Sunni 17

13.4K 1.2K 80
                                    

Koreksi typo dan tanda baca ya ^^

Entah kenapa pagi ini Sunni memandang dirinya dicermin lebih lama dari biasanya. Bahkan dia sudah mengganti pakaian kerjanya dua kali.

"Ini juga kurang cocok. Apa aku harus beli baju kerja baru ya? Kenapa semuanya sudah terlihat ketinggalan jaman?" Sunni mendesah lesu. Dia juga mulai mengingat kembali kapan terakhir kali dirinya membeli baju.

"Dua tahun yang lalu, iya aku ingat" gumamnya lagi. Waktu itu dia dan mantan suaminya tengah sibuk mengumpulkan uang untuk biaya menikah dan Sunni mengalah untuk menyisihkan sebagian gaji nya untuk itu.

"Kalau di ingat-ingat lagi, waktu itu aku bodoh banget sih!" Sunni menjatuhkan diri di pinggiran kasur. "Mau aja kemakan cinta si Budi Budi itu!"

Sunni kembali bangkit dan mengambil setelan kerja lainnya untuk dicoba. "Sepertinya yang ini jarang aku pakai karena warnanya yang mencolok" Sunni mengeluarkan kemeja berwarna pink dan rok pensil selutut.

"Kayaknya ini ok juga" sekali lagi Sunni berputar di depan cermin besar itu dan tersenyum pada dirinya sendiri. "Akhir pekan aku bakalan beli baju baru. Saatnya aku memikirkan diriku sendiri" ucapnya.

Setelah mengikat kuda rambut panjangnya, Sunni mengambil tas dan keluar dari kamarnya. Di depan kamarnya sudah ada Radit yang sedang membawa sesuatu ditangannya.

"Loh, Radit?"

Lelaki itu dengan cepat melempar senyum pada Sunni.

"Selamat pagi. Udah mau berangkat?"

Sunni mengunci pintu kamarnya dan berjalan menuju Radit. "Iya, ini mau jalan"

Radit mengangguk dua kali lalu tangannya terulur untuk memberikan Sunni sebuah kotak makan, "ini buat kamu. Tadi pagi aku sengaja bikin nasi goreng banyak buat dibagi sama penghuni kost" ucapnya.

Sunni menyambut kotak makan itu. Dia tak ragu menerimanya karena menurut Radit bukan hanya dirinya yang menerima nasi goreng ini. "Makasih loh. Jadi ngerepotin"

"Nggak sama sekali. Saya memang suka masak, ini mungkin pertama kalinya kamu nyicipin masakaan saya, kalau yang lain sudah sering" lelaki itu tersenyum lebar dan terlihat begitu manis.

"Owh, kalau begitu ini kotak makannya saya bawa ke sekolah aja ya. Kebetulan tadi saya belum sempat sarapan. Sekali lagi makasih ya"

Radit mengangguk sambil tersenyum. "Sama-sama" balasnya.

"Kalau gitu Sunni berangkat dulu. Assalamualiakum"

"Waalaikumsalam" Radit melihat kepergian Sunni. Dia senang Sunni mau menerima sarapan darinya. Pagi ini dia sengaja membuat 2 kotak bekal spesial untuk Sunni dan Lina. Dua wanita yang menarik perhatian Radit. Entah yang mana nanti akan dia pilih menjadi ibu untuk Fee, putri kecilnya.

.
.
.

Sesampainya di sekolah Sunni kembali melihat penampilannya pada pantulan kaca. "Udah oke"

"Cantik banget, neng!"

Sunni hampir melompat saking terkejutnya. Di belakangnya sudah ada Maria dengan penampilan cetarnya sedang tertawa.

Sunni merengut, dia begitu kesal. "Ngapain, nyah? Ngagetin aja" Sunni merapikan rambutnya dan berjalan meninggalkan Maria

"Cie, dandan nih ye? Ade ape nih? Mau gaet siapa tuu?" Ledek Maria.

Sunni semakin merengut. "Apaan sih. Nggak ada, hari ini aku cuman mau terlihat beda aja" sangkalnya.

Bukan Maria namanya kalau dirinya langsung percaya begitu saja. "Masa? Bukan karena si dia" Maria menunjuk  dengan matanya.

Di seberang mereka, tepatnya dilorong sekolah Fahri sedang berjalan menuju ruang kerjanya.

Dengan cepat Sunni memukul lengan Maria, "jangan asal deh! Nggak sama sekali ya buat dia!"

Maria tertawa. "Ya, oke deh. Aku percaya. Lebih tepatnya sih, terpaksa percaya" Maria tertawa keudian berjalan cepat meninggalkan Sunni yang semakin kesal.

"Nggak ada, aku cuman... cuman... mau dandan aja" bisiknya malu sendiri.

Fahri yang sudah melihat Sunni dari kejauhan sengaja memperlambat ayunan kakinya, dia menunggu Sunni.

"Selamat pagi, pak" sapa Sunni lebih dahulu.

Fahri menganggukan kepalanya, "pagi juga, Ibu Sunni" jawabnya.

Doni yang berada di belakang Fahri sedikit berdehem dan menyamakan langkahnya dengan Fahri. "Pak, kita harus ke kantor pusat untuk menghadiri rapat dengan dewan direksi"

Fahri melihat ke arah jam tangannya, "masih ada 1 setengah jam lagi. Saya mau disini dulu sebentar"

Doni mengangguk dan kembali berjalan di belakang Fahri. Sedangkan Sunni yang sedari tadi berada di samping Fahri sedikit merasa gugup. Dia tak tahu kenapa langkahnya menjadi berat. Seharusnya setelah dia menyapa Fahri tadi, dia berjalan lebih dulu tapi sekarang malah sebaliknya.

"Sunni, saya sudah memikirkan tentang sisa lahan kita yang ada dibagian belakang sekolah. Menurut kamu lebih baik kita bangun apa?"

"Emm, Pak Harto tidak menginginkan sesuatu untuk dibagun, pak?" Tanya Sunni balik.

Fahri menghentikan langkahnya begitupun Sunni. "Papa sudah menyerahkan semuanya pada saya dan saya percaya padamu. Kamu yang lebih mengerti apa yang sekolah butuhkan untuk lebih berkembang"

Sunni mengangguk. "Baiklah, pak. Untuk hal ini saya akan sampaikan dengan kepala sekolah karena saya hanya seorang pengajar di sekolah ini tidak ada kewenangan bagi saya untuk ikut mengambil keputusan"

Fahri mengerti. "Baiklah, saya akan tunggu hasil rapat kalian. Kalau sudah ada hasilnya, kamu bisa hubungi saya dan kita akan segera bertemu"

"Baik, pak. Kalau begitu saya permisi. Sudah hampir waktu mengajar" Sunni berpamitan dan berjalan meninggalkan Fahri serta Doni.

Selepas kepergian Sunni, Fahri kembali melihat jam tangannya. "Doni, siapkan mobil"

"Baik, pak!"

Fahri memutar langkahnya dan berjalan kembali menuju halaman sekolah. Pagi ini dia hanya ingin bertemu dengan Sunni, mengobrol dan memandang wajahnya. Hanya itu, sudah cukup baginya untuk melepas rindu.

.
.
.

Selamat malam...
Sunni datang kembali gengs..
Jangan lupa vote, komen n share yaa..

Aku kasih foto Mas Fahri baru selese lari  😍

Aku kasih foto Mas Fahri baru selese lari  😍

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dadah 🐙

Barabai,  17 Mei 19

SUNNI (LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang