4

939 27 0
                                    

   Sebuah pertandingan pertama telah berakhir. Salah satunya sudah terkapar mati dengan wajah yang hancur dihantam balok kayu. Pemandangan ini layaknya film pada masa romawi kuno. Di layar kaca, memang adegan ini sangatlah seru. Tapi berbanding terbalik jika melihatnya secara langsung ditambah ini bukan rekayasa..
.
    Para hewan itu begitu senang dengan pertarungan pertama yang baru saja usai. Tanpa mempedulikan perasaan pria itu yang terlihat trauma, dan bahkan menagih ingin segera melihat pertarungan yang selanjutnya.
.
  Kemudian singa ini berjalan kemari. Dari situ, jantungku mulai berdebar kuat. Matanya yang berwarna kuning dengan pupil yang lancip itu tengah memilih siapa yang akan bertarung setelah mereka. Hingga pilihannya pun tertuju pada Steve. Hanya dia seorang.
.
    Ini justru diluar pemikiranku, mereka tidak memperbolehkan yang menang untuk diam beristirahat tapi diharuskan untuk bertarung dengan lawan baru yang masih segar bugar. Apa-apaan ini.
.
    "Hey tunggu!" Cegahku pada singa itu. Lalu hewan itu berhenti lalu menoleh.
.
    "Apa? Kau mau menggantikan dia?" Singa ini menunjuk Steve yang sedang ia rangkul.
.
   Bingung apa yang ingin aku katakan saat melihat Steve yang malang. Tapi, aku juga tak ingin membunuh sesama manusia. Lagipula, apakah aku bisa melakukannya? Aarrgghhh.... Aku bingung.
.
   "Ti...tidak," protes itu urung dilakukan. Aku lantas kembali duduk dan menyembunyikan wajahku dari Steve. Maaf kawan, aku bingung. Tapi, ini kesempatan baik untukmu. Dia kelelahan sekarang setelah pertarungan pertamanya yang memakan waktu lama. Kau pasti akan menang! Pikirku.
.
   Tubuh Steve didorong menuju tempat diletakannya balok-balok kayu agar ia mengambilnya. Aku tahu kau ragu, dari langkahmu yang berat itu terlalu menunjukkan bahwa kau tidak mampu untuk melakukannya. Tapi,  jika saja kau mati ditangan orang lain, toh aku pun akan menyusulmu juga.
.
   Dari sini aku melihat mayat yang masih tergeletak itu telah berpindah ke gerobak yang ada di sisi lapangan. Di sanalah tempat kita setelahnya. Yang dengan pasti mereka akan membawa mayat- mayat kami ke pasar karnivora untuk dijual.
.
   Sekarang, saatnya pertarungan yang jauh dari kata adil itu dimulai.
.
   Pria yang menjadi lawan Steve tidak tinggi namun kekar. Dari otot lengannya yang mengkilap oleh keringat itu terbayang betapa kerasnya pukulan yang akan Steve terima jika ia terlambat untuk mengelak. Semoga saja kau bisa melawan dia. Jujur, aku masih ingin melihatmu yang masih bernyawa meski akhirnya berakhir juga.
.
  Lelaki itu pun berjalan ke arah Steve. Melihat itu, ia pun lantas mempersiapkan diri dengan meregangkan kuda-kudanya untuk menyambut pukulan pertama. Hingga satu ayunan tongkat pria itu pun melayang ke arah kepalanya. Steve tau arah itu, dengan mudah bisa ia tahan dengan segera. Tapi, entah mengapa kaki Steve sedikit terdorong ke belakang saat menahan pukulannya. Sial, ternyata dia masih kuat.
.
  
   Lelaki itu kembali berjalan sembari memukulkan tongkatnya ke arah Steve yang berusaha terus menangkis serangannya itu. Hewan-hewan yang mendukungnya lantas bersorak dan memberikannya semangat agar ia bisa mengalahkan Steve dan mendapatkan taruhannya 2x lipat.
.
    Rasanya kesal, melihat Steve yang kesusahan dan aku tak mampu untuk menolongnya. Melihat situasi ini, aku jadi terpikir akan sosok misterius yang pernah menolongku kemarin dan berharap dia akan melakukannya lagi untukku. Ku mohon, keluarlah.
.
