Hukuman

1.1K 138 4
                                    

Oscar POV

Double sial untuk beberapa waktu ini. Sepulang dari Malioboro aku di sidang habis-habisan. Entah dari mana, Bapak tahu kalau aku jalan dengan seorang perempuan. Bapak marah besar, bahkan penjelasanku tak mampu meredakan kemarahannya.

Hp satu-satunya tidak boleh ku bawa ke akademi. Sudah hampir sebulan tidak merasakan indahnya bermain hp. Jelas aku menyusun tugas akhir. Dan lagi aku harus fokus untuk Praspa tahun ini. Target Adhi Makayasa bukanlah hal yang mudah.

Hari ini kami tidak mendapat pesiar. Ada salah satu dari kami yang melanggar aturan. Satu salah, semua salah.

Hukuman memang seakan datang bertubi-tubi di hidupku. Bapak yang marah, tidak bisa pesiar.

Aku sedang berjalan ke tempat ibadah para taruna yang beragama Nasrani.

Cita-cita ku dulu, bisa menyanyi di semua Gereja di Indonesia. Impian yang lucu.

Beberapa waktu lagi akan ada malam keakraban di Akmil. Semuanya boleh membawa rekanita dari warga sipil. Aku tidak berharap banyak, setiap pesta korps ataupun malam akrab. Hanya Anggi yang akan menemaniku.

Setelah beberapa saat beribadah. Aku kembali berkumpul untuk latihan fisik. Tidak ada libur rasanya. Padahal kami sudah siap untuk nonton film ramai-ramai.

"Hey wajah mu seperti Ndak pernah di setrika."

"Bapak marah sama aku Ma." Rama malah tertawa terbahak-bahak. Melihat penderitaan yang ku alami.

"Tahan lah sebentar lagi. Besok pesiar kau ajak lah ketemu di Magelang. Bebas dari bapakmu lek." Aku menoleh. Terinspirasi oleh Rama.

"Aku pinjam hp mu lah besok ya." Rama mengacungkan jempol. Betapa baiknya teman di sini.

"Sudahlah aku mau sholat Dhuha dulu. Keburu siang." Aku mengangguk. Melihat Rama berjalan bersama kawan yang lain untuk berjamaah sholat Dhuha.

❤❤❤

Minggu pesiar yang kutunggu telah tiba. Tapi rencana yang sudah ku susun bersama Rama bubar sudah. Anggi menelfon Rama, menyampaikan pesan bahwa Bapak dan Ibu akan mengunjungiku di Magelang. Selesai apel pesiar aku dan Rama sahabat karibku menghampiri mobil berwarna putih yang berhenti di dekat komplek Akmil.

"Selamat sore om, bulik" sapa Rama kepada bapak.

"Sore Rama." Aku menggantikan posisi Bapak menyetir mobil.

"Gimana nak Rama sehat kan?" Rama yang ada di sampingku menoleh.

"Siap, Alhamdulillah sehat bulik. Kabar Bulek baik?"

"Puji Tuhan baik semuanya, berkah dalem." Aku mendengus. Bisa-bisanya ibu hanya bertanya kabar Rama.

"Ibu nggak tanya kabar aku?" Kulihat bapak terkekeh kecil, mungkin ia sudah lelah dengan semua kemarahan ini.

"Ngapain mas tanya, la wong sudah di depan mata dan senyum kok. Pastilah baik. Gimana sebulan ini? Ibadahnya?" Aku mendengus.

"Aman kok buk!" Jawabku pendek.

"Benar itu Mas? Nak Rama, gimana ibadahnya Oscar." Aku mendelik tajam ke arah Rama.

"Siap, rajin Tante. Soalnya berdoa menunggu jodoh datang setelah Praspa." Aku menoel kepala Rama. Bapak terkekeh.

Rama memang sering ikut pesiar dengan keluargaku. Kesibukan orang tuanya membuat mereka jarang bertemu.

Bahkan Rama rela menunggu saat kami ibadah. Dengan setia menemaniku dan menunggu di mobil.

"Mau makan apa Rama?" Lagi-lagi Rama. Kali ini Bapak yang bertanya.

"La itu Rama lagi Pak?" Mereka bertiga tertawa. Aku membelokkan mobil ke arah rumah makan lesehan langganan kami.

"Nah saya mau ini om." Jawab Rama sambil melepaskan seat belt.

Aku memesan cumi asam manis dan gurame goreng tepung. Rama memilih meminta gurameku. Bapak memesan udang saos tiram. Sedangkan ibu? Ayam bakar. Iya ayam bakar dengan tambahan kecap lumer di atasnya.

Obralan kami mengalir begitu saja. Rama dan Bapak memilih untuk memancing ikan. Aku dan ibu? Seperti biasa, ibu akan mendengarkan cerita keluh kesah ku selama ini.

"Kemarin yang waktu itu siapa mas?" Aku tersenyum malu saat ibu tahu pertemuanku dengan Karisa.

"Nama dia Karisa Bu." Ibu mengangguk. Membetulkan posisi jepit rambutnya.

"Mas serius sama dia? Dia berbeda dengan kita lho mas!" Aku menggeleng. Aku memang belum tahu rasa ini akan berlabuh kemana.

"Aku juga belum paham buk, perasaan ini mau tak bawa kemana ya belum dong. Aku memang tertarik dari pertama lihat dia. Tapi dia juga belum tahu perasaannya ke aku buk." Ibu menghela nafas.

"Jangan pernah bermain dengan hati. Apa lagi yang menyangkut keyakinan." Kini aku yang menghela nafas. Ibu benar, aku harus gimana ini.

"Ibu kali ini setuju dengan bapakmu. Lupakan sejenak si Karisa itu. Fokus untuk pendidikanmu. Setelahnya terserah kamu. Tapi ini akan menjadi rumit Mas. Apalagi kalau bapak sampai tahu. Dia tidak seiman dengan kita. Bapak akan tambah marah, kamu tentu tahu bagaimana bapak mendidik agama kamu dan Anggi." Aku mengangguk, ibu mengusap kepalaku.

"Sekarang nikmati hari bebasmu. Sebelum nantinya kembali ke Ksatrian. Walaupun kamu sudah menjadi macannya Akmil. Tetap saja, harus disiplin dan ikuti aturan. Kerja yang bersih. Supaya Tuhan beri kita berkat yang lebih."

Ibu benar, mimpiku tak boleh sirna begitu saja karena satu wanita. Dia memang manis, tapi akan manis lagi ketika aku bisa bersanding dengannya saat aku sudah sukses. Dan bisa membahagiakan dia dengan hasil keringatku sendiri.

❤️❤️❤️

Selamat hari Jumat menuju weekend 🥰🥰


IntuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang