5

1.1K 32 5
                                    

Lampu tidur berwarna biru yang masih menyala berputar menghasilkan bayang-bayang hewan di dinding. Mereka saling berkejaran satu sama lain tanpa ada yang pernah bisa menggapai apa yang ada di depannya. Aku suka dan menjadi hiburan tersendiri saat berada di kamar tidur.
.
Pintu kamar ini terbuka dengan lebar. Seseorang pun masuk lalu berjalan menuju jendela yang masih tertutup kain. Dia kemudian membukanya seketika tanpa mempedulikan aku yang silau akan cahaya terang yang mengganggu mata.
.
Cahaya itu menjawabnya. Senyum hangat itu berjalan kemari lalu mengusap kepalaku lembut "Alex, sarapan mu sudah siap, nak,"
.
Dia adalah ibuku. Sosok yang selalu ada dalam benak dan akan selalu begitu dalam setiap harinya meski berada seharian di dalam rumah.
.
"Ibu...." Tangan ini langsung saja memeluknya seperti ia memiliki jiwa sendiri. Dan mata, dia meneteskan air mata mengungkapkan arti dari bisikan hati yang rumit pada ibu. Apa yang aku lewati terlalu berat sehingga apa yang terlihat saat ini membuat semuanya tidak terkendali.
.
"Tidak apa-apa. Percayalah pada hatimu, nak. Sejauh kakimu melangkah, ibu akan selalu ada untuk mengawasimu." Ucapnya saat tangan halus ini membelai lembut rambutku.
.
"Apa itu benar?" Seraya melihat wajahnya tanpa peduli dengan lelehan air mata yang terus saja membanjiri pipi. Dia hanya tersenyum, aku pun membalasnya. Karena dibalik itu, aku mengerti. Dirimu akan ada di dalam hatiku. Bukan begitu, ibu?
.
Ibu kemudian membawaku dengan menuntun tangan ini ikut bersamanya disamping aku yang masih menyeka air mata juga ingus yang sepertinya jauh diluar kendali.
.
Dari ujung tangga ini ada sesuatu yang menunggu kedatangan kami berdua. Telinga segitiga berwarna orange selaras dengan tubuhnya yang berwarna sama. Telinganya menoleh saat sebelum ia menolehkan wajahnya ke belakang. Dan sekarang, aku tahu siapa dia dari bintik hitam yang ada pada hidungnya. "Meong..." Sapa Gupi yang kemudian menjilati sisi kakinya yang lalu ia usapkan pada telinga manisnya itu.
.
Sesi makan ini selalu berwarna. Ayah ada, ibu pun ada, juga Gupi yang sedang mengunyah makanan kering tepat di bawah meja. Tempat favoritenya untuk makan.
.
Tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca dari depan rumah, yang seketika memusnahkan suasana gembira ini. Suara napas berat juga langakah cepat yang sepertinya tengah mendekat kemari tapi entah itu siapa. Seketika kami semua panik, pun Gupi yang melompat ke arahku dengan merekahkan bulu-bulunya yang halus.
.
Ayah menghampiri suara itu lalu berbalik untuk menyuruhku lari dari sini bersama ibu. Aku yang hanya mematung dengan rasa takut dengan apa yang tidak aku ketahui ini membuat kaki menjadi terasa kaku. Yang aku lakukan hanyalah memeluk Gupi. Sebelum akhirnya ibu meraih tanganku dan membawa pergi menjauh dari ayah.
.
Ibu pun segera menyembunyikan aku bersama Gupi di balik lemari kamar tamu.
.
"Kamu harus diam, oke?"
.
"Tapi, bu!"
.
"Turuti saja! Jangan kemana-mana!" Lalu ibu menutup pintu menyembunyikan aku yang sedang ketakutan. Gupi yang bersamaku tidak bisa diam, yang kemudian ia pun keluar dan lari entah kemana. Meninggalkan aku sendiri bersama hanger-hanger yang tergantung.
.
Sesuatu sepertinya tengah datang. Dari balik celah aku melihat ibu yang berlari kemari dan buru-buru menutup pintu. Wajahnya terlihat shock sendirian. Di mana ayah? Mengapa ibu tidak bersamanya? Ada apa ini? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan terus muncul. Ingin aku keluar tapi ibu tidak memperbolehkan dan mengimbau agar tetap di sini saja.
.
Pintu seakan di dorong dari luar, ibu hanya menahan itu dengan tubuhnya sembari terpejam. Hingga akhirnya ia pun terdorong dan pintu ini terbuka lebar. Terlihat lah dari balik celah, 6 ekor anjing yang berjalan dengan dua kaki menyerang ibu; menggigit lehernya dibantu oleh 5 ekor sisanya yang mencabik-cabik kaki juga tangan ibu.
