Pembuktian

19 4 0
                                    

"Ibu apa-apaan sih? Jangan berpikir yang nggak-nggak deh. Aku udah dua puluh tahun. Ibu masih mau membatasi gerakku?" protesku ketika wanita yang telah melahirkanku itu siap menyerang dengan rentetan daftar pertanyaan panjang over-protektifnya setiap kali hendak bepergian.

"Kamu masih tanggungan Ibu, Nak. Mana mungkin Ibu melepaskanmu begitu saja." Ibu bersikeras ingin mengetahui setiap kegiatanku.

Jujur saja, aku tak begitu suka Ibu mencampuri urusan pribadi. Aku tahu itu salah satu bentuk kasih sayang seorang ibu, tetapi menurutku sikap Ibu berlebihan. Berulangkali kukatakan pada Ibu bahwa aku bukan anak kecil lagi, namun Ibu seperti tak peduli. Tetap saja mencecarku dengan pertanyaan protektifnya. Sikap otoriternya masih juga berlaku untukku.

"Terserah Ibu," sahutku setelah selesai merapikan hijab yang menjuntai hingga pinggul. "Aku pergi, Bu. Assalamu'alaikum," pamitku tanpa mencium tangan Ibu. Jika sudah begitu Ibu takkan mau menerima uluran tanganku. Selain posesif, overprotektif, dan otoriter, Ibu juga sensitif. Entahlah, belasan tahun sudah tinggal bersama, aku masih tidak paham. Aku tak pernah dekat dengannya, dengan Bapak pun irit sekali aku berbicara. Apa yang ditanya itulah yang kujawab. Aku sosok yang berbeda antara di rumah dan di luar.

Taksi yang kupesan secara online telah menunggu di depan. Bergegas masuk dan duduk di kursi penumpang. "Maaf menunggu lama, Pak," ucapku.

"Nggak apa, Neng. Ke mana?"

Aku menyebut alamat lengkap tujuan. Sopir taksi itu mengangguk sekilas kemudian menjalankan mobil perlahan meninggalkan rumah. Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi mobil, memainkan ponsel.

Beberapa menit kemudian, taksi berhenti di depan sebuah kafe mewah nan elegan. Aku mengadakan janji dengan Ferry di kafe ini.

"Assalamualaikum. Hai, Fer! Udah lama, ya?" tanyaku.

Ferry yang tadi sibuk dengan ponsel mengangkat kepalanya. Menyunggingkan senyum simpul. "Eh, nggak kok, Ris. Duduk!" suruhnya.

Aku duduk di hadapannya. Kemudian memanggil waitress yang kebetulan lewat. Memesan minuman chocolate panas.

"Nggak pesan makan juga?" tanya Ferry.

Aku menggeleng.

"Jadi, gimana? Tugas kita belum sama sekali." Ferry memulai diskusi pagi ini.

"Iya. Aku juga tahu, makanya kuajak ketemuan buat diskusiin ini. Kalau ke rumah kamu, aku nggak enak namu ke rumah cowok. Kalau kamu yang ke rumah, aku nggak mau kamu malah diusir sebelum masuk."

Ferry yang sedang menyeruput kopi nyaris menyemburkannya kembali. Aku memutar bola mata malas.

Ferry terkekeh. "Segitunya keluarga kamu nerima tamu."

"Yaa, nggak ke semua orang sih. Cuma sama cowok yang dekat denganku. Nggak peduli cuma teman atau apapun, kalau dia nginjakkan kaki di rumah bakalan habis kena damprat Ibuku."

Kali ini Ferry benar-benar terbahak mendengarnya. "Gimana kalau ada yang datang melamar? Baru mau masuk gerbang udah diusir. Hancur deh reputasi keluarga kamu."

Aku memandang pemuda di hadapanku tanpa ekspresi. "Itu beda lagi masalahnya, Ferry," ujarku tak terima.

Ferry meredam tawanya demi menjaga emosiku. "Uhm. Baiklah, baik. Maafkan aku," ucapnya memasang wajah serius.

Tak berapa lama, minuman yang kupesan datang. Asap mengepul dari chocolate panas itu. Aku meniupnya, lantas menyeruput perlahan jika tidak mau lidah melepuh.

"Mari kita mulai." Ferry bersuara. Menggangguku yang tengah syahdu menikmati minuman cokelat. Akhirnya aku yang satu kelompok dengan Ferry harus mendiskusikan mata kuliah Sosiologi.

Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang