》• "Tahu enggak, kenapa malam ini bintangnya banyak?"
Seungmin yang sedang menulis buku hariannya, terpaksa berhenti ketika Han bertanya. Kepalanya mendongak, mengalihkan tatapan kepada pemuda yang bersandar manis dipembatas balkon. Memicing, sebelum ia kembali melempar tatap pada bintang-bintang diatas langit malam.
Han yang Seungmin kenal adalah pemuda yang penuh dengan kalimat-kalimat gombal. Semua hal, apapun itu, bisa ia olah menjadi kata-kata manis sarat akan kekejuan. Dulu, pernah sekali saat keduanya duduk berdua ditaman untuk menghabiskan waktu bersama, Han menjadikan udara sore sebagai Kim Seungmin. Katanya, "Kamu dan udara sore itu sama. Hangat dan menenangkan, cocok buat aku yang lagi pusing sama tugas ini,".
Reaksi Seungmin, tentu saja datar. Meski mungkin, mungkin saja jauh dilubuk hatinya yang terdalam, Seungmin menyembunyikan senyumnya yang mengembang. Ia mengakui, Han tidak pernah gagal membuat Seungmin menahan pekikan, dan menggantinya dengan dengusan napas. Yang lebih muda senang diperlakukan seperti itu, hanya saja, ia terlalu malu.
"Kamu kalau cuma mau gombal, mending tunggu aku selesai nulis, deh. Lagipula, malam ini kan memang lagi engga mendung, semua bintang juga pasti kelihatan," ucap Seungmin, ketus. Tapi, percayalah, itu merupakan sebuah pengalihan terhadap debar jantungnya yang memacu cepat, hanya karena menerka-nerka gombalan apa yang akan Han luncurkan malam ini.
Seungmin kembali menulis. Berusaha abai dengan tatapan yang terus dilempar oleh Han. Maniknya menatap lekat pada lembaran bergaris dihadapan, seakan-akan memang itulah yang menjadi fokusnya. Padahal, jika menelisik lebih dalam lagi, semua pun tahu jika Seungmin sama sekali tidak menaruh atensi pada kertas tersebut. Pikirannya melayang bagai layangan yang sering Han mainkan dulu. Seungmin juga tanpa sadar menggigit pipi dalamnya, menahan gugup entah karena apa.
Seungmin benci mengakui, tapi ia harus mengakui, bahwa Han terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dibawah pencahayaan rembulan dan terpaan kerlip bintang-bintang. Surainya yang berubah menjadi keemasan itu bergerak tipis sebab hempasan angin yang berhembus. Postur tubuhnya yang ideal--meski pada dasarnya, Seungmin lebih tinggi dua senti darinya-- terlihat sangat menawan. Seungmin bahkan menahan napas ketika tak sadar tatapannya jatuh pada dua bola mata sebiru palung disamudera sana, yang menatapanya tajam--namun lembut pada saat yang bersamaan.
Seungmin lupa, kapan terakhir kali ia mendapati tatapan semacam itu dari Han. Seperti dirinya dilucuti oleh sesuatu tak kasat mata, dipindai hingga sel-sel terkecil, lalu dipermalukan begitu saja. Ya, Han memang semengerikan itu ketika dalam mode tampannya. Dan Seungmin sekali lagi benci untuk mengakui, tapi lagi-lagi ia harus mengakui, bahwa dirinya suka dilucuti oleh bola mata itu.
"Bukan. Jawabanmu bener, tapi bukan itu yang aku maksud. Bintang tampak malam ini, bukan karena langit lagi cerah. Tapi, mereka lagi berusaha tampil secantik mungkin supaya bisa menarik perhatianku, dan mengalihkannya dari kamu. Bintang lagi iri, karena pusat perhatianku sekarang adalah kamu, bukan mereka." tutur Han, bahkan sebelum Seungmin selesai mengagumi betapa indahnya ciptaan Tuhan yang satu itu.
"H-hah?"
"Ck. Intinya, bintang mau lomba sama kamu, buat dapetin perhatian aku. Gitu," sambungnya, beringsut mendekat kepada yang lebih muda untuk diusak puncak kepalanya. Terkekeh sebab wajah Seungmin yang sedang memproses kalimat Han barusan terlihat begitu menggemaskan.
Bukan lagi menjadi rahasia jika Han Jisung adalah satu dari ribuan manusia dimuka bumi yang suka menghabiskan waktu untuk menatap bintang-bintang dilangit. Ia mengaku, bintang adalah hal terindah yang pernah ia lihat--setelah Kim Seungmin. Han sudah pernah mengatakan sebelumnya, setiap hal-hal yang ia sukai, tidak pernah luput dari eksistensi si pemuda Kim. Han menyukai sensasi saat netranya menangkap kilauan menakjubkan yang tersebar diatas sana. Sama seperti ketika ia pertama kali bertemu dengan Kim Seungmin, ada perasaan membuncah didalam dada, yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Jika udara sore adalah Kim Seungmin yang hangat dan menenangkan, maka bintang di malam hari merupakan Kim Seungmin yang cantik dan mempesona. Keduanya tidak berbeda, benar-benar sama. Bintang menghiasi malam yang gelap, maka Seungmin menghiasi Han yang sepi. Jika bintang bagaikan berlian mahal, maka Seungmin adalah permata berharga. Bila bintang sulit dicapai, maka Seungmin pun sulit untuk digapai.
