03: Hujan dan Pertemuan Sore Hari

514 98 45
                                    

"Mantan?" Joice menanyakan kembali jawaban Arsel.

Arsel hanya mengangguk. Kemudinan ia menyadari kesalahan dalam kalimatnya. "Eh... bukan mantan pacar maksudnya," kata Arsel.

"Lah? Mantan apa terus?" tanya Joice.

"Gimana ya jelasinnya... rumit ini tuh," kata Arsel sambil menggaruk kepalanya frustasi.

"Nggak apa-apa deh! Jelasin sebisa kamu aja, biar aku simpulin sendiri," jawab Joice.

"Jadi gini... dulu waktu SMP aku kenal dia di acara temen kerja Papa," jelas Arsel.

"Terus?"

"Terus kita kenalan deh, dan akhirnya aku ngerasa ada yang berbeda dari dia," lanjutnya.

"Berbeda?" Joice bertanya.

"Iya!" Arsel menjawab mantap. "Intinya aku tiba-tiba suka sama dia."

"Oh, jadi dia itu... gebetan kamu?" Joice menyimpulkan.

"Bisa dibilang mantan gebetanku." Arsel menyetujui. "Tapi masalahnya bukan itu!"

"Hah?" ucap Joice. Perasaan bingung yang baru saja reda kini timbul kembali akibat mendengar ucapan Arsel.

"Aku sempat nulis surat buat dia... intinya aku ngungkapin perasaan aku," ucapnya.

"Akhirnya?" tanya Joice tidak sabar. Sungguh, ia ingin segera menghilangkan rasa penasaran ini. Sesegera mungkin.

"Akhirnya dia hilang dan kita nggak pernah ketemu lagi." Arsel melipat lengan. "Kata anak-anak sih dia menghindar dari aku, tapi aku nggak tahu lagi."

"Jadi, inti masalahnya apa?"

"Ya, aku jadi nggak enak sama dia." Arsel memandang ke bawah. "Maksudku, kita hilang kontak dengan alasan yang nggak jelas, dan jelas aku malu kalau misalkan dia masih inget surat yang aku kasih itu."

"Emang kamu masih suka sama dia?" tanya Joice.

"Enggak. Lagian juga aku udah sama Kak Ryan," jawab Arsel santai

Oh iya, Arsel sekarang ini sudah memiliki pasangan. Anak kelas 12, Ryan namanya.

"Nah, ya udah... kalo gitu nggak usah mikirin dia lagi." Joice memberi saran.

"Tapi-"

Ucapan Arsel terpotong. Bukan karena Joice menyelanya, namun karena setetes air yang jatuh di atas kepalanya.

"Eh, hujan?" Joice pun menyadari ada beberapa tetes air yang jatuh di kepalanya. "Sel, ayo cari tempat buat neduh dulu!"

Kemudian dua gadis itu menaiki sepedanya kembali, mengayuh pedal sekuat tenaga agar dapat terhindar dari hujan. Sampai keduanya tiba di depan pelataran toko dan mereka berteduh di sana.

≈≈≈

Sudah 15 menit lebih mereka berteduh tempat itu dan hujan semakin deras saja turunnya. Joice memeluk dirinya sendiri, ia merasa kedinginan meski telah memakai sweater birunya.

"Ini kapan sih berhentinya?" ucap Arsel sambil menampung tetesan air hujan di tangannya.

"Kamu sih, tinggal jawab aja pake ngulur-ulur waktu," jawab Joice, masih memeluk diri sendiri.

"Oke, semua ini salah aku," jawabnya.

"Emang," jawab Joice kesal.

Kalau saja Arsel memberi jawabannya dari awal, maka mereka mungkin sudah ada di rumah sekarang. Mungkin mereka sudah bersantai di kamar mereka masing-masing sambil membaca buku atau merebahkan diri di kasur.

Tiba-tiba ada sebuah mobil mendekat ke arah mereka. Sebuah mobil Toyota Kijang berwarna merah berhenti tepat di depan mereka. Dua gadis itu memandangi mobil di depan mereka dengan penuh tanda tanya.

Jendela pengemudi mobil itu terbuka, menunjukkan sosok wanita dewasa. Ia tersenyum ramah ke arah Joice dan Arsel.

"Kamu Arsel, kan?" tanya wanita itu. "Anaknya Pak Prapto, kan?"

"I-iya." Arsel gugup. "Tante siapa,ya?"

