Senja Pertama

27 1 0
                                    

Malam hari.

Suara sirine Polisi dan ambulan terus saja berbunyi, mengganggu ketenangan malam. Mengganggu aku, mahasiswi fakultas informatika dan komunikasi tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi. Sudah beberapa bulan terakhir, selalu saja terjadi pencurian yang berujung pembunuhan disekitar wilayah kosanku. Pembunuhannya unik, hampir sama semua motifnya, selalu terjadi saat senja, tidak diketahui siapa pelakunya, tanpa bukti, dan tanpa jejak sama sekali. Ini tentunya membuat aku sangat takut, aku gadis yatim piatu , tinggal seorang diri, berjuang kuliah berangkat pagi hingga petang dan melanjutkan dengan kerja paruh waktu di cafe sebagai pelayan. Itulah aku. Amelie Mentari. Yang kini mulai terganggu dengan beberapa kejadian pembunuhan di lingkunganku.Setiap hari aku di sibukkan untuk mencari uang, karena bagaimanapun aku harus terus berjuang, tiada yang bisa membiayaiku, meskipun orang tuaku meninggalkan deposito dengan nominal tinggi, namun aku tidak mau menggunakan deposito tersebut untuk saat ini. Itulah alasan kenapa aku harus pulang larut malam. Dan karena kejadian ini, aku menjadi lebih harus waspada jika mau pulang malam. Mereka yang membunuh tidak akan melihat kamu yatim piatu atau tidak, tidak ada belas kasihan dari mereka, bagi mereka jika targetnya memiliki harta, ya maka harus di bunuh. Maka dari itu, aku lebih memilih berpakaian sederhana, tidak terlalu mencolok, bahkan terlihat tidak rapi. Karena meskipun aku tidak kaya, tapi setidaknya mereka akan mengambil apapun yang ada padaku, salah satunya ponsel. Iya ponsel saja bisa di jadikan target pencurian yang berujung kematian, itu baru saja terjadi dua pekan yang lalu, ketika seorang wanita sedang diam di taman menunggu rekannya, ia sudah ditemukan tewas dan ponsel yang ia bawa sudah tidak ada padanya. Lagi-lagi tanpa jejak, tanpa bukti, dan tanpa tersangka. Ah, sirine ini sangat terdengar dekat. aku penasaran ingin mengintip keluar, siapa korban yang kini membuat keributan, aku terus berdiam di depan tv berharap berita terbaru muncul, benar saja berita itu ada. Dan korban kali ini adalah lelaki paruh baya yang tinggal seorang diri, tanpa anak dan cucunya. Sebentar, sepertinya aku tahu siapa kakek itu, kakek itu yang selalu membawa kucing nya kemana-mana, rumahnya tampak biasa saja tidak mewah, mengapa pencuri bisa sejahat itu pada pria tua? ah namanya juga pencuri, apapun akan ia lakukan demi mencuri. Kakek itu sangat baik, dia selalu menyiapkan makanan di depan rumahnya, bagi siapapun yang perlu makanan, bisa mengambilnya, aku pun pernah kesana, saat benar-benar tidak punya uang. Ah, mungkin pemandangan orang berkumpul untuk mengambil makanan di depan rumahnya kini tidak akan ada lagi. Dan akupun tertidur. 

Besok Pagi. 

Aku sudah bersiap untuk bimbingan skripsi dengan dosen ku, karena aku adalah mahasiswa yang pintar, jadi aku tidak memiliki hutang nilai mata kuliah, semua mata kuliah sudah ku ambil, dan tinggal ini satu lagi, skripsiku. Aku bercita-cita ingin menjadi jurnalis, wartawan, reporter dan apapun lah itu. Yang jelas aku ingin mengungkapkan semua kejahatan yang ada. Motivasi ini muncul ketika kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan, tidak ada satu wartawan atau siaran tv manapun yang meliputnya. Aku tidak tahu kenapa, namun setelah aku mencari tahu berita 5 tahun silam, ada salah satu media mengatakan bahwa yang menjadi tersangka dalam kecelakaan kedua orang tuaku adalah anak dari pejabat yang memerintah negeri ini, dalam keadaan mabuk. Ah, lagi-lagi hukum tidak berlaku jika tersangkanya adalah kerabat pejabat negeri. Miris, sehingga aku bermaksud ingin menjadi pengungkap kejahatan, meskipun aku tidak secanggih detektif, tapi instingku selalu benar. Apa yang aku lihat pasti aku ingat. Memori otakku yang menyimpan itu semua. Bahkan hal kecil saja aku ingat, warna sepatu yang digunakan supir bus saat aku berangkat kuliah adalah coklat muda. Aku sudah selesai bimbingan dengan dosenku, dan dosenku hanya mengkoreksi huruf yang salah, bukan dengan isi skripsinya. Ini yang membuat aku sepertinya lulus dengan cepat. Selesai dari sini aku akan segera berangkat ke cafe untuk kerja paruh waktu. Begitulah terus aktivitasku. Sesampainya aku disana, aku disambut pemilik cafe, dia sudah lulus, dan langsung membuka cafe, cafenya cukup terkenal di kalangan anak muda, jadi tak aneh lagi jika disini selalu penuh. Ya, dia adalah atasanku, berbeda satu tahun di atasku tubuhnya tinggi, tampan, sikapnya hangat, dan masih single, dia bernama Damar Prasetyo. 

"Hey Amelie. Selamat Sore." Ucap Damar hangat.
"Sore kak. Saya akan langsung bersiap-siap." Ucapku.
"Ya, jangan lupa upahmu aku simpan di loker, nanti pulang kerja kau bawa, ada sedikit bonus untuk biaya kuliahmu." Ucap Damar.
"Wah, terimakasih kak." Ucapku sambil bergegas ke ruang ganti pelayan. 

Aku segera membuka amplop berwarna coklat itu, dan uangnya betul saja ada disana, ini sangat banyak, bukan dua kali lipat upahku, tapi bahkan tiga kali. Aku sangat bersyukur, pas sekali dengan kebutuhanku untuk membayar wisuda. Sejak saat itu aku terus giat bekerja paruh waktu. Tidak mengenal lelah untuk menggapai cita-citaku. terus saja begitu hingga tanggal kelulusanku tiba. Dan waktu terus berlalu, aku sudah lulus wisuda, aku tidak memiliki teman dekat, tapi mereka semua memberi bunga penghargaan padaku, hingga kau temukan bunga tanpa nama di depan kosanku. Ah sedih, aku mengingat kebahagiaan bersama orang tuaku, sayang mereka tidak bisa melihat anak tunggalnya ini lulus kuliah. Dan aku pun mulai melamar pekerjaan kemanapun.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 01, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dingin SenjaWhere stories live. Discover now