GL 1 - Kita di Masa Lalu

31.9K 2.2K 190
                                    

GL 1. Kita di Masa Lalu

🍁🍁🍁
Menyukaimu bukan sebuah kesalahan.
Pun bukan sebuah penyesalan.
Justru terima kasihku sematkan.
Karena penolakanmu telah menyelamatkan.
Diriku dari perangkap dunia yang menyesatkan.
-Winka.


Kesuma Bangsa High School.
Palembang, Sumatera Selatan.
Eight years ago.

Namanya Qian Rizky Aruna. Ayah memberikannya nama tersebut karena Qian lahir ketika fajar menyapa bentala. Sebaris do'a yang berarti anak gadis yang menjadi rezeki penuh keberkahan dikala mentari beranjak dari peraduannya. Menjadikan Qian sebagai penghibur kedua orang tuanya disaat nestapa melanda, juga pengingat syukur ketika suka datang dalam keluarga mereka.

Menjadi murid kelas X di salah satu sekolah internasional yang ada di kota kelahirannya merupakan kebanggaan tersendiri untuk gadis itu. Gadis yang selalu menguncir dua rambut legamnya ini dikenal sebagai gadis periang di kalangan teman-temannya. Namun, menjadi gadis sanguinis tak membuat Qian membuka dirinya yang sebenarnya. Hanya sahabat dekatnya saja yang mengetahui satu rahasia Qian selama mereka menjadi murid Kesuma Bangsa High School dalam satu semester ini.

"Ya Allah, Qian! Masih ngadem di perpus juga sampai sekarang?" Decakan kesal terdengar saat gadis imut itu mengangkat teleponnya. Panggilan dari Cheryl Zakia atau lebih akrab dipanggil Cici karena sahabat Qian itu masih memiliki darah chinese di tubuhnya.

"Cepetan ngantin, sih, Qi. Kita udah laper nungguin kamu dari tadi." Kali ini terdengar suara Ramita Medina yang sudah sama kesalnya dengan Cici.

"Ish! Berisik banget, sih! Cuma di sini tempat paling pas buat liat Kak Arva tau!" jawabnya.

Beruntung perpustakaan di lantai dua yang terpisah dengan gedung kelas mereka kini sedang sepi. Memang sepertinya semua murid di sekolah manapun sangat anti datang ke ruangan ini. Qian sebenarnya tak ada masalah sama sekali ruangan tersebut sepi karena ia juga tak terlalu suka perpustakaan. Qian hanya akan mengendap di ruangan penuh buku itu karena hanya di sanalah satu-satunya tempat teraman untuk memantau kakak favoritnya. Rahasia Qian yang hanya diketahui oleh Meta dan Cici, kedua sahabatnya.

Qian menyukai Arva.

Itu rahasia yang mereka simpan rapat selama enam bulan terakhir ini. Karena Qian tidak ingin berakhir seperti teman-teman atau kakak kelasnya yang ditolak mentah-mentah oleh pangeran Inggris berhati dingin itu.

"Kak Arva gak akan ada di lapangan, Qi. Dia tadi ke kafetaria lantai dua." Dan pemberitahuan dari Cici itu membuat Qian akhirnya mengerucutkan bibir. Merasa percuma saja sudah cepat-cepat datang ke perpustakaan untuk melihat Arva berlatih di lapangan. Pantas juga kalau sekarang tidak ada riuh yang terdengar di tengah lapangan sana karena seseorang yang biasanya membuat para gadis berteriak sedang tidak ada.

"Kenapa gak bilang dari awal, sih! Kalau gitu, kan, aku cepet-cepet ke kantin langsung," gerutu Qian seraya berdiri. Menutup buku yang tadi diambilnya dan berbalik. "Aku tutup teleponnya, ya. Aku ke kantin sekarang," sambungnya seraya mematikan panggilan dari Cici setelah menerima jawaban dari sahabatnya itu.

Qian berjalan menuju pintu perpustakaan, sekali lagi menoleh pada jendela kaca besar yang terpasang sebagai dinding perpustakaan sekolah. Sehingga bisa melihat dengan jelas sudut manapun yang terjangkau dari ruangan tersebut. Masih nihil. Karena keadaan lapangan saat ini biasa saja.

"Beneran gak ada ternyata," gumamnya kemudian mengetikkan namanya di komputer dekat pintu sebagai absennya. "Anak rajin, nih, aku. Setiap hari ke perpus," ujarnya lagi seraya terkekeh geli.

Greatest Love ✔️ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang