Kopi penentu. Amira menatap cangkir kopi yang dibawanya. Berkali-kali dia memaksa hatinya untuk yakin, tetapi getar lain tetap ada. Kegilaan ini tak akan dia lupakan seumur hidupnya. Tapi suara-suara lain dalam dirinya muncul memberi semangat. Tindakannya mungkin akan menjadikannya gadis paling tebal muka yang pernah ditemui pria itu, namun tindakannya tak akan membuatnya berurusan dengan pihak berwajib, tak melanggar norma dan aturan hukum, dan selama dia masih bisa menekan rasa malu hingga ke titik dasar, maka semua akan baik-baik saja.
Ya, semua akan baik-baik saja. Pria itu hanya akan menganggapnya wanita gila dan keesokkan harinya dia juga akan bekerja seperti biasa.
Setelah berdiam diri beberapa saat, dan tak bisa memastikan dia lebih lama lagi berdiri di depan pintu kamar pria itu karena takut kopinya dingin, Amira mengetuk pelan. Ketukan yang tak mendapat sahutan. Mengetuk lagi, dan tetap tak ada sahutan.
Bibir Amira menipis, demi hal terakhir yang bisa dilakukannya, dia memutar handle. Saat mengintip sedikit, suasana masih terang menderang. Dan pria itu tengah memainkan ponselnya.
Tanpa permisi, ataupun meminta izin, Amira membuka daun pintu lebih lebar, barulah pria itu mengangkat wajahnya.
“Kopinya, Pak,” ujar Amira pelan, setelah menyelesaikan tiga langkah ke dalam.
Bibir tipis itu tetap mengatup. Amira memberanikan diri melangkah lagi dan meletakkan nampannya ke atas nakas. Amira lalu mengambil sesuatu dalam saku baju tidurnya dan meletakkannya di sebelahnya. “Ini nomor telepon saya,” ujarnya membuat Alvin menoleh.
Diambilnya secarik kertas tersebut dan menyerahkannya kembali ke Amira.
Alis Amira terangkat, dia tahu ini tak akan mudah—sama sekali tidak. “Jangan mengembalikan Anda bisa menyimpannya—“
“Tolong buang ini ke tong sampah.”
Mulut Amira terasa kering, mungkin pria ini sedang membuktikan jika verbal terkadang lebih menyakitkan daripada kekerasan fisik.
“Apa pun persyaratan lain dari Anda---akan saya turuti.”
Keheningan menyelimuti. Napas Amira berubah pendek-pendek, akal sehatnya yang mengatakan untuk tetap tenang nyatanya sekarang goyah, ditatap begitu intens.
***
Gadis ini masih memaksa, batin Alvin.
Setiap kali ia mempunyai waktu senggang, mengunjungi Ibunya adalah prioritas tertinggi. Tetapi kunjungannya yang ini memang tak sepenuhnya ingin melihat keadaan Ibunya, ada sesuatu yang mengganggu, dan Alvin butuh ketenangan--dia bahkan tak menunggu jadwal libur Kai. Awalnya ia ingin membicarakannya dengan ibunya, namun setelah berpikir lagi mungkin itu akan membebani, dan Alvin terbiasa mengatasi masalahnya sendiri.
Kai semakin tak terkendali. Minggu lalu, Kai tiba-tiba datang sore tadi dan tanpa aba-aba ingin menonton bioskop. Padahal hari itu adalah hari senin, dan Alvin telah memberikan sanggahan apa pun untuk ide Kai, tetap tak berhasil, meski Kai berjanji sampai di rumah dia akan langsung tidur.
Kai, meskipun sangat manja dan pemaksa, namun Alvin paham jika anaknya tersebut tak pernah menginginkan sesuatu dari hasil inisiatifnya sendiri. Selalu ada pemicunya. Saat dia ingin sepatu baru, padahal sepatu lamanya masih sangat bagus, penyebabnya adalah karena ada teman sekelasnya memamerkan sepatu baru. Dan saat dia ingin ke suatu tempat artinya ada seseorang yang lebih dulu menceritakan tempat tersebut.
Namun, Alvin menyadari ini adalah kesalahannya, Kai tumbuh menjadi anak yang tak mandiri, tak tahu apa yang benar-benar diinginkannya. Dan berujung terlalu sering dimanfaatkan orang lain.
Dan Sonya, Adik iparnya memanfaatkan Kai dengan cukup baik. Mereka semakin dekat, berkat Kai. Ditambah lagi Mama mertuanya semakin sering menyinggung pembicaraan ke arah yang tak Alvin inginkan. Menanyakan di setiap kali kesempatan kapan dia mencari pasangan baru, kasihan Kai sendirian di rumah, dan sebagainya.