1. ANAK KECIl

1.4K 109 7
                                    

Maklumi aja, baru pertama kali buat cerita horor, hehehe:D, soalnya sebelumnya kan teenfiction sama romance, wkwk😆

HAPPY READING, BEBS😘

-
Ruangan bernuansa putih dengan aroma obat-obatan dipenuhi oleh pasien-pasien berbeda-beda keluhan, atau lebih tepatnya adalah IGD(Instalasi Gawat Darurat). Disetiap bilik dibatasi oleh tirai berwarna putih, dan berhubung karena hari masih pagi menjelang siang, maka semua tirai-tirai itu dibuka dan memperlihatkan pasien-pasien di ranjang masing-masing.

Salah satu dari banyaknya pasien adalah seorang gadis dengan wajah yang babak belur. Kening sebelah kanannya tertutupi oleh kain kasa, hidungnya diplester, sudut bibirnya luka dengan sisa darah yang mengering, dan kedua pipinya lebam.

Tangannya meraih ponsel di atas bedside cabinet, jemarinya menari-nari di atas layar ponsel, dan kemudian benda pipih itu menempel di telinganya.

"Halo, bang," sapanya memulai percakapan melalui telepon seluler.

"Halo, napa lo nelpon gue?"

"Gue mau nitip lag..."

"Titipan lo tadi udah gue beli, gue masih di jalan, gak baik nelpon di motor, kan amit-amit kalau muke gue kayak lo, udah kayak mangga bonyok, yang ada ganteng gue hilang lagi."

"Paan sih lo, gue mau nitip lag...halo?"

Ia menjauhkan ponselnya dari telinga, dan ternyata abangnya telah memutuskan sambungan telepon sepihak, padahal ia ingin menambah titipannya pada saudara kembarnya itu.

"Dasar upil badak!" umpatnya.

"Aretha!" panggil seseorang yang tengah berjalan masuk ke dalam IGD.

Sang empunya nama mendongak, seketika kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman, namun senyuman itu tidak berlangsung lama karena ada luka di sudut bibir dan lebam dipipi, sehingga gadis bernama Aretha itu mengaduh kesakitan.

"Siapa suruh lo lawan si Adel dkk, udah tau tuh anak lebih jago, masih aja coba-coba uji nyali," ucap Karen menduduki kursi di sisi ranjang Aretha.

"Yaelah, Ren...dia duluan kali yang cari masalah, kalau dia jual, yah gue borong," jelas Aretha sedikit berhati-hati agar lukanya tidak menimbulkan rasa sakit.

"Iya, tapi lo harus ingat juga kali sampe mana kemampuan lo, jangan asal kebawa emosi, udah tau tuh anak suka banget cari masalah, masih aja diladenin."

Aretha memutar bola matanya jengah. Mempunyai sahabat seperti Karen memang menyenangkan, karena selain peduli, Karen juga selalu memberi nasihat maupun saran setiap Aretha melakukan kesalahan atau kekeliruan, tetapi karena sifatnya itu juga Karen menjadi cerewet, dan tidak mau kalah dengan lawan bicaranya, terlebih lagi jika gadis feminim berambut blonde itu sedang dilanda khawatir.

"Kalau lo lawan sama orang itu kan pake mulut, nah karena gue gak mau dikata plagiat, jadi gue lawan pake fisik, ngerti?"

"Ish, sekali-kali dengerin orang ngomong napa, gak pengertian banget sih jadi orang," gerutu Karen.

"Ya ampun Karen ku tercinta, kalau gue gak dengerin lo gak mungkin gue balas omongan lo."

"Serah lo!"

Aretha menghela napasnya, "lo kesini mau jenguk gue atau mau marah-marah sih?" tanyanya.

"Mau bunuh orang!" cetus Karen kesal.

"Ikutt!!"

Karen mengernyit heran. "Gila ya si Adel. Udah tau Aretha bloon, malah dibonyokin dari kepala sampe kaki, tambah bloon kan jadinya."

