Dua

5.9K 978 50
                                    

AYAH selalu kembali pukul delapan malam, terkadang tepat saat almari jam antik yang terbuat dari kayu jati di ruang tengah sedang berdetang dengan gagahnya, terkadang tidak. Dulu Ayah juga ingin menyimpan jam antik itu ke dalam kamar antik, tetapi tidak ada tempat yang pas untuk menaruh jam itu dan akhirnya jam itu ditaruh di ruang tengah.

Alice senang sekali setiap Ayah pulang dan aku mengerti alasannya. Itu karena Alice hanya bisa bertemu Ayah pada malam hari.

Pagi hari sampai siang, Nyonya Barbara yang tinggal di seberang rumah akan menemaninya. Umurnya kira-kira sepantaran Ibu. Kami sangat percaya padanya, karena Nyonya Barbara juga pernah menjagaku saat aku kecil dulu. Dia adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya yang merupakan korban tewas pada kerusuhan tahun 1984.

Tanpa dikaruniai seorang anak pun, Nyonya Barbara terlihat sangat kesepian. Apalagi seperti yang sudah kujelaskan, area perumahan di sekitar sini memang besar. Nyonya Barbara harus tinggal sendirian di rumah sebesar itu.

Aku pulang sekolah pukul satu lewat tiga puluh menit.

Tidak seperti hari-hari biasanya, hari ini Ayah kembali dengan sebuah kotak di tangannya. Tingginya setengah lebih pendek daripada tinggi Alice. Ayah membawanya masuk dengan hati-hati, begitu aku sudah membuka pintu.

"Barang antik yang baru?" terkaku.

Ayah malah tertawa mendengar terkaanku. "Memangnya ada barang antik yang baru?"

Aku mengulum senyum, "Maksudku di rumah ini."

Alice tampak meloncat-loncat antusias saat Ayah meletakkan kotak itu di lantai dan mulai membukanya dengan hati-hati. Aku yang sebenarnya juga ikut penasaran pun ikut memperhatikan. Apa lagi yang akan disimpan Ayah dan akan bergabung dengan barang antik lainnya di kamar antik?

Saat kotak kayu itu telah terbuka sepenuhnya, yang tampak saat ini adalah sebuah kotak kecil berbahan kayu dan kaca. Biasanya orang-orang menyebutnya kotak kaca.

Saat kuperhatikan lagi, di dalam kotak itu terdapat sebuah boneka porselen berambut hitam panjang, gaun hitam manis dengan sebuah payung berwarna senada, kulit yang sangat putih--sampai-sampai aku bisa melihat terdapat retakan kecil di leher--dan hal yang paling mencolok adalah bagian matanya. Boneka cantik itu mempunyai manik merah terang.

"Wah! Bonekanya cantik sekali!" seru Alice, meloncat makin senang.

Dia hampir saja menyentuh kotak kaca itu, tetapi Ayah langsung mengangkat kotak itu ketika menyadarinya.

"Alice, jangan. Ini rapuh sekali. Ayah membawanya dengan sangat hati-hati," ucap Ayah sambil berjalan ke kamar antik.

Kami berdua mengikuti Ayah. Alice mungkin mengikuti karena ingin melihat boneka itu lebih lama, tetapi aku mengikuti karena aku tahu kalau Ayah akan kesulitan saat membuka pintu nanti.

Setelah berada di kamar antik, Ayah meletakkan kotak kaca itu di atas meja bertaplak putih. Meja itu juga salah satu barang antik yang nyaris tidak pernah diletakkan apapun di atasnya. Menurutku meletakkannya di sana memang pantas.

"Ini memang boneka yang manis, Alice, tapi sangat rapuh. Jadi kamu hanya boleh melihatnya. Jangan menyentuh, apalagi membuka kotak kacanya, ya." Ayah menyampaikan pesan itu kepada Alice, pasti sangat paham bahwa Alice adalah yang paling tertarik dengan boneka itu sejak awal.

Walau dengan raut terpaksa, Alice akhirnya mengangguk.

Aku hanya memperhatikan adikku, semoga dia benar-benar menurut perkataan Ayah dan tidak membuat masalah.

MAMERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang