here i am

905 88 2
                                    

Nana

Aku selalu bernasib sial. Dan aku benci Jakarta.

Dari sekian banyak tempat yang pernah kudatangi, aku selalu berakhir nahas di kota ini. Mengingatkanku pada hal-hal yang tak ingin kuingat-ingat lagi. Rasa benci, caci-maki, dan luka yang kupikir sudah mengering ternyata berdarah lagi. Butuh usaha yang cukup keras hingga aku berada di titik ini. Dengan kembali ke Jakarta justru menjadikannya sia-sia.

Dengan gugup, aku memilih menatap gedung-gedung tinggi di balik pintu kaca taksi yang sedang kutumpangi saat ini. Sebentar lagi aku akan tiba di hadapan kakakku dengan wajah yang sama mengenaskannya dengan hidupku. Menyedihkan. Karena sejauh apa pun aku berlari, aku selalu kembali di tempat yang sama lagi.

Beberapa saat kemudian, taksi berhenti di kawasan kompleks apartemen yang sudah kusebutkan saat naik dari bandara tadi. Dibantu oleh sopir taksi, ia menurunkan koperku dari bagasi, sementara aku mempersiapkan diri sebelum turun dari mobil. Kuperbaiki letak kacamata hitamku, kutegapkan bahu, kutarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan.

Aku tak pernah segugup ini, tetapi sejujurnya aku takut. Aku takut setelah turun dari mobil, orang-orang di luar sana akan langsung mengenaliku. Memandangku dengan tatapan jijik dan menudingku dengan telunjuk mereka. Wanita murahan. Sampah masyarakat. Dan segudang kata makian yang pernah kudengar langsung dari mereka. Sudah empat tahun berlalu, dan rasanya baru terjadi kemarin sore. Walau aku ingin terus berlari, lagi-lagi aku dipaksa untuk berhenti.

Ketika tiba di dalam gedung, aku segera melangkahkan kaki dengan cepat ke arah lift. Kupaksa kakiku berlari sambil menyeret koperku yang tak seberapa isinya. Kutekan tombol menuju lantai tujuh dan lift memelesat tanpa membutuhkan banyak waktu.

Lift membuka. Kembali kuseret koperku hingga aku berhenti tepat di depan pintu bernomor 701. Pintu itu terkuak setelah aku menekan bel dan mengembuskan napas yang tanpa sadar kutahan sejak tadi.

Apartemen itu tak berubah. Tanpa sentuhan wanita. Dingin. Pemiliknya yang rupawan, bahkan tak menyapaku dengan baik. Bibirnya tertarik lurus dengan tatapan intimidasi yang bahkan tak meloloskanku untuk bergerak dari hadapannya.

"Kenapa kamu kembali?" tanya Mas Alga langsung. Kakak lelakiku satu-satunya.

"Aku juga nggak berniat untuk kembali," kudorong tubuhnya mundur dari pintu agar aku bisa masuk. "Tapi Ibu yang memaksa aku kembali, Mas. Ibu sudah cerita, kan?"

Ibuku yang mengirimku langsung kembali ke Jakarta. Mengusirku dari Wellington, tempat di mana tak seorang pun yang bisa mengenaliku di sana. Tempat pengasinganku yang hanya tinggal kenangan.

"Ibu sudah cerita dan itu bukan berarti bisa meloloskan kamu dari hukuman. Kenapa kamu bisa ceroboh banget, sih? Kenapa kamu malah cerita ke Ibu? Empat tahun, Na! Kita sudah menutupi ini selama empat tahun."

Seraya mendengarkan ocehan Mas Alga, kujatuhkan tubuhku ke sofa empuk di depan televisi setelah kutendang koperku ke samping meja. Apartemen Mas Alga tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk menampung rak-rak buku yang menjulang tinggi di setiap sudut ruangan ini. "Aku nggak bisa membohongi Ibu lagi, Mas. Ayah bahkan sampai marah besar," ucapku.

Seperti Mas Alga, aku juga tak ingin skandal itu tiba di telinga kedua orangtuaku. Empat tahun menutupi semua ini bukanlah pilihan mudah. Apalagi saat aku tinggal bersama mereka, rasa bersalah itu terus menghantuiku, hingga pada akhirnya aku tak tahan lagi dan menceritakan segalanya. Alasan-alasan mengapa aku melarikan diri ke Wellington dan tentang skandal yang menimpa karierku di sini. Orangtuaku tentu saja terkejut mendengarnya. Bagaimana mungkin anak bungsu kesayangannya dituduh menjual diri?

it has to be youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang