terbaik!"
Jun mengulas senyum tipis. "Tidak masalah. Sudah biasa kok."
Jika kau adalah Mingyu, mungkin kau akan merasa kesal dengan kalimat itu. Tapi tidak bagi Mingyu sendiri. Sungguh, ia benar-benar tidak peduli. Seakan itu adalah hal yang sudah sangat familiar, sudah biasa terjadi. Dan ia tidak merasa bersalah sama sekali.
"Ngomong-ngomong aku sangat terkejut dengan wajahmu. Apa yang terjadi?" Tanya Jun yang mendekatkan wajah dengan Mingyu, tampak khawatir.
"Hah? Kenapa memang dengan wajahku?"
"Memang kau tidak bercermin ketika di kamar mandi tadi?"
"Tidak, aku hanya membersihkan badan dan mencuci rambut. Memang ada apa sih?"
Jun meraih sebuah cermin-benda favoritnya-berukuran sedang dari atas nakas kemudian menghadapkan permukaannya pada wajah Mingyu.
Yang menatap cermin itu sontak membulatkan mata beningnya karena dibuat sangat terkejut.
"Ya Tuhan! Ini wajahku atau wajahmu?! Kok jelek sekali?!"
Jun merotasikan bola mata. Kata-kata yang keluar dari mulut Mingyu padanya memang seringkali tak terkendali.
Tadi di perjalanan pulang, dalam keadaan hujan lebat Mingyu sempat tertabrak mobil dan ia jatuh tersungkur hingga wajahnya menggores jalanan aspal-atau sebaliknya? Ia merasa perih tapi tidak tahu jika itu adalah akibat luka-luka goresan yang telah menghiasi wajahnya.
Kenapa sih Jun ini, punya kekasih ceroboh sekali?
.
.
.
.
Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.