.
Apa-apaan ini. Siapa mereka yang berada di balik kostum itu? Rasanya aku takut dan semakin takut saat kaki ibu terlepas dari tubuhnya. Dia mengunyah itu dengan lahap bagaikan seseorang yang tak pernah makan berbulan-bulan.
.
Salah satu anjing itu mengendus-endus udara. Aku lantas menutup mulut untuk mengurangi suara napas yang terengah karena shock.
.
Dia mendekat seakan menerka jejak. Anjing ini tak berhenti mengendus. Hingga ia pun melihatku. Tepat melihat mataku melalui celah yang sama lalu kemudian membuka lemari ini dari luar.
.
Terlihat tepat di depan wajah moncong berlumuran darah itu tengah menganga lebar. Bau amis itu menyeruak masuk ke dalam hidung membuatku ingin muntah. Dia hendak melahapku sekarang.
.
"Jangaaann!!!!"
.
Drap...drap...drap... Brakk!!!
.
"Ada apa!?"
.
. Aku melihat sosok tengah berdiri di ambang pintu. Dia adalah manusia.
.
Sempat tertegun sejenak saat rambutnya terurai membelakangi cahaya dari luar. Begitu juga dengan wajah ovalnya yang kusam tengah menghadap padaku disertai tatapan khawatir dari kedua bola matanya. Siapa dia?
.
"Di mana aku? Dan, siapa kamu?"
.
Wanita ini lantas berjalan mendekat tapi entah mengapa aku lebih memilih menyudutkan diri pada sandaran. "Arghh..." sakit rasanya, tapi kenapa?
.
"Hey, kamu jangan banyak bergerak dulu. Lukamu itu belum kering!" Eh, luka? Aku menurunkan padangan dan melihat perut yang sudah terbalut oleh kain perban. Kemudian mencoba untuk menyentuh ini dan benar, ini benar-benar sakit. Apakah tadi itu hanya mimpi? Hmm... benar juga. Itu hanya mimpi.
.
Wanita ini lantas duduk dan hendak meraihku. "Tunggu! Kau belum menjawab pertanyaanku."
.
"Baiklah, namaku Olivia. Tapi, panggil saja namaku Oliv," lalu dia tersenyum dengan memiringkan kepalanya ke kiri.
.
"Lalu, bagaimana bisa kau membawaku kemari?"
.
"Hmmm... rumit. Pertama aku harus merencanakan sesuatu, kedua pergi tengah malam secara mengendap-endap untuk memasang bom pada kursi penonton di lapangan baseball, dan..."
.
"Cukup... langsung saja. Siapa yang membantumu. Aku yakin kau tidak sendirian."
.
"Tentu! Aku bersama hewan lain untuk melakukan ini. Tapi, aku berbohong satu hal. Sebenarnya bukan aku yang merencanakan ini." Mataku memicing saat memandangnya. Sebuah pertanyaan baru pun terbuat.
.
"Siapa?"
.
"Sayangnya dia sedang keluar. Tapi sebentar lagi pasti pulang. Karena sekarang sudah jam makan siang." Balas Oliv. Dia adalah gadis ceria. Sudah bisa ditebak walau hanya sesaat kita bertemu. Dari nada bicaranyalah aku bisa mengetahuinya.
.
"Aku pulang!"
.
Suara itu terdengar dari luar. Dan Oliv, dia pun segera menghampirinya tapi sebatas ambang pintu kamar ini saja. Dia melambaikan tangan pada seseorang yang ada di luar. Aku harap semoga saja dia benar-benar manusia.
.
"Nah, sekarang kau akan bertemu dengannya yang aku bicarakan tadi." Ucap Oliv yang masih tak beranjak dari tempatnya berdiri.
.
Aku melihat seseorang mengintip. Bukan, dia bukan orang, melainkan sesuatu dengan telinga runcingnya. Dia lalu berjalan masuk seraya menundukan kepalanya. Dia adalah seekor kucing yang berjalan dengan dua kaki. Sial! Ini pasti pertanda buruk. Dia pasti majikan Oliv.
.
"Ka... kau sudah siuman, Alex?" Aku terkejut saat ia mengatakan itu. Begitu juga dengan Oliv yang mengira dia tak mengenalku.
.
Aku tak menjawab pertanyaannya karena masih bingung dengan keadaan. Sepertinya harus mengatur rencana untuk kabur sesegera mungkin.
.
Kucing ini lantas mengangkat wajahnya padaku. Wajahnya sayu dan terlihat genangan air mata yang hampir terjun bebas dari hadapan mata kuningnya. Dari sini aku bisa melihat jelas warna bercak hitam khas itu. Dia adalah Gupi.