"Kamu lupa?" tanya wanita itu. "Tante dulu satu kantor sama orang tua kamu, masa kamu nggak inget?"

"Acara?" Arsel bingung.

Sementara Arsel masih bingung mengingat identitas wanita tersebut, Joice tak sengaja melihat seseorang tidur di kursi kosong samping pengemudi. Dia laki-laki, seragamnya sama dengan mereka, dan sepertinya ia mengenalnya.

Tiba-tiba pemuda itu terbangun saat Joice berusaha melihat wajahnya. Lalu tak sengaja ia bertatap muka dengan Joice, masih dengan wajahnya yang terlihat mengantuk.

"Artha?" Joice menggerakkan mulutnya dan mengernyitkan dahi.

Pemuda itu tersadar bahwa ia sedang diperhatikan oleh teman sekelasnya, matanya membulat seketika. Akhirnya ia membenarkan posisi duduknya, lalu menyapa Joice dengan canggung. "H-hai," ucapnya tanpa suara.

Joice membalasnya singkat, lalu ia juga menyapa wanita di sebelah Artha itu dengan ramah-kemungkinan besar itu ibunya.

"Kamu beneran lupa?" tanya wanita itu pada Arsel sekali lagi.

Arsel mengangguk.

Wanita itu menghela napas, lalu berkata, "Tante Sari, ibunya Artha."

"Oh, iya... a-aku inget, Te!" ucapnya jujur-sekaligus gugup.

Joice mengangguk-angguk saja mendengar itu, ia tidak terlalu terkejut. Sementara Arsel merasakan perasaan campur aduk, antara malu, sungkan, dan gugup.

Ia ingin mengucapkan permintaan maaf pada wanita itu karena telah melupakannya dan baru ingat saat ini. Namun ia juga merasa gelisah ketika mendengar nama Artha disebut. Ia takut bahwa ibu beliau mengetahui suratnya yang terdahulu.

"Artha, ini temen lama kamu disapa dong!" ucap wanita itu pada pemuda di sebelahnya.

Artha pun dengan canggung menyapa Arsel.

"Kalian mau pulang bareng kita nggak?" tanya wanita itu. "Tante masih inget rumahmu lho, Sel!"

Artha menatap sang ibu, sama dengan dua gadis itu yang juga menatap wanita itu dengan terkejut.

"Ini hujannya deres, kayaknya nggak bakal reda sampai malam," ucap wanita itu.

"Tapi, Te,sepeda kita gimana?" tanya Arsel.

"Hmm... kayaknya cukup deh kalo di taruh di belakang satu," katanya.

"Terus, satunya?" tanya Arsel lagi. "Kayaknya nggak usah deh, Te..."

"Satunya diiket di atas aja!" ucap wanita itu santai.

"Serius, Te?" Arsel tidak yakin, ia membulatkan mata.

"Kayaknya Arsel aja deh yang bareng Tante." Joice sungkan. "Saya pulang sendiri aja."

"Haduh, nggak usah sungkan, toh kamu temen sekolahnya Artha juga, kan?" ia terus merayu. "Hujannya deres banget lho."

"Nggak repot-repot, Te!" elak Joice. "Kelihatannya juga habis ini hujannya re-"

Suara guntur bergemuruh, memotong perkataan Joice. Hujan turun semakin deras, sepertinya benar kata ibu Artha bahwa hujan ini tidak akan reda hingga malam nanti.

"Tuh, kan? Tambah deres!" ucap wanita bernama Sari itu. "Udah, kalian tunggu di sini. Tante mau markirin mobil di depan sana dulu!"

Kemudian wanita itu melajukan mobilnya ke sebuah area parkir yang cukup teduh, tak jauh tempatnya dari Joice dan Arsel.

Wanita itu turun dari mobilnya bersama Artha, lalu memanggil Joice dan Arsel untuk mendekat ke arah mereka. Kemudian Artha membantu mengikatkan sepeda pancal Joice di atas mobilnya, sedangkan milik Arsel diletakkan di bagian belakang dalam mobil itu oleh ibunya.

"Dah selesai, ayo naik!" ajak perempuan itu.

"Makasih, Te!" ucap Joice dan Arsel bersamaan.

Akhirnya mereka pun naik, duduk di bangku belakang mobil Kijang itu. Untung saja ada Artha dan ibunya sore itu, kalau tidak, mungkin Joice dan Arsel bisa menjadi gelandangan di pinggir jalan untuk satu malam.

[BERSAMBUNG]

Melodi KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang