Chapter 4. Kubikelnya Keliru, Mas!

479 23 8
                                    

Dasar Mentari, sudah jelas itu bukan tempatmu lagi. Aku selalu merutukk kesalahanku, tetapi aku tidak mampu untuk melawan arus yang sudah terjadi. Aku bukan Tuhan yang mampu membolak-balikan hati setiap umatnya. Aku gadis biasa yang masih banyak belajar lebih dari yang aku tahu saat ini.


Jika kalian sering mendengar kata ta'aruf, kisahku kali ini tidak secantik itu. Aku tidak sedang menjalani hubungan dengan ta'aruf, tidak juga dengan diam-diam lalu melanggar perintah agama. Hanya saja, aku masih ingin berjalan sesuai apa yang sedang berlangsung saat ini.

Kalian pasti sering mendengar kalimat-kalimat penenang dalam sebuah lantun musik instrumental yang begitu indah. Namun, kalimat itu hanya sejuk sementara, berbeda dengan lantun ayat suci Al-qur'an yang tempo hari  dengan tak sengaja saat aku melintas melewati sebuah majelis. Saat itu, ketika terik matahari mulai membakar bumi, aku berteduh di depan teras, sesekali aku bersandar pada tiang pembatas seraya melepas lelah.

Meski penat sedang menjadi temanku, aku bersyukur setidaknya aku masih bisa menjalani kewajiban utamaku setelah dirasa penat itu pergi, berganti dengan sejuk ketika air wudhu mulai menyentuh kulitku. Wajah yang semula terasa terbakar berganti dingin. Namun, detik kembali menarik ingatanku saat aku sedang duduk bersama ayah di teras belakang rumah.

Untuk kali pertama aku tidak menyukai topik pembicaraan diantara kami berdua.

"Bukan seperti itu, Nak."

Aku masih mendengar suara ayah, walupun aku berusaha mencoba untuk tidak mendengarnya. Pelan, tapi aku masih bisa merasakan dingin udara malam saat itu berhasil membuatku terdiam ketika ayah melanjutkan ucapannya.

"Bagaimana kalau pilihan Ayah nanti membuatmu menyesal?" Aku menunduk sejenak, mencoba sebisa mungkin untuk tidak terbawa emosi saat mengobrol dengan Ayah. Aku tahu, ini salah, tapi hatiku tidak mengizinkan aku untuk menyetujui semua yang Ayah katakan.

"Bagi Tari, apa pun yang dipilihkan insha Allah baik, kenapa Ayah masih ragu?" Ayah tersenyum, aku yakin Ayah tersenyum ketika kalimat itu lolos dari bibirku. Sementara aku sudah setengah mati menahan diri untuk tidak menangis setiap kali Ayah membahas perihal pergi dan pulang.

"Ayah tahu, kamu belum bisa melepas hidupmu dari kami. Nak, sesuatu yang sudah diqodarkan untuk kita, harus tetap dijalani sekuat dan semampu kita. Kamu muslimah yang sedang berjuang dalam jalan Allah yang kelak mampu memberikan kebaikan untuk orang terdekat dan sekitarmu."

Jujur saja, aku benci membicarakannya, tapi dekap hangat yang Ayah berikan selalu mampu membuatku damai, walau hatiku tengah layu seakan bunga di sana tidak pernah kusiram.

Ayah menunduk, sesekali mencium kepalaku saat aku bersandar di dadanya. Aku selalu berdoa, setiap kali aku meminta, aku ingin sosok seperti Ayah. Yang sabar, pengertian, perhatian, juga mampu membimbingku. Aku ingin menjadi ratu di hati sosok yang nantinya adalah imamku, tapi aku selalu ragu ketika pembicaraan itu datang tanpa diundang, lalu pergi bersama angin. Ingatanku, seakan-qkan melintas sesuka hati.

"Eh, maaf," ucapku saat aku tak sengaja menabrak seseorang. Barang-barang yang ku-bawa terjatuh, begitu juga dengan milik orang yang tak sengaja ku-tabrak. Kami sama-sama berjongkok membereskan barang-barang milik kami.

Entah, kenapa sudah berapa lama aku melamun, yang aaku tahu, aku mulai pindah di kubikel yang tak jauh dari ruang kerja bos baruku. Aku juga tidak dengar  saat lelaki berjas itu memperkenalkan dirinya di depan para pegawai, aku sibuk dengan duniaku, memikirkan Ayah dan Ibu, rasanya tidak akan pernah habis.

Hortensia (Selesai) Sudah Terbit ✅Where stories live. Discover now