"Ren, beneran deh gue laper!" keluh Aretha memelas sembari memegang perutnya.

"Gue kesini buru-buru, jadi gak bawa makanan," jelas Karen singkat.

"Jahat banget sih lo! Kalau mau jenguk tuh gak usah buru-buru, kek gue udah mati aja, yang penting itu bawa makanan, itu baru namanya sahabat," kata Aretha.

"Bukan sahabat namanya, penjual warung!"

Helaan napas terdengar, Aretha tidak berbohong tentang perutnya yang lapar, pasalnya sejak tadi malam ia masuk rumah sakit, perutnya sama sekali belum terisi.

Melihat itu, Karen jadi merasa iba, tidak tega melihat Aretha kelaparan. Netranya memandang pada bedside cabinet, disitu terdapat nampan berisi makanan yang masih layak untuk dimakan, lalu kenapa Aretha tidak memakannya?

"Tha, itu makanan dari RS napa gak dimakan? Katanya laper, terus tuh makanan gak dimakan, salah siapa coba," cerocos Karen.

Aretha ikut memandang ke arah bedside cabinet, sesuai ucapan Karen, disitu ada makanan dari rumah sakit, tapi ia enggan untuk memakan makanan tanpa micin itu.

"Gak ada rasanya! Hambar!" celah Aretha.

Karen mendegus kesal, "coba deh lo lihat tuh anak kecil," ucapnya menyuruh Aretha untuk melihat pasien laki-laki berumuran 6 tahun yang sedang memakan makanan dari rumah sakit dengan lahapnya.

Aretha mengikuti pandangan Karen yang mengarah ke samping biliknya. Ia meneguk salivanya dengan susah payah, perutnya semakin keroncongan kala melihat anak laki-laki itu memakan makanan rumah sakit, layaknya orang sedang mukbang.

Tapi ia juga heran, mengapa anak kecil itu sangat lahap memakan makanan dari RS. Setahunya, tidak ada satu orang pun yang nafsu dengan makanan seperti itu, terlebih lagi anak kecil sangat susah untuk makan ketika sakit, jangankan ketika sakit, saat kondisi sehat saja susah.

Aretha mengembalikan posisinya seperti semula, tidak peduli lagi tentang anak kecil di samping biliknya. Adu mulut antara Aretha dan Karen berakhir, entahlah apa yang membuat mereka bergeming.

Tetapi beberapa saat kemudian, terdengar suara guncangan ranjang rumah sakit, suara itu terdengar keras sehingga Aretha dan Karen bisa mendengarnya.

Kedua gadis itu kembali menyorotkan pandangannya pada ranjang anak kecil di sebelah bilik Aretha. Dilihatnya si anak kecil berbaring tengkurap dan tubuh yang sudah kejang-kejang. Namun anehnya suster maupun dokter yang berlalu lalang sama sekali tidak merespon.

Aretha berjalan turun dari ranjang dan mengambil cairan infusnya, ia hendak menghampiri anak kecil itu, namun Karen langsung mencegatnya dengan memegang tangan Aretha. Ia menggelengkan kepalanya pertanda bahwa ia melarang keras Aretha agar sahabatnya itu tidak kemana-mana, karena Karen sendiri merasa takut jika saja akan terjadi hal yang tidak diinginkan pada Aretha.

Namun kekhawatiran Karen dibalas senyuman oleh Aretha, tidak peduli dengan sudut bibirnya yang terasa sakit, yang terpenting ia bisa membuat sahabatnya tenang tanpa rasa cemas.

Alhasil Karen melepas cegatannya, meskipun sebenarnya rasa khawatir terus bermunculan. Padahal Aretha hanya ingin menolong seorang anak kecil yang membutuhkan pertolongan, kenapa harus khawatir?

Aretha berjalan ke arah si anak kecil dan membalikkan badan anak kecil tersebut.

"Aaaaa!!"

-
Salam war dari anak kecil😎



Attack of Zombies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang