Satu

235K 14.5K 672
                                    

Hai... ini cerita baru yang bukan pesanan siapa-siapa, jadi akan diselesaikan di Watty ini. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Saat berbicara tentang umur, kebanyakan orang akan mengaitkannya dengan usia manusia. Jatah waktu yang ditetapkan Tuhan dari saat lahir di dunia sampai akhirnya menutup mata. Padahal umur sebenarnya tidak memiliki arti sesempit itu. Semua hal memiliki umurnya sendiri. Bukan hanya benda bernyawa, tetapi juga benda mati atau hal yang paling abstrak sekalipun. Batas umur benda elektronik adalah saat benda itu tidak bisa mendeteksi arus listrik lagi saat dihubungkan. Meja dan kursi yang kehilangan kaki juga dianggap mati karena sudah kehilangan berfungsi. Dan cinta. Cinta juga punya umur karena perasaan itu tidak abadi.

Itu benar. Cinta bisa saja pernah membutakan dan membuat siapa pun yang merasakannya lantas bermandikan endofin, dopamin, dan adrenalin di saat bersamaan sehingga antusiasme kemudian tumpah ruah. Namun, percayalah, semua itu ada umurnya. Kilau yang awalnya menerangi hati sampai menyilaukan perlahan akan meredup dan akhirnya padam. Ya, mati. Tewas. Atau apa pun kata yang bisa dipakai untuk menggambarkan sesuatu yang kehilangan sinar, denyut, detak, atau nyawa.

Pernyataan itu tidak berlebihan. Aku tahu apa yang aku bicarakan, karena aku pernah di sana. Silau oleh rasa cinta yang memabukkan dan nyaris meledakkan dada. Ralat, bukan nyaris, tetapi benar-benar meledakkan dada. Letusannya dasyat. Aku bisa melihat hati dan jantungku ambyar berhamburan ke segala penjuru dalam kepingan yang terlalu kecil untuk kurekatkan kembali.

Sialnya, sinar itu tidak lantas padam. Rongga dadaku tetap saja terang, meskipun aku sudah kehilangan hati dan jantung. Aku sudah mencoba berbagai cara untuk mematikan cahaya yang ada di sana, tetapi gagal. Selama bertahun-tahun, aku terus membawa rongga dada yang kosong, tetapi masih bersinar itu. Nyala yang menolak mati.

Syukurlah karena semua hal punya umur. Meskipun butuh waktu lebih dari seribu hari, aku akhirnya berhasil menemukan sakelar dalam rongga dadaku. Dan aku sudah menurunkannya. Hari ini, aku resmi mengubur cinta masa lalu.

Dari mana aku tahu kalau cinta itu sudah mati dan terkubur? Ya, karena aku sudah siap untuk melanjutkan hidup. Aku akan bangkit dari reruntuhan hatiku. Setelah terbelenggu cinta lama selama bertahun-tahun, aku akan mencoba membangun cinta yang baru. Beberapa jam ke depan aku akan makan malam bersama calon cinta baru itu. Kok calon? Ya karena aku butuh waktu untuk menjadikan dia sebagai cinta sejati. Hei, hargai usahaku dong. Untuk sampai di titik ini, aku telah melampaui proses berpikir yang panjang.

Jadi terhitung mulai hari ini, aku akan menjadi perempuan realistis. Berkubang di genangan empedu masa lalu selama bertahun-tahun adalah hal paling bodoh yang pernah kulakukan. Sekarang saat untuk mengikis kebodohan itu. Aku akan mengeluarkan otak yang mungkin sudah berkarat karena terlalu lama kuparkir.

Seharusnya tidak akan sulit mengubah si calon cinta baru itu menjadi cinta terakhir yang abadi. Maksudku, lihat Adam. Perempuan normal mana pun sulit untuk mengabaikannya. Dengan tubuh atletis dan proporsional seperti itu, sosoknya sangat menarik. Wajahnya jangan ditanya. Dia terlihat seperti hasil persilangan antara Chris Evans dan Chris Hemswort (minus facial hair). Ya, Captain America dan Thor. Bagian dari pahlawan yang mencegah setengah penduduk bumi dari kepunahan saat Thanos menjentikkan jari. Sangat menjanjikan ketenteraman, kan? Meskipun aku tahu dia tentu saja tidak termasuk tim Avengers yang berkeliaran dengan kostum konyol, tameng, kapak, dan palu. Yang terpenting adalah, dia menyukaiku. Dia sudah berkali-kali mengatakannya. Jadi apalagi yang aku tunggu? Lebih baik dicintai daripada mencintai, kan? Aku sudah pernah berada pada posisi mencintai seseorang dan hasilnya buruk. Kali ini lebih baik bertukar tempat. Menikmati menjadi seseorang yang dipuja, bukan pemuja.

Pasti tidak butuh waktu lama untuk menumbuhkan perasaan sayang kepada Adam. Satu tahun terkhir hubungan kami sebagai teman cukup dekat. Aku sudah mengenal kepribadiannya dengan cukup baik. Aku tidak akan memutuskan hendak mengubah status hubungan kami dari pertemanan yang nyaman menjadi sesuatu yang lebih serius kalau tidak yakin dia pantas mendapatkan kesempatan itu.