   "Horeee!!!!!" Sorak sorai penonton itu membuyarkan lamunanku. Kini keadaan berbalik dan Steve mendominasi pertandingan. Dia bisa melakukan pukulan telak pada pria itu dan bahkan berulang kali hingga tersungkur dengan darah yang mengalir dari kepala juga hidungnya.
.
   Apa yang aku lihat saat ini seperti itu bukanlah dirinya. Steve begitu bersemangat saat melakukan pukulan demi pukulan yang terus menghujani pria itu. Hingga akhirnya, Steve menang dengan cepat setelah memelintir kepala lawannya hingga benar-benar putus. Sungguh diluar dugaan.
.
   Satu persatu lawan baru dibawa oleh singa ini kepada Steve. Mereka semua tumbang dan mati dengan waktu yang amat singkat. Siapa dia sebenarnya, apakah memori kelam itu yang menjadikannya sekejam seperti ini? Raut wajahnya benar-benar berubah. Noda darah yang membanjiri tubuhnya seakan ia menyukainya. Dan bahkan ia sempat tertawa saat mengetahui lawannya telah mati.
.
   Kini yang tersisa hanyalah aku yang menunggu di bangku ini. Sudah bisa dipastikan dia akan bertarung denganku. Karena lawannya adalah seorang wanita paruh baya yang lemah.
.
    Steve tersenyum lebar pada ibu itu. Dia benar-benar sudah bermandikan darah dari lawan-lawannya yang berhasil ia bunuh. Mengusapkan rata pada seluruh wajah tanpa ada rasa jijik atau penyesalan. Dia seperti terlahir memiliki sifat psikopat murni yang senang jika dihadapkan dengan keadaan ini.
.
    Tak ada tongkat yang ia pegang sekarang. Dia hendak menggunakan tangan kosong dan langsung menuju kepada ibu itu yang sudah ketakutan setengah mati. Melihat ini, penonton seakan menemukan pertunjukkan yang benar-benar mereka inginkan. Aku mendengar semuanya meneriakkan kata 'bunuh' berulang-ulang yang membuat Steve berubah menjadi sesosok iblis.
.
   Perlakuannya terhadap lawan inilah yang paling keji. Dengan leluasa Steve menjambak rambut ibu itu yang kemudian dibenamkannya ke tanah. Menekan kepala bagian belakang, lalu menggesek kuat-kuat wajahnya berulang kali. Teriakan itu terdengar samar. Rasanya aku tak sanggup menyaksikan ini tapi leherku terlalu kaku untuk berpaling.
.
   Ia pun lantas menghentikan gesekannya itu dan berjalan mundur kebelakang. Ibu itu kemudian mencoba untuk berbalik menghadap langit. Dari situ aku bisa melihat wajahnya yang tertutup oleh tanah yang basah oleh darah yang keluar dari celah-celah luka yang ada. Itu pasti sangat perih baginya. Hingga teriakannya bisa dengan jelas aku dengar. Suaranya menggema ke udara menyebar kesegala penjuru seakan-akan ingin memberi tahu bahwa ini benar-benar mimpi buruk baginya.
.
Bunuh...
Bunuh...
Bunuh...
.
   Steve mengangguk senada dengan apa yang penonton katakan. Senyum menjijikan itu kembali ia pamerkan pada semuanya.
.
   Pria iblis ini pun kembali mendekati ibu itu yang masih meraung kesakitan sembari memegangi wajahnya. Steve lantas melompat lalu mendarat tepat pada perutnya menggunakan kedua lutut.
.
   "Hggg...."
.  Mulutnya menyemburkan darah yang langsung menyiprati wajah Steve. Ia lantas mengambil kayu milik ibu itu. Yang kemudian memukul keningnya berulang-ulang hingga cekung ke dalam. Pada akhirnya, ibu itu pun sudah tidak bernyawa tanpa sempat berteriak lagi.
.
  Kini wasit mendekat ke arah Steve seperti bertanya padanya. Aku tak bisa mendengar percakapan itu karena suara riuh penonton terlalu ramai saat merayakan kemenangan Steve. Hingga akhirnya, wasit itu mengangkat lengan kanan Steve dan menyebut namanya lantang. Kini suara riuh itu berganti dengan menyebut-nyebut namanya.
.
