70%

2K 345 19
                                    

Untuk kedua kalinya di bulan ini, Felix terbangun di kasur pondoknya. Bedanya, kini ia ditunggui tiga saudara laki-lakinya—Lee Gunmin dan si kembar Son Dongmyeong-Son Dongju. Suasana kamarnya masih sama saja sejak beberapa minggu yang lalu ia pergi dari sini dan kembali pulang, tapi wajah ketiga saudara laki-lakinya terlihat aneh.

 Suasana kamarnya masih sama saja sejak beberapa minggu yang lalu ia pergi dari sini dan kembali pulang, tapi wajah ketiga saudara laki-lakinya terlihat aneh

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

(Lee Gunmin)


(Son Dongmyeong - Son Dongju)

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

(Son Dongmyeong - Son Dongju)


Terutama Gunmin, ia terlihat ketakutan, tapi berusaha untuk tersenyum walau Felix pun tahu ia sedang terpaksa. Disisi lain, si kembar hanya membawakan bubur dengan wajah datar.

Tunggu, ada yang aneh. Felix yakin suatu hal baru saja terjadi.

Sangat yakin.

Dengan suara serak, Felix bertanya,"Kenapa aku disini?"

Ketiganya sempat lempar pandang sebelum satu per satu menggeleng pelan dan keluar dari kamar Felix—menolak untuk ditanyai lebih lanjut.

Diluar, langit menggelap bersamaan dengan suara burung hantu dan para pekemah yang mulai beristirahat dari latihan perang ataupun turnamen tertentu. Beberapa kali terdengar dentingan besi bertumbuk dari pondok Ares. Jangan tanya. Anak-anak Ares memang begitu, mendedikasihkan sebagian besar waktu mereka untuk adu kekuatan.

Otaknya memaksa untuk memutar memori suatu hal, berdengung nyaring hingga berdenyut sana sini dengan cepat. Menyelam untuk menemukan memori terbaru yang Felix ingat, tapi sia-sia.

Ia tidak ingat apapun.

Tidak sedikitpun.

Ia berhak untuk marah, tapi tidak tahu ingin marah pada siapa. Lebih tepatnya ia tidak boleh lagi punya hak untuk marah. Sudah terlajur, mau bagaimana lagi? Kalau sudah hilang, sukar kembali. Kenapa harus marah pada yang menghapusnya sekalipun Felix tahu pelakunya.

Semua yang sudah terjadi tidak mungkin terulang dan semua yang hilang akan tidak akan kembali.

Itu hukum alam.

Tidak ada yang bisa untuk melanggar hukum alam. Lagian seseorang yang menghapus ingatannya pasti memiliki alasan tersendiri. Entah baik atau buruk, yang jelas Felixlah yang akan kena imbas. Bukankah, begitu?

Mungkin Felix bisa menyangkalnya dengan pepatah, karma masih berlaku, tapi bagaimana kalau orang yang ini kebal dengan pepatah tersebut?

Felix menarik diri dari pikirannya ketika seorang wanita paruh baya dengan daster dan apron biru kusam masuk ke kamar. Ditangannya ada semangkuk bubur hangat dan jus nanas.

Omong-omong Felix benci jus nanas. Felix bilang, rasanya gatal.

Untuk pertama kalinya, Felix mengdengus kasar pada Sang Wanita. Ya, untuk pertama kalinya seumur hidup dan mungkin seterusnya.

"Ibu bisa jelaskan padaku?"

Wanita itu—Aphrodite dalam bentuk manusianya—menarik kedua sudut bibirnya lebar, menciptakan sebuah senyum mematikan. Manusia yang melihatnya mungkin akan langsung jatuh cinta dan tergila-gila. Tapi ini Lee Felix; anaknya, darah dagingnya, keturunannya. Buat apa Felix jatuh cinta pada sang Ibu jika pada dasarnya pemuda itu memang sudah cinta pada ibunya dari lahir.

"Memang apa yang perlu ibu jelaskan?"

Felix kesulitan menelan ludah.

Memang apa? Ia saja tidak tahu apa yang menyebabkan sudut hatinya berdenyut pelan—tidak sakit, hanya usaha untuk menunjukkan ada sesuatu yang mengisinya dengan suasana sedih mendalam. Tidak mungkin Felix menanyakan hal ini pada sang Ibu.

Pada akhirnya, Felix tetap menyuarakan rasa penasarannya yang mengebu-gebu,"Aku merasa kurang," Felix  menundukkan kepalanya takut,"mungkin Ibu tahu alasannya."

Aphrodite menaruh bubur dan jus nanas di meja nakas dekat ranjang Felix kemudian duduk di sebelah pemuda yang setengah badannya masih terbungkus selimut,"Semua hal terjadi karena suatu alasan, baik alasan yang dapat diketahui maupun tidak, baik ataupun buruk."

Aphrodite berlalu keluar kamar, meninggalkan Felix dengan bubur, jus nanas dan ponselnya yang tergeletak di ujung ranjang. Felix meraihnya ogah-ogahan, menyalakannya dan membaca pop-up pesan dari orang yang tidak dikenalnya.

Isinya terlalu aneh, tapi Felix merasa familiar.

Sialnya, ia sedang tidak ingat apapun, jadi pesan-pesan itu hanya angin belaka. Tangannya bergerak cekatan, menghapus seluruh pesan karena dirasa memori ponselnya hampir penuh, memblokir nomor sang pengirim dan mulai bermain di SNS. Namun, nama yang sama kembali muncul di kotak pesan SNS-nya.

Felix mendecih kesal,"Ck, siapa sih Hwang Hyunjin ini?"

to be continued

son of aphrodite • hyunlixDonde viven las historias. Descúbrelo ahora