Bagian 15

44.9K 7.8K 484
                                    

Alvin tak mungkin bisa mengatur jam berapa dia sampai di rumah. Tetapi berada di rumah ketika jam sekolah seperti saat ini, maka bisa dipastikan yang ada di dalam rumah hanyalah Amira dan Mbak Lastri.

Tiap kali sampai di rumah, sasaran Alvin adalah tempat tidur, tak ada yang ditunggu, tak ada yang perlu perhatian lebih darinya. Namun sekarang, perutnya seperti terpelintir. Pertanyaan terbesarnya adalah, mengapa penting baginya melihat reaksi Amira saat dia tiba di rumah?

Tidak. Seperti sebelum-sebelumnya, seperti yang biasa terjadi, tak ada yang spesial dan harus menjadi spesial, Alvin memarahi batinnya, mencoba bersikap senormal mungkin saat meletakkan sepatu dan melewati ruang tengah—lalu dia mendapati diri gelisah karena matanya tetap terfokus pada pintu kamar sementara keinginan kuat dalam dirinya adalah memeriksa seluruh ruangan.

Oke, mungkin bisa dimulai dengan mengucapkan salam. Mengucapkan salam? Hal yang sangat asing Alvin lakukan terkecuali dia tahu Kai ada di rumah, dan langsung meluncur ke kamar Kai.

Suara langkah terdengar. Berbalik? Tidak. Jangan dulu, tunggu sampai...

“Mas?”

Oke, waktunya berbalik. Dan serta-merta wajah Amira memenuhi indra penglihatannya. Wajah yang sama, ekspresi yang sama, tak ada senyum basa-basi.

Saling terdiam beberapa detik sebelum Alvin menyahut. “Kenapa?”

Kenapa? Amira mencerna pertanyaan Alvin sebagai sesuatu yang tak memiliki jawaban, karena dia hanya bertujuan menegur. Lantas Amira menggelengkan kepalanya. Amira mendapati dahi Alvin berkerut lalu kembali melangkah membuka pintu kamar.  

Alvin meletakkan ranselnya ke atas meja kerja mengetahui sangat jelas kalau Amira mengikutinya masuk ke dalam kamar. Apa yang akan mereka lakukan jika hanya berdua di kamar? Berbicara? Siapa yang akan memulai pembicaraan.

Tetapi Alvin harus bersikap seolah dia memiliki kesibukan tersendiri dengan mulai membongkar tasnya, jika begini dia akan terlihat tak terganggu dengan kehadiran Amira. Meskipun... Ah, bagaimana dia bisa menyerahkan barang yang dibelinya tadi dengan terlihat biasa saja?

“Um, Mas...”

“Kamu memanggil, lalu ketika kutanya kamu menggeleng.” Alvin hanya membiarkan dirinya melirik Amira. Wanita itu mengejapkan mata bulatnya, yang sialnya membuat kepala Alvin jadi menoleh sepenuhnya.

“Yang tadi itu aku hanya berniat menyapa.”

“Lalu yang sekarang?”

Air muka Amira tampak berpikir. “Ada sedikit yang ingin kubahas. Tapi sebaiknya aku membiarkan Mas istirahat dulu.”

Alis Alvin berkerut. “Jangan memancing, kalau kamu cuma mau buat penasaran dan keluar lagi. Kamu bisa membahasnya sekarang.”

Amira mengiyakan perkataan Alvin dalam hati. “Aku paham kesulitan yang Mas hadapi dengan mertua Mas. Dan aku nggak bermaksud membuatnya menjadi lebih buruk kemarin.”

“Maksudnya?”

“Mengenai Kai, memang tak ada yang terjadi kemarin. Sepertinya aku memang nggak memperhatikan keselamatannya.”

“Hanya itu?”

Amira terlihat ragu akan membahas hal ini. “Aku—nggak tahu apa yang terbaik, tetapi anak-anak benar-benar meniru apa yang dilihatnya. Kai bukan anak yang nakal, dia hanya terbiasa melakukan apa yang dilihatnya dari orang-orang terdekatnya. Dia seperti anak lainnya, penasaran jika ada sesuatu yang baru, ditambah lagi lingkungan Kai sangat kecil. Kai—“ Amira terdiam saat merasa dirinya terlalu banyak bicara.

Sedetik kemudian, Alvin bisa merasakan tatapan serius Amira. Dia terduduk di pinggir ranjang dan mengamati Amira yang tengah berdiri.

Keheningan membentang lama.

Marriage DealsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang