15 - Rain In The Morning

34 10 4
                                    


"Kita pasti akan mengalami momen meninggalkan dan ditinggalkan. Bersiaplah, karena ini hanya masalah waktu."
-Meylia

Bagas masih terbaring di rumah sakit, lebih kurang sudah empat bulan ia berada disana untuk menjalani perawatan sejak bulan November.

Ujian Nasional semakin dekat, kami para siswa sedang sibuk mempersiapkan UN dengan mengikuti Try Out UN yang terdiri dari tiga tahap yaitu TO 1, TO 2, dan TO 3. Bagas tidak mengikuti semua tahapan itu, karena ia sedang di rumah sakit.

Maret 2016, kondisi kesehatan Bagas semakin menurun. Ia sempat tidak sadarkan diri dan mengalami koma selama dua hari. Itu adalah hari-hari terberat untukku. Bisa kulihat dari wajahnya yang masih penuh semangat untuk menggapai mimpi tetapi penyakit Leukimia terus menggerogoti tubuhnya hingga bobot tubuhnya benar-benar menyusut.

Aku rutin membesuknya ke rumah sakit setiap dua kali seminggu untuk memastikan kondisi kesehatannya. Tetapi di bulan Maret itu aku hampir setiap hari menyempatkan waktu kesana setiap sepulang sekolah untuk menghiburnya. Meskipun di hari-hari terakhir bulan Maret ia sudah tidak sadarkan diri tetapi aku masih tetap bersamanya.

Aku benar-benar tidak kuasa melihat Bagas. Aku merasa tidak kuat, ingin rasanya menangis. Tetapi aku tidak boleh lemah. Aku harus terus mendoakan yang terbaik agar ia segera sembuh dan bisa kembali menemaniku ke toko buku lagi. Meskipun aku tahu harapan untuk sembuh dari penyakit Leukimia itu sangat kecil.

Aku mencoba menyemangati diri, dan berharap mukjizat datang sehingga Bagas bisa kembali sekolah seperti biasa.

25 Maret 2017, tepat di pagi hari suara teleponku berdering. Cuaca saat itu sedang tidak bersahabat, langit tampak gelap dan turun hujan gerimis. Kulihat ada panggilan tidak terjawab dan sebuah pesan singkat dari sebuah nomor yang tidak dikenal.

Pesan itu bertuliskan :

Kak Mey, Kak Bagas meninggal pukul 2 dini hari tadi. Dan akan segera dimakamkan hari ini juga.

Dessy

Dessy adalah adik Bagas yang masih kelas 2 SMP.

Aku terkejut, tanpa disadari handphone itu jatuh ke lantai dan air mataku mengalir begitu banyak di pipi. Aku tak kuasa membacanya, pesan itu benar-benar menghancurkan seluruh hatiku. Bagaimana mungkin kini aku telah kehilangan Bagas, sosok sahabat yang selalu setia bersamaku bahkan saat dunia pergi meninggalkanku.

"Bagasssssss....." teriakku kencang sembari menangis dan tersandar di dinding rumah.

"Ada apa nak dengan Bagas ?" tanya ibu cemas.

"Bagas me..mening..gal bu" jawabku dengan tersedak-sedak.

Suasana begitu menyedihkan, kejadian hari itu benar-benar dramatis. Hujan yang turun ke bumi seolah menambah kesan pilu di hari itu.

Meski sedang gerimis, aku dan ibu bersegera pergi kerumah Bagas untuk melihat ia terakhir kalinya.

Dari kejauahan kulihat keramaian di depan sebuah rumah berwarna biru itu. Di depannya banyak orang-orang yang mengirim do'a dan sebagiannya sibuk mempersiapkan pemakaman Bagas.

Aku menangis tak henti-hentinya. Rasanya tak sanggup ketika harus melangkahkan kaki ke rumah itu, rumah dimana kami biasa belajar bersama, makan bersama dan bermain game bersama. Sebuah rumah dimana aku merasa diperlakukan seperti anak sendiri oleh Pak Bambang dan Ibu Ningsih.

Kini, suasana rumah itu berubah drastis. Jika biasanya aku masuk ke rumah itu dengan penuh kegembiraan, kini aku masuk ke rumah itu untuk mengirim do'a dan mengucapkan bela sungkawa kepada Pak Bambang dan istrinya.

Ibu Bagas memelukku penuh haru, dengan rasa tidak percaya ia mengatakan jika anak satu-satunya kini telah meninggal. Aku pun tak kuasa menahan air mata yang terus saja mengalir deras di pipiku.

Kenapa Tuhan secepat itu mengambil orang baik seperti Bagas ?
Apakah aku akan terus sendiri ?
Lalu bagaimana mungkin aku harus melanjutkan semua mimpiku sementara aku benar-benar kehilangan semangat hidupku ?
Apakah aku akan sanggup menghadapi semuanya sendiri ?
Lalu kepada siapa aku akan berbagi ?

Pelaksanaan Ujian Nasional tinggal beberapa hari lagi, tetapi sayang Bagas tidak dapat mengikutinya. Tuhan sudah lebih dahulu memanggilnya untuk kembali.

Seminggu setelah kepergian Bagas, Pak Bambang memberiku sebuah surat sepulang sekolah, dari almarhum Bagas katanya.

Hai Mey, apa kabar ?

Semoga kamu baik-baik saja yah, jangan menangis Mey :) karena jika kamu menangis aku pasti akan sedih melihatnya.
Mey, maaf atas perubahan sikapku beberapa bulan terakhir. Aku berubah bukan karena aku membencimu, tetapi aku ingin membiasakanmu hidup sendiri tanpaku karena ku tahu umurku sudah tak lama lagi.
Mey, aku tidak pernah bilang padamu soal penyakitku ini karena ku tahu kamu pasti akan sedih. Aku memilih menyimpan semuanya diam-diam.
Mey, mungkin kau bertanya-tanya tentang perasaanku selama ini dan mengapa aku begitu baik padamu. Jujur, aku memang mencintaimu Mey. Tetapi aku tidak ingin egois dengan berniat memberikan harapan pada seseorang sedangkan aku sendiri tahu bahwa umurku sudah tidak lama lagi.
Ketika aku sudah meninggal, aku tak ingin dikenang sebagai pacar yang pergi meninggalkanmu di saat kau sedang sayang padaku. Aku ingin dikenang sebagai sahabat baikmu Mey, agar kelak kau tidak terlalu sakit saat mengetahui bahwa aku sudah tiada. Jadi kau bisa melanjutkan hidupmu tanpa beban ditinggal seorang kekasih sepertiku.
Jaga dirimu Mey, jangan menangis.
Jika kau rindu aku, cukup kirimkan aku do'a setiap saat.

I will always miss you Meylia :')
Bagas

Itu adalah isi surat yang diberikan Pak Bambang padaku, tangisku semakin menjadi-jadi saat membacanya. Aku benar-benar merasa tak kuat menghadapi kenyataan ini.

Kini, sahabat terbaikku telah pergi. Tidak akan ada lagi yang menyemangatiku,
tidak akan ada lagi yang akan menemaniku belajar,
tidak akan ada lagi yang menemaniku ke toko buku,
dan tidak akan ada lagi tempatku berbagi suka duka kehidupan.
Bagas telah pergi, semoga kamu tenang disana Bagas. Aku akan terus melanjutkan hidup meski tanpa kehadiranmu disini. Terimakasih untuk semuanya Bagas. Aku menyayangimu.

Bersambung ke bab Titik Balik ...

Panggil Aku, Mey (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang