[Short Series] BAB 6

3.5K 354 5
                                    

CATATAN:

Selamat berbuka puasa untuk daerah Surabaya dan sekitarnya.

□■□■□■□■□

Ketika makan malam tiba, Kushina sudah berada di rumah dan mereka bisa makan malam bersama—ada Naruto yang ikut makan malam satu meja. Hinata tampak pucat dan terus menunduk sepanjang makan malam itu, sampai hidangan penutup mendarat di depannya dia tetap terlihat kosong, lebih tepat mungkin dia tidak berselera.

"Hinata, apa yang sedang terjadi?" Hinata mengangkat kepalanya, berhenti menunduk. Gadis itu mencoba mencuri-curi pandang pada Naruto tengah menikmati tiramisu cukup tenang sembari menyuap sepotong kecil ke dalam mulutnya. "Kau terlihat pucat. Apakah perlu aku memanggilkan dokter?"

"Ada yang ingin aku bicarakan," Kushina memandanginya penasaran dan juga harap-harap cemas. "Sepertinya aku tidak bisa tinggal di sini." Naruto mengangkat kepala, berhenti untuk menikmati hidangan penutup, memandang sosok Hinata dengan menggertakkan giginya. Seingatnya, terdapat kesepakatan sebelum mereka akhirnya duduk satu meja untuk makan malam. "Aku ingin pergi ke suatu tempat."

"Ke mana? Bisa katakan sampai kapan? Dan di mana tujuannya?"

"Aku tidak bisa mengatakannya pada ibu," Hinata menunduk sambil memandangi begitu banyak krim yang ada di atas tiramisu kesukaannya itu. "Mungkin saatnya untuk menyerah, aku tidak bisa menunggu dia terbangun."

"Ibu..."

Hinata mengangkat kepalanya terkejut. Udara dingin tiba-tiba hadir dan menyapu punggung maupun lehernya, hingga membuatnya meremang. "Hentikan!" Hinata berteriak tiba-tiba saat Naruto mencoba berbicara. Kushina terkejut bukan main. Dia jarang mendengar Hinata bersuara keras seperti itu di depannya. "Jangan katakan apa pun! Aku mohon! Jangan katakan apa pun!"

"Apa yang terjadi?" Kushina memandangi putranya. "Kau membuat Hinata tidak nyaman berada di sini?" Naruto menemukan wajah kecewa ibunya, begitu sangat kentara jelas. "Kau mengusir dia?" nada ketidakpercayaan itu semakin meninggi.

"Sama-sekali tidak." Jawab Naruto tanpa ragu. "Tapi mungkin akan ada bayi jika memang itu berhasil dalam satu bulan."

"Kau tidak seharusnya memberitahu hal tersebut pada ibu!" Hinata berteriak geram, bercampur malu ketika Naruto memberitahu wanita tersebut—sesosok wanita kesepian yang telah dianggap oleh Hinata seorang ibu. Itu jelas akan menyakiti wanita tua rentan di sebelah mereka. Mungkin akan menyalahkan dirinya sendiri ketika tidak bisa mendidik putranya dengan bijaksana menghormati seorang perempuan. "Ibu... maafkan aku." Hinata berbisik, menangis, dia sangat menyesal telah memberitahu semua keburukan yang terjadi pada dia dan putra wanita itu.

"Sayang," ucap Kushina sedih sambil mengusap kedua pipi Hinata yang basah oleh air mata. Hatinya mencelus begitu melihat gadis mungil itu menangis tersedu-sedu dan semakin pucat. "Jangan menangis, ibu mohon, jangan menangis."

"Ibu, aku telah berbohong padamu, aku tidak mengatakan yang sebenarnya padamu."

"Apa yang kau bicarakan. Ibu mohon berhenti untuk menangis." Kushina mengerutkan wajahnya, ikut-ikutan sedih. "Kau sama-sekali tidak mencoba membohongi ibu." Hinata keluar dari meja makan, berlutut di depan Kushina sementara Naruto memutar bola matanya, dia amat merasa kesal. "Hinata, berhenti melakukan hal seperti ini."

"Aku memaksa Hinata..." Naruto berhenti sejenak, dia memandang Hinata yang terlihat memohon dalam suaranya yang meredam. "Semalam kami tidur bersama."

"Tidur... bersama... apa... maksudnya?" seorang seperti Kushina tidak bisa berhenti merasa terpukul memikirkan kenyataan yang tengah terjadi. Di belakangnya. Tanpa dia sadari. Pandangannya terus bergantian mengarah ke putranya dan seorang perempuan yang dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Ketidakpercayaan menyelusup, dan membuatnya berpikir siapa yang salah di sini. "Hinata..." Kushina memandang gadis mungil yang tertunduk lemas, siap menjadi orang yang disalahkan. "Apa yang Naruto katakan?"

Their Story ✔Where stories live. Discover now