   Dari apa yang aku saksikan ini membuat nyaliku ciut seketika. Kabur? Itu tidak mungkin. Satu-satunya jalan adalah kembali masuk ke gedung ini lalu melewati gerbang depan. Dan itu dijaga ketat oleh seekor kingkong besar. Bahkan, aku tak bisa melihat celahnya sama sekali. Sebenarnya ada pintu lain. Tapi, itu adalah akses masuknya para penonton ini dan itu sangatlah tidak mungkin.
.
Apa boleh buat, aku harus melawannya. Aku harus menang bagaimana pun caranya. Karena aku masih mempunyai mimpi yaitu, bisa hidup dengan normal. Tujuan ini layaknya sebuah balas dendam bagiku. Terhadap kedua orang tua yang mati dibunuh oleh bangsa kalian, para hewan.
.
   Aku berjalan menuju lapangan tanpa harus menunggu singa itu datang kemari. Saat aku melewati ram besi pembatas lapang ini, sontak penonton kembali bersorak dan semakin ramai lebih dari sebelumnya.
.
   Aku lantas mengambil dua balok kayu dengan ukuran berbeda. Yang satu lebih kecil dengan sedikit meruncing pada salah satu ujungnya. Semoga saja ini berhasil.
.
    Kami berdua saling berhadapan. Menatap wajah Steve yang sekarang benar-benar sangat berbeda dari sebelumnya. Bagaikan dua sisi mata uang, dan dia berada di sisi yang lainnya.
.
   Steve mulai mendekat dan aku sudah siap. Senyuman aneh itu tak pernah ia sudahi yang akhirnya membuatku sangat muak. Ternyata kau benar-benar iblis. Keramahanmu kemarin sudah aku lupakan semenjak kebengisanmu ini.
.
   Ia mengayunkan tongkatnya untuk pertama kali. Aku sudah tahu arahnya akan ke mana. Kemudian dengan sedikit mengelak, kayu itu hanya melintas saja tanpa mengenai apapun. Ini kesempatan bagiku. Akhirnya, ujung lancip dari kayu ini menancap pada perut bagian kirinya. Tak hanya itu, dengan segera aku pun menendangnya agar ia menjauh dariku.
.
   Aku tak menyangka jika hal ini bisa ku lakukan. Mungkin inilah yang dimaksud dengan tujuan. Selalu ada jalan untuk bisa mencapainya.
.
   Steve kembali bangun seperti biasa. Dengan wajah yang sama seakan rasa sakit itu tak pernah ada baginya. Aku tertegun menyaksikan ini. Dia bahkan mulai berlari ke arahku sekarang. Segera aku menghindar darinya dengan melompat kebelakang. Aku melakukannya terus karena belum menemukan celah sebab dia mengayunkan tongkat itu secara membabi buta.
.
Krak...
.
  Sial... Kakiku menginjak sebuah patahan kayu dan itu membuatku terjatuh. Ini buruk.
.
   Aku berusaha menahan semua pukulan Steve menggunakan kayu yang lebih besar dengan posisi yang masih terjatuh. Pukulannya sangat kuat. Getaran dari kayu yang saling bertabrakan ini membuat pergelangan menjadi ngilu. Sebisa mungkin aku harus menahan ini, jangan sampai mengenai kepalaku yang saat ini ia incar.
.
   "Haaaaaaaa!!!" Steve berteriak seraya mengambil ancang-ancang mengumpulkan tenaga untuk memukul agar kayu penahan ini bisa terlepas dari tanganku. Dari sini aku mendapatkan celah sempit yang harus segera di lakukan. Sebuah tendangan akhirnya lebih dulu dapat mengenai perutnya sembari mendorong tubuhku agar bisa kembali berdiri dengan cara berguling ke belakang.
.
   Akhirnya aku bisa kembali berdiri.
.
   "Alex... Hahh... hah... kau lebih baik mati, kawan!" Ucap Steve pertama kali padaku. Tapi aku enggan membalasnya karena ingin lebih fokus untuk melawannya saja.
.
   "Apa gunanya kau menang melawanku, hah? Apa kembali pada serigala itu?" Aku masih tetap diam tidak menjawab.
.
