1

21.9K 998 38
                                    

Pernah nggak kamu merasa diperlakukan nggak adil di perusahaan? Contohnya begini, kamu udah kerja bertahun-tahun, tapi karirmu rasanya mentok. Gitu-gitu aja tanpa ada perubahan yang signifikan. Sedangkan, ada karyawan baru, yang masa baktinya belum lama, tapi karirnya meroket?

Sebelum aku lanjutkan kisah versiku dan kaitannya dengan pertanyaan tadi, aku mau cerita sedikit. Ini kutipan dari buku yang pernah aku baca. Aku ingat isinya, tapi aku lupa siapa penulisnya. Isinya, kira-kira dan kurlebnya begini.

Ada dua karyawan. A dan B. A adalah karyawan senior dengan masa bakti dua puluh tahun, sedangkan B baru bekerja selama dua tahun. Karir A mentok sebagai supervisor, sedangkan B sudah mengepalai sebuah departemen di tahun ketiganya. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Ada yang berpendapat, B memiliki.hubungan istimewa dengan pemilik perusahaan. Tapu, jawaban itu salah. Baik A dan B, tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik perusahaan.

Karir A stuck, karena dia tidak menunjukkan penambahan atau perkembangan kemampuannya. Masa kerjanya memang sudah dua dekade, tetapi kemampuannya tidak bertambah seiring dengan lamanya dia bekerja.

B, kebalikan dari A. Meski dia belum lama bergabung, tetapi dia berhasil menunjukkan kemampuan dan kecakapan yang harusnya dimiliki karyawan senior. Semuanya murni karena unjuk kerja. Tapi, A tidak menganggapnya demikian. Dia tenggelam dalam pikiran dan perasaannya sendiri, bahwa dia diperlakukan tidak adil.

Balik lagi ke kehidupanku. Dulu, aku diiming-imingi kenaikan gaji setelah tiga bulan bekerja. Tapi, aku nggak pernah menanyakan hal itu sampai aku hengkang. Ada perasaan takut waktu itu. Apa aku pantas mendapatkan kenaikan gaji yang dijanjikan? Bagaimana jika ditolak dengan alasan itu? Salahnya, dulu aku nggak tanya, apa tolok ukurnya agar aku bisa mengeklaim kenaikan tersebut.

Di tempat baru ini, aku mendapatkan janji serupa. Aku nggak mau mengulang pengalaman lalu, juga nggak mau berakhir seperti A, jadi aku bertanya dengan detail persyaratan yang harus kupenuhi agar berhak mendapatkan hal itu.

Di sinilah aku, Samudra Jaya Abadi, di bulan ke empatku sebagai asisten manajer dari departemen Marketing Support. Aku masih berpikiran, MS itu hanya karangan bosku dulu, yang berkeras ingin menjadikanku marketing. Thanks to him. Kalau bukan karena dia, aku nggak akan ada di sini, di kantor baru yang bisa bikin iri teman-temanku, yang dulu sering mengejekku, karena aku terdampar di pabrik.

Jadi manajer di SJA, setara dengan GM di perusahaan lain. So, jabatanku setara dengan manajer. Boleh dong, aku berbangga diri. Rasanya aku mau pamer hal ini di acara reuni nanti. Tapi, buat apa? Mereka akan selalu punya bahan untuk membuatku nggak nyaman.

Aku bisa nerka, yang akan mereka bahas nanti adalah, "Kapan kawin?" Basi!

Semula aku membayangkan, kerja di perusahaan sebesar ini, pasti sulit mendapatkan rekan kerja yang klik, kayak sama Kezia dulu. Aura persaingan pun pasti kentara, dan satu sama lain akan cenderung tak peduli. Nyatanya aku salah besar. Tim kerjaku enak banget diajak kerja sama. Mereka benar-benar helpfull. Interaksi sesama karyawan juga baik. Mereka saling sapa dan tersenyum ramah saat berpapasan. Walaupun ada beberapa yang pongah.

Aku bergegas membereskan meja kerja. Berhubung semua pekerjaan hari ini sudah beres, aku bisa pulang tepat waktu. Sebenarnya nggak ada yang melarang untuk selalu pulang ontime, tapi si Bos kayak punya ribuan alasan untuk menahanku lebih lama di sini.

Mumpung dia lagi meeting, aku bisa kabur. Bukannya apa, aku udah kangen berat sama Kezia dan Amara. Sudah dua bulan ini aku nggak ketemu mereka. Terlahir waktu aku pindah kosan. Tempat lama enak, tapi terlalu menyimpan banyak hal yang bikin aku nggak nyaman. Sejak saat itu, kerjaanku kayak nggak ada habisnya. Bagus sih, berarti para sales menjalankam fungsinya dengan benar, tapi aku jadi nggak ada waktu buat diriku sendiri. Pas pulang, aku udah kecapean dan milih untuk tidur.