Maka dari itulah, Han lebih suka mengumpamakan Kim Seungmin sebagai udara sore. Karena setidaknya, Han masih bisa merasakan sentuhan-sentuhannya tiap kali ia membutuhkan.
"Jadi, mau mulai cerita?" tanya Han, dengan jari-jari yang sibuk menata poni Seungmin yang menutupi mata.
Untuk situasi seperti ini, Seungmin sungguh ingin menghubungi ambulan, karena sumpah demi apapun, Han mode tampan sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya!
Dengan alibi melirik ponsel untuk mengecek pukul berapa saat ini, Seungmin berusaha mati-matian menyembunyikan rona di pipi dan telinga. Tapi tetap saja, bagaimanapun Seungmin berusaha, akan tetap kalah dengan mata elang Han. Pemuda itu, sudah menangkap rona itu bahkan sebelum Seungmin sempat menyadarinya. Han tertawa kecil, membuat Seungmin tak tahan untuk mengumpat.
"Yeah, gak ada yang spesial. Membosankan seperti biasa. Apa-apa sendiri, engga ada yang bisa diajak keluar. Kak Changbin sibuk sama pasiennya, dan berakhirlah aku kayak sapi dikandang dan siap dijual, hhh-" tutur Seungmin, helaan napas tak luput ia loloskan disetiap akhir kalimat.
Han tertawa mendengarnya. Kim Seungmin, selalu tampak menggemaskan ketika sedang bercerita. Pipi yang menggembung, bibir mendecih sarkas, dan bola mata yang tidak pernah bisa diam seiring kalimat demi kalimat terucap. Han mana bisa tahan untuk berdiam diri tanpa menarik kedua pipi itu, mencubitnya sampai Seungmin memekik keras. Pasti sakit, tapi Han peduli setan. Toh, Seungminnya tidak akan pernah marah.
"Kalau kamu sendiri, gimana? Aku tebak lebih ngebosenin daripada aku, kan? Jelas lah, seenggaknya aku punya temen ngobrol, engga kayak kamu. Sendiri." Seungmin tertawa sarkas diujung kalimat, senang sekali melihat ekspresi tidak terima yang Han tampilkan.
"Eiy! Kita udah janji gak akan bahas itu, kan? Kamu lupa?" Han memalingkan wajah, rupanya berniat untuk merajuk. Memajukan bibir, maka hilang sudah Han mode tampan dimata Kim Seungmin.
Tapi, ini memang salah Seungmin. Tidak seharusnya ia mengangkat topik yang sensitif seperti tadi. Ia menyesal, dan satu-satunya yang terlintas dibenak untuk membujuk Han saat ini adalah menggenggam tangan besar itu. Hati-hati, dan penuh perasaan. Sengatan itu kembali Han rasakan, mengalir bersama peredaran darahnya hingga mencapai pada satu titik dimana itu merupakan kekuatan sekaligus kelemahannya. Hati.
Tanpa aba-aba, Seungmin melingkarkan tangannya disepanjang punggung Han, mendaratkan dagu diantara bahu dan leher pemuda itu. Satu detik, mereka diam. Dua detik, masih menyesuaikan diri. Tiga detik, Han pun turut melingkarkan tangannya dipinggang Seungmin. Empat detik, keduanya memejamkan mata, merasakan atmosfer aneh diantara mereka. Dan pada detik kelima, entah siapa yang memulai, keduanya hanyut dalam lumatan-lumatan lembut pada bilah bibir masing-masing.
Abai akan suhu udara yang semakin menurun, keduanya seakan enggan untuk berhenti. Tapi, biarlah. Untuk mendapatkan momen seperti ini, bukan hal yang mudah bagi keduanya. Hanya ada satu malam dari ratusan malam lainnya, dan baik Han maupun Seungmin, tidak bisa untuk membiarkan satu malam berharga itu terbuang sia-sia.
▪
a/n : hehehe, lagi dan lagi midnight update :^)good sleep, dear. have a nice dream!
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗼𝗻𝗲 𝗻𝗶𝗴𝗵𝘁 𝘄𝗲 𝘀𝗽𝗲𝗻𝘁 𝘁𝗼𝗴𝗲𝘁𝗵𝗲𝗿. ✓
Fanfiction[ 𝘩𝘢𝘯, 𝘴𝘦𝘶𝘯𝘨𝘮𝘪𝘯 ] pada malam itu, seungmin dan jisung menumpahkan segalanya. fairyfox-xo © 2019