   "Kawan, sebenarnya aku tidak menginginkan kamu kesusahan. Termasuk mereka semua yang sudah aku bunuh! Yang lebih memilih mati daripada harus merasakan hidup yang pahit ini!" Aku tertegun mendengar apa yang ia katakan. Apakah ini yang ia katakan pada mereka semua? Apakah harus aku mengatakan bahwa ia masih Steve yang dulu?
.
  "Jadi kau lebih baik mati, Alex!" Teriak Steve yang berlari ke arahku yang langsung menerjang tubuhku hingga tersungkur. Sial... ucapan itu membuyarkan konsentrasi.
.
   Steve lantas menduduki tubuhku dan menahan kedua lengan ini dengan lututnya. Secara leluasa ia pun menghajar kepalaku dengan balok kayu dari kiri dan kanan secara terus menerus. Membuat telinga ini berdenging dan menjadikan pendengaran menjadi kurang jelas.
.
   Aku tidak ingin mati di sini.
.
  TIDAKKK!!!
.
  "AARRGGGHHH!!!!"  Kuhantamkan kepalaku padanya sekuat tenaga hingga ia pun terguling kebelakang. Kini aku mencoba untuk mengatur napas dan berusaha untuk bangun lalu meraih kembali dua balok kayu itu.
.
   Darah segar dari kedua pelipis ini mengalir membanjiri tubuh. Rasanya tempat ini berputar dan membuatku sulit untuk berdiri tegak. Di samping itu, aku dapat melihat Steve yang sudah mulai kelelahan, mencoba untuk bangkit kembali.
.
Itu tak akan aku biarkan!
.
   Aku lantas memukul kepalanya, memukulnya lagi dan lagi hingga ia semakin kesulitan untuk bangun. Hingga akhirnya, aku bisa berada di atas tubuhnya dan melakukan hal yang sama padanya.
.
  "Rasakan... rasakan... rasakan!" Ucapku penuh amarah padanya. Kini tubuhnya semakin lemah dan lemah hingga kepalanya hanya terkulai begitu saja. Hidungnya patah, mulutnya robek, telinganya berdarah. Itulah hasil dari apa yang aku lakukan padanya.
.
   Napasnya mulai tersenggal dan kesadarannya terus menurun. Rasanya ingin aku menjawab pertanyaannya itu.
.
   "Dengar baik-baik! Aku memilih hidup karena ada satu tujuan yang ingin aku capai! Tak peduli bahwa itu adalah hal yang tidak mungkin bagiku. Tapi yang jelas... aku tidak mau mati di sini!"
.
   Aku lantas menggenggam kuat kayu runcing ini lalu kuhancurkan kedua bola matanya. Ia hanya mengerang tanpa bersuara saat kayu ini aku cabut kembali dengan urat mata yang juga ikut keluar dari lubangnya. Dan kemudian, di  akhiri dengan menancapkan ini pada rongga mulut Alex yang terbuka.
.
  Kini dia pun mati.
.
  Dan aku menang melawan dirinya.
.
   Hah... sepertinya aku kehilangan banyak darah. Tubuhku terasa dingin juga setiap ujung jemari ini merasakan kesemutan yang semakin menjalar. Lemas, rasanya tak kuasa lagi menahan beban tubuh ini. Yang kemudian terkulai tepat di samping mayat Steve.
.
   Apa yang aku katakan tadi, bukankah aku tak ingin mati di sini? Sepertinya aku berbohong padamu, Steve.
.
   Dari sisa-sisa kesadaranku, aku bisa melihat singa itu tengah berjalan mendekat. Mungkin dia akan membawaku ke gerobak itu. Tapi, seharusnya jangan karena aku masih belum mati, bukan?
.
  Singa itu menyeret Steve menjauh dariku.
.
  Sekarang tinggal giliranku yang sudah merasa kesemutan sekujur tubuh. Ternyata bukan hanya kepala. Entah bagaimana  Steve menancapkan serpihan kayu ini pada perutku. Aku benar-benar tidak menyadarinya. Oh, mungkin saat ia menduduki tubuhku. Haha... luar biasa...
.
  Duarrrr......
.
   Hah... suara apa itu. Apakah itu ledakan?
.
  Entahlah... rasanya aku sangat mengantuk...
.
.
.
.
  Bersambung...

Humanity (Indonesian Story)Where stories live. Discover now