9. Bury the Hatchet

2.2K 311 6
                                    

Jemariku bergelayut di atas papan tombol. Namun, hanya jai tengah kananku yang bergerak, berfungsi sebagai pemencet tombol arah yang menaik turunkan halaman pekerjaan. Mulutku menguap ketika kantung mataku tak kuasa menahan beban. Aku hampir tertidur, ditandai dengan kepala yang goyah, bergerak ke kanan dan ke kiri sebelum, otakku kembali dalam keadaan sadar. Laporan yang AKP Rama kerjakan membuatku terpaksa berjaga. Namun, itu semua bukan salahnya, karena memang akulah yang memintanya untuk mengirimkan laporan itu—sebagai bentuk antisipasi seandainya ada hal yang seharusnya tak dituliskan di laporan ini.

Sejauh yang kubaca, tampaknya AKP Rama mengerjakan tugasnya sebaik mungkin. Tulisannya rapi—secara struktur dan bukan bentuk tulisan, teliti, serta tak kutemui kalimat-kalimat janggal yang biasanya tersimpan karena terlalu buru-buru mengetik. Bahkan, saking detail dan terlalu mendalam, rasa kantuk yang kualami semakin menguat.

Waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam ketika dokumen yang kubuka berada pada halaman terakhir. Membuatku segera mematikan komputer, menarik flash drive yang berisi dokumen itu, serta bersiap-siap untuk pulang.

Laporan yang merekam kekejian terhadap Loka itu akan digunakan untuk memberatkan Januar dalam persidangan. Jadi, hilangnya beberapa jam dalam hidupku tetap setimpal, tak kurasakan kerugian apapun, setidaknya hingga saat ini. Kesempurnaan laporan merupakan salah satu aspek penting yang harus dibuat oleh siapapun, termasuk untuk kasus ini. Tidak lucu, kan, kalau Januar sampai keluar dari jeratan hukum hanya karena kesalahan tik yang membuyarkan seluruh kronologi kejadian? Menulis tanggal dua puluh lima menjadi lima belas, misalnya.

Ketika aku keluar ruangan, suasana yang sepi langsung melanda, menemani langkah-langkahku di sepanjang koridor. Suara mesin komputer yang sebelumnya memenuhi indera pendengaranku menjadi hal yang paing kurindukan. Beberapa teman kantorku—yang tak begitu ramah—melewatiku tanpa sapaan sama sekali. Mungkin mereka mengantuk, sama sepertiku. Jadi, kuabaikan anggapan bahwa orang-orang di sekitarku adalah orang sombong.

Aku pikir, dengan selesainya membaca laporan yang AKP Rama berikan padaku, aku dapat melenggang bebas, berjalan tanpa beban pikiran. Namun, kini kasus yang menimpa Yusup malah merasuki otakku. Pikiranku kembali kacau, membuatku perlu beberapa detik dalam memutar kunci mobil untuk menyalakan mesin.

Seminggu telah berlalu semenjak terakhir, aku dan Wijaya, berkunjung ke sekolah Yusup. Dan dalam rentang waktu itu, tentu tak kami sia-siakan dengan berharap pada sebuah keajaiban, menunggu informasi lanjutan yang membukakan jalan baru untuk kami, Yusup ditemukan di negara lain, misalnya. Namun, dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, aku dan Wijaya mengunjungi beberapa tempat serta kerabat yang kami duga kenal dengan Yusup, termasuk orang tuanya.

Aku cukup terkejut ketika mengetahui bahwa sang ayah dari Yusup merupakan mantan polisi. Laki-laki itu—yang memperkenalkan dirinya dengan nama Jajang—baru pensiun beberapa tahun lalu. Tentu, keterkejutan yang sama timbul dari Pak Jajang, karena memikirkan bagaimana mungkin aku—orang bodoh yang tidak pernah memiliki hubungan dengan kasus ini—secara tiba-tiba tertarik dengan kasus hilangnya Yusup. Lalu, entah karena insting polisinya yang keluar secara mendadak atau apa, Pak Jajang segera menginterogasiku, menanyakan seluruh motivasiku untuk kembali membuka kasus ini, yang tentu saja kujawab dengan santai.

"Hanya ingin mencari kebenaran yang sesungguhnya," kataku, dengan wajah serius bak seorang aktor yang tengah memainkan peran penting.

Berkenaan dengan informasi yang Ibu Ai berikan, Pak Jajang mengonfirmasi pernyataan itu. Para polisi yang menangani kasus Yusup akhirnya sepakat untuk menutup kasus itu dengan kaburnya sang korban atas tekanan yang diberikan oleh teman-teman beserta gurunya, membuatku merasa sedikit tolol karena menganggap semua orang yang mengetahui kasus itu—termasuk Ibu Ai—menganggap Yusup sebagai korban penculikan. Sialan, kenapa aku tak tanya-tanya dulu, sih? Dan memang benar-benar sialan, kenapa mereka tak menuliskan isi laporan sedetail-detailnya?

Detektif Roy : Keparat-keparat Metropolitan [SELESAI]Where stories live. Discover now