.
"Gupi? Ka... kau!"
.
"Ya, Alex. Ini aku. Maaf jika meninggalkanmu waktu itu. Aku benar-benar bersalah tidak menolongmu." Dia menangis sesenggukan. Tapi, aku masih curiga dengannya. Meski kami pernah bersama, tapi takut rasanya. Jika saja ia menipuku sama seperti Martin si banteng keparat itu.
.
Gupi pun berjalan mendekat setelah Oliv mendorongnya dari belakang. "Tunggu! Jangan mendekat!" Cegahku padanya dan ia pun menurut.
.
"Loh, kenapa Alex? Dia yang menolongmu! Setidaknya ucapkan terima kasih dulu padanya?" Ucap Oliv padaku. Dia sepertinya marah. Terlihat dari wajahnya yang memerah juga alisnya yang lebih tinggi.
.
"Tak apa, Oliv. Mungkin dia masih butuh waktu untuk memaafkan aku." Ucap Gupi yang kemudian berbalik meninggalkan tempat ini dengan segera. Melihat ini Oliv semakin marah ditambah kecewa atas perlakuanku terhadapnya.
.
Wanita ini pun hendak keluar menyusul Gupi yang berlalu. Tapi dia berhenti "makananmu akan ku antarkan kemari. Dasar!" Ia pun melanjutkan untuk pergi seraya menutup pintu kayu alakadarnya ini secara keras.
.
Sekarang aku kembali sendirian dan rasa bersalah itu tiba-tiba muncul. Hati ini seakan berbisik dan menyela perbuatanku itu. Tapi, otak ini berkata jika bisa saja ini hanya akting belaka dan mengira bisa saja dia seperti Martin. Dalam diriku ini kedua jenis organ tubuh mulai beradu argument tentang siapa yang benar dan apa yang seharusnya aku lakukan.
.
Lebih baik aku kembali tidur saja daripada harus ikut terhanyut dengan perasaan yang rumit.
.
.
.
#####
.
.
Hari sudah berganti dan aku masih belum bisa beranjak dari tempat ini. Rasanya, saat kaki menghentak lantai tanah kamar ini seketika rasa nyeri itu menjalar yang berasal dari perut ke seluruh tubuh. Membuatku urung dan kembali berbaring seperti semula.
.
Oliv pun datang membawa sarapan semangkuk bubur hangat buatannya. "Nah, makanlah!" Ia pun lantas pergi tanpa membiarkan aku untuk berterima kasih padanya. Dia masih kecewa soal kemarin. Ya sudah, mungkin besok atau lusa dia bisa berbicara denganku dan memahami apa yang aku maksud.
.
Aku pun meraih mangkuk keramik putih yang berisi bubur panas ini untuk segera aku makan. Dari sini aku melihat ada taburan kesukaanku yaitu seledri yang berada di atasnya. Rasanya dia seperti tahu apa yang aku suka.
.
"Hap..." Hmmm... rasanya sangat enak ditambah tekstur renyah dari seledri yang aku kunyah. Biasanya ibuku membuatkan ini saat aku sedang demam. Menyuapi dari suapan pertama hingga habis.
.
Oliv kembali masuk ke dalam kamar. Mengambil mangkuk kosong lalu berjalan untuk kembali tanpa sepatah kata. Tapi, sebisa mungkin aku harus berbicara padanya. Kemudian, dengan segera, aku pun meraih tangannya dan menahan ia untuk pergi.
.
"Ada apa?" Ucapnya tanpa menghadapku sama sekali. Benar ternyata. Dia masih marah padaku.
.
"Terima kasih. Bubur ini enak seperti buatan ibuku dulu." Ucapku padanya yang kemudian melepaskan lengannya. Setidaknya pujian itu bisa sedikit meluluhkan hatinya dan mudah untuk memaafkan aku.
.
"Seharusnya kau yang berterima kasih pada Gupi. Dia yanh membuatkan bubur ini untukmu." Jawabnya cepat lalu berlalu begitu saja.
.
Gupi katamu...
.
Astaga, apa yang sudah aku lakukan padanya. Gupi, di mana dia? Aku harus keluar mencarinya. Perlakuan itu, sial! Makhluk apa aku ini.
.
Sekuat tenaga aku menahan rasa sakit untuk bisa beridiri. Menarik napas panjang perlahan agar rasa itu ternetralisir sedikit. Melangkah satu demi satu dengan tangan yang terus memegangi perut.
.
Akhirnya aku sampai di ambang pintu. Membukanya sedikit sembari bersender pada dinding.
.
"Apa dia menghabiskan makananya?"
.
"Tentu, kau memang pandai memasak, Gupi."
.