Kezia sudah puluhan kali memastikan tentang rencana hari ini. Kami bertiga sepakat akan ketemu di tempat biasa. Makan, nonton, ngerumpi, ngapain ajalah yang penting bareng-bareng. Aku udah nggak sabar mau ketemu mereka.

Jam lima tepat. Aku sudah bersiap dengan ransel yang bertengger di bahu. Ketika mengantre di depan mesin absen jari, seseorang memanggilku.

"Aaarrggghh!" aku menggeram sambil mengepalkan tangan, "ini orang punya alarm apa, ya? Kenapa sih dia nggak muncul dua menit lebih lama?" celotehku dalam hati.

"Saki! Kamu nggak dengar saya panggil-panggil dari tadi?" tanyanya sambil bersedekap.

Gayanya itu emang super nyebelin. Dia kayak orang punya kepribadian ganda, tahu nggak sih. Di depan staf yang lain, dia itu berwibawa dan bijaksana banget, tapi kalah cuma ada aku doang, gayanya pengen minta ditabok.

Oke, dia emang atasanku, tapi tingkahnya itu bener-bener kelewatan deh. Dia paling sering ngasih kerjaan pas aku udah mau pulang dan dia minta selesai hari itu juga.

Umurnya mungkin sama kayakku, atau lebih tua, bisa juga lebih muda. Ah, bodo amat. Nggak peduli sama umurnya. Nggak penting.

Dia Noah Rajendra, manusia paling aneh yang pernah aku temui. Namanya bakal menempati nomor tiga setelah Dulman dan Babenya. Itu record, mengingat aku belum lama mengenalnya.

Mr Noah Rj ini, jadi sering bertingkah absurd sejak aku menagih janji sebulan yang lalu. Itu kan, hakku. Aku sudah memenuhi kriteria untuk mengeklaim hal itu. Bukan. Dia bukannya nggak senang ada berani melakukan itu, justru dia senang karena ada yang menerima tantangannya. Tapi ya gitu, dia jadi nggak jelas. Apa dia nggak punya kehidupan selain pekerjaannya?

Plis, deh, Saki! Bukan urusanlo. Sekarang itu, gimana caranya bisa ninggalin kantor saat ini juga. Aku mengingatkan diri sendiri.

Dengan malas aku mendekatinya yang masih bergeming dengan gayanya.

"Pak, saya udah janji. Penting banget. Oiya, semuanya udh beres, kok. Laporannya udah saya kirim lewat email. Saya boleh balik, ya, Pak!" ucapku tanpa jeda, dan nggak menunggunya memulai lebih dulu.

"Urusan apa, sih?" tanyanya datar.

Ya ampun, nih orang level keponya maksimal banget. Nggak punya kerjaan?

"Sosialisasi, Pak. Belakangan ini, saya tuh kayak robot. Kerja-pulang-tidur, gitu aja terus. Saya kan butuh menikmati hidup. Bapak kayak nggak ngerti aja."

Ups. Nih mulut nyerocos mulu kayak nggak ada saringannya. Mampus deh gue.

"Saya emang nggak ngerti," katanya, "saya ikut kamu aja. Mungkin saya bisa belajar sesuatu," katanya lagi tanpa ekspresi.

Apa? ikut gue? Yang bener aja! Mending nggak jadi deh, dari pada berabe urusannya. Kurang aneh gimana, coba?

Baru aku mau ucapkan penolakan yang muncul di otakku, dia langsung menyambar lagi, "Kayaknya nggak jadi. Saya berubah pikiran. Pasti nanti boring. Kamu perginya sama cewek-cewek, kan?" aku baru mangap untuk menjawab, dia udah nyamber lagi, "pastilah sama cewek. Kan kamu Alpha Single. Ya udah sana pulang. See you on monday," katanya lagi. Lalu dia balik badan dan masuk ke ruangannya.

Mulutku hanya menganga menerima perlakuan itu. Setelah orang itu menghilang di balik pintu, moncongku ini baru bisa mengeluarkan sumpah serapah dengan lancar. Apes banget, dapet atasan yang mulutnya lemes.

Tuh, kan! Kezia udah telepon lagi.

================================

Haaaaaaaiiii,

Kangen nggak sama aku??
(author kepedean)

Lewat dikit gak papa ye, yang penting aku menepati janji. Tadi keasyikan ngedit Lovaudit, buat kirim ke penerbit. Doakan, yaaaa!! 😍😍😍

Oiya, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan.

Fyi, Saki ini usianya lebih matang. Dia ini Jomblo Alpha. Jangan tanya kenapa aku suka bikin karakter yang jomblo, karena aku nggak tahu. Hahahaha.

Enggak denk. Jadi, aku lebih suka karakterku menemukan cinta saat mereka sendiri. Aku tuh nggak bisa kalau mereka sakit hati. (uuueeeek)

Sudahlah. Abaikan ke-absurd-an si author koplak ini.

Jangan lupa vote n komennya yaaa. Mau tanya-tanya juga boleh. Hehehe.

See yaaaa,
San Hanna

Kiss The Past (Pindah Ke Dreame)Where stories live. Discover now