Dering telepon membuatku mengalihkan perhatian dari cermin yang sejak tadi kupandangi. Aku pikir Adam menghubungiku untuk meyakinkan jika aku tidak mangkir dari janji makan malam kami, ternyata bukan.

"Ya, Dean?" Dean adalah bos yang nyaris tidak pernah kutemui karena membiarkanku mengurus usahanya tanpa berniat membantu. Aku bahkan tidak yakin dia peduli kalau bisnisnya kubuat bangkrut. Dia punya usaha lain yang menghasilkan lebih banyak uang daripada yang kukelola ini. Usaha yang ditanganinya sendiri dengan serius.

"Tamu kita sudah tiba di Makassar. Kamu nggak lupa menyuruh orang menyiapkan bungalo yang paling besar untuk dia kan, Na?"

Aku tidak mungkin lupa. Seminggu terakhir Dean sudah beberapa kali mengingatkan. Dia bukan bos yang rewel, jadi aku lantas tahu kalau tamu yang akan berlibur di tempat wisata yang aku kelola ini adalah orang penting. "Sudah disiapkan kok. Bungalo paling besar untuk tamu spesial."

"Bagus. Tolong kamu sambut sendiri ya, Na."

Tidak bisa. "Aku ada acara di luar." Aku punya kencan pertama setelah bertahun-tahun tenggelam dalam penderitaan yang sepertinya sengaja kupelihara supaya tetap merana. Ini momen kebangkitanku, jadi aku tidak akan mengacaukan kencan dengan Adam untuk tamu penting Dean sekalipun. Karyawan yang mengurusi tamu yang menginap sudah ditraining dan aku yakin mereka bisa melaksanakan tugas menyambut tamu istimewa Dean dengan baik. Tamu penting itu bisa kusapa besok pagi saja.

"Batalkan saja. Atau kamu keluar setelah bertemu dia. Aku sudah mengirim mobil untuk jemput dia di bandara. Dari sana dia langsung ke Malino."

Enak saja dibatalkan. Adam mengajakku makan malam di Makassar. Itu berarti kami harus berangkat sore. Jarak Malino ke Makassar lumayan jauh. Kalau harus menunggu dan menyambut tamu itu, kencan pertamaku dengan Adam akan batal.

"Nggak bisa dibatalkan, Dean." Enaknya punya bos yang sekaligus adalah suami sahabatku adalah aku bisa menegosiasikan perintah.

"Paling juga kamu mau keluar dengan Adam, kan? Tunda besok saja." Tidak enaknya punya bos yang menjadi suami sahabatku adalah dia jadi tahu urusan pribadiku karena dia berbagi informasi dengan istrinya. "Adam nggak akan kemana-mana. Tamu ini lebih penting daripada dia."

Lebih penting untuk Dean, maksudnya. Tamu itu pasti kolega bisnisnya. "Tapi—"

"Tolong, Na. Aku lebih percaya kalau kamu sendiri yang menyambutnya."

Aku mendesah pasrah. Dean jarang berkeras seperti ini. "Baiklah."

"Layani dia baik-baik. Aku akan ke situ besok untuk bertemu dia."

Kenapa juga tamu itu harus menginap di tempat ini kalau mau meeting dengan Dean besok? Bukankah akan lebih praktis kalau dia menginap di hotel berbintang lima milik Dean? Mungkin saja orang itu kakek-kakek yang sudah kenyang menghirup polusi kota besar. Dia butuh tempat seperti ini untuk sesekali memasukkan udara bersih di paru-paru.

Apa boleh buat, aku harus menghubungi Adam untuk menjadwalkan kencan pertama kami di lain waktu. Semesta ternyata belum mendukung langkah awalku untuk move on. Padahal niatku sudah bulat. Tapi seperti kata Dean, Adam tidak akan kemana-mana. Kami akan punya banyak waktu bersama. Kalau semua berjalan lancar seperti rencanaku, batasnya adalah sampai maut memisahkan. Tamu Dean paling lama hanya akan tinggal dua hari. Pengusaha sukses lebih menikmati bekerja daripada berlibur.

Setelah mandi dan berganti pakaian, aku kemudian mengecek bungalo yang sudah disiapkan untuk tamu penting Dean. Sempurna. Sekeranjang buah segar bahkan sudah tersedia di atas meja makan. Kulkas yang ada di situ juga sudah diisi dengan minuman dan camilan.

Aku keluar dari bungalo saat mendengar suara mobil berhenti di depan pintu. Itu pasti tamu Dean. Tidak ada orang lain lagi selain karyawan yang akan datang karena jam berkunjung di tempat wisata ini sudah selesai beberapa jam lalu.

Yang berhenti di depan bungalo itu memang salah satu mobil Dean. Aku bergegas keluar dan menyiapkan senyum terbaik. Baiklah, mari kita temui kakek tua yang sudah mabuk polusi itu. Semoga dia tidak mabuk darat juga karena perjalanan dari bandara Sultan Hasanuddin memakan waktu cukup lama terutama kalau dia terjebak macet.

Aku sudah berdiri di teras saat pintu mobil itu terkuak dan tamu itu akhirnya turun. Senyumku mendadak surut saat melihat wajah tamu itu. Oh tidak. Berengsek!

**

Bagi komen dong

Mantan Rasa Gebetan (Terbit)Where stories live. Discover now