"Hahaha... tidak juga. Aku hanya belajar dari manusia yang selalu membuat makanan itu. Katanya, bubur itu adalah doa agar seseorang bisa cepat sembuh."
.
Jadi selama ini Gupi selalu memperhatikan ibu setiap hari sehingga tau apa yang ia lakukan untukku kala sakit. Dan kini gilirannya untuk membuatkan itu untukku. Seketika lututku lemah karena menahan sakit yang sudah pada batasnya. Aku pun terjatuh dengan tubuh yang setengah keluar kamar.
.
Melihat itu, Oliv dan gupi berlari menghampiri dan berusaha mengangkatku yang merasa kesakitan.
.
"Tunggu..." Aku mencegah mereka. "Gupi, aku minta maaf," wajah ini enggan aku tunjukkan padanya dan memilih untuk menengok ke arah lain. Rasanya tak pantas.
.
Tapi, kepala lembut itu menyentuh tengkuk dan terdengar dengan jelas suara dengkuran Gupi yang begitu menenangkan. "Tak apa, Alex. Seharusnya aku yang meminta maaf karena meninggalkanmu waktu itu." Seketika tangis pun pecah dan aku tak malu lagi menunjukan wajah berantakan ini padanya. Aku memeluk Gupi pada akhirnya. Dan bisa merasakan kembali bulu-bulu dari tubuhnya meski tidak selembut dan seempuk dulu. Aku bahagia kita disatukan kembali. Rasa nyaman itu membangkitkan rasa aman setelahnya. Kau penolongku, Gupi. Kau hebat!
.
#####
.
"Aaa...!" Oliv menyuapiku dengan bubur buatan Gupi pagi ini. Begitu juga dengannya yang duduk tepat di sampingku berbaring. Ikut membuka mulut saat sendokan bubur hangat ini mendekati wajah kami berdua.
.
Setelah selesai, Oliv pun mengganti balutan perban ini dengan perban baru dibantu oleh Gupi yang dengan cekatan mengambil alat apa saja yang dibutuhkannya. Melihat ini aku tertawa, terlebih dengan wajah polos Gupi yang tengah mengambilkan gunting untuk Oliv.
.
"Heh, Alex. Apa gigimu masih lengkap?" Tanya Gupi padaku tiba-tiba.
.
"Oh itu. Aku mencabutnya sendiri sebanyak 4 buah saat bermasalah dengan seekor sapi," jawabku padanya. Mendengar itu, entah kenapa dia begitu kecewa sekarang, terlihat dari wajahnya yang berpaling dari melihatku "memangnya kenapa, Gupi?"
.
"Sebaiknya jangan sampai kau memberikan itu pada mereka!" Bentak Gupi tiba-tiba yang membuatku terkejut. Sifatnya benar-benar berbeda dari sebelumnya.
.
Sepertinya ia tahu apa maksud dari gigi-gigi itu. Dimana sebuah pertanyaan yang selama ini ingin aku cari jawabannya.
.
"Sebenarnya untuk apa gigi-gigi graham itu?" Tanyaku pada Gupi.
.
Dia masih dengan wajah marahnya saat kembali menoleh padaku "itu adalah bahan baku agar kalian para manusia bisa benar-benar menjadi patuh pada kami para hewan!"
.
"Hah? Apa maksudmu?" Berbeda denganku yang terkejut atas apa yang Gupi katakan, Oliv hanya fokus melingkarkan perban di perutku. Seakan hal ini sudah ia ketahui sebelumnya.
.
"Kami para hewan tahu sifat manusia yang bisa berbelot kapan pun ia suka. Sejak awal manusia berjaya, kami memperhatikan semua tingkah kalian hingga salah seorang tak dikenal berhasil membuat kami bisa menjadi seperti ini. Hingga timbullah rasa ingin balas dendam." Terangnya padaku.
.
"Lalu?"
.
"Ada sebuah tempat di mana gigi-gigi itu dikumpulkan. Aku mendengar bahwa stock nya masih belum cukup untuk seluruh umat manusia. Jadi, mereka masih mencari dan mencari. Hanya bagian gigi graham depan saja dan itu 4 di masing-masing orang kecuali..." Ucapannya tertahan di sana. Seperti ada sesuatu yang tak ingin ia katakan.
.
"Kecuali apa? Katakan!"
.
Setelah dipaksa pun ia tak mau menjawab pertanyaan itu. Tapi tiba-tiba Oliv angkat bicara setelah selesai dengan perban-perban ini.
.
"Kecuali gigi susu yang semua jenis giginya bisa dijadikan bahan baku." Lanjut Oliv dari perkataan Gupi yang dipotong.
.
.
Bersambung....

Humanity (Indonesian Story)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin