Satu

44 6 9
                                    

"Jangan melakukan sesuatu hanya karena sebuah alasan, nanti kalau alasan itu hilang bisa-bisa kamu ngerasa perbuatan yang telah kamu lakuin itu rasanya percuma."

Tirai jendela kubuka, membuat sinar mentari perlahan mulai menerangi sebagian kamarku. Udara segar khas pagi hari membuatku bersemangat. Aku selalu bepikir jika pagi adalah sesuatu yang istimewa.

Pagi terlalu cepat bertamu, meski rasanya kita tak siap tuk bertemu.

Biarpun begitu pagi selalu menjadi waktu yang kutunggu sebab aku yakin pagi yang menyenangkan akan menjadi awal dari sebuah hari yang menyenangkan pula.

Pagi ini si raja langit mulai meninggi, ia bersinar cerah. Tak seperti beberapa hari sebelumnya, pagi diawali hujan dan langit berawan mendung.

Maklum, Oktober termasuk bulan dengan cuaca yang sering berubah rubah di sini, kadang panas dan kadang pula dingin.

Usai sarapan aku bergegas pamit mengambil tas serta beberapa buku yang akan kubawa, memakai helm dan segera berangkat menggunakan motor kesayanganku.

Kulihat langit yang biru tanpa awan, indah. Bunga bunga di sepanjang jalan juga tampak mekar, cantik sekali.

Namaku Rana, aku kelas delapan smp. Gadis berumur empat belas tahun yang hobinya membaca dan mengarang cerita.

Setibanya di sekolah, setelah memarkirkan motor, aku berjalan menuju kelasku, ruangan pertama yang terletak di sebelah kanan dari tempatku berada kini.

"Ran!" teriakan nyaring membuat langkah kakiku terhenti, aku berbalik dan melihat seseorang berjalan ke arahku.
Gadis yang menghampiriku ini namanya Shasa, sahabatku.

"Eh Sha, kenapa sih senyum-senyum?" aku bertanya pada Shasa ketika ia sudah berada di depanku, sedari tadi raut wajahnya yang berseri-seri membuatku heran.

Shasa mengangguk. "Ran, tau gak katanya mulai minggu depan, ada bimbingan buat olimpiade loh," ucapanya diakhiri sebuah senyuman.

Mataku berbinar aku segera bertanya pada Shasa, "Oh, ya? Kamu ikut apa? Ikut Ips yuk, Shasa." Shasa mengangguk sebagai jawaban. Dari dulu aku memang sangat suka pelajaran ips.

Shasa diam sebentar lalu berkata, "Oh iya Ran, aku denger orang yang kamu suka bakal ikutan juga loh."

"Beneran Sha? Masa sih?" tanyaku tak percaya.

Shasa tak menjawab ia malah menertawakanku. Dia hanya mengerjaiku ternyata, dasar. Kami terus mengobrol sembari berjalan menuju kelas.

********

Malam harinya setelah makan malam, aku membantu ibu membereskan dan mencuci peralatan makan. Aku juga ingin ngobrol dengan ibu tentang bimbingan ips yang dikatakan Shasa tadi pagi.

Raut wajah ibu berubah jadi tidak suka ketika aku baru menceritakan sebagian, ia lalu bertanya padaku, "Disuruh ikut memangnya?"

"Ya enggak sih tapi, boleh kan, Bu?" Aku memasang raut wajah memohon pada ibu.

"Gak usah lah, lebih baik kamu ikut les matematika aja, daripada ips, gunanya untuk apa?" Nada suara ibu meninggi, ibu marah.

Kalau sudah marah rasanya apapun yang kukatakan pada ibu pasti dianggap salah.

Melihat aku yang hanya diam, ibu lantas berbicara, "Ada pr gak? Kalau ada belajar sana sekalian masukin jadwalnya untuk besok."

Aku mengehela napas kecewa, "Iya, Bu," jawabku pelan setelah itu aku langsung pergi memasuki kamar.

Melihat reaksi ibu yang seperti tadi. Sepertinya akan susah, ucapku dalam hati ketika memasuki kamar.

*******

Esoknya ibu menghampiriku, "Besok kamu mulai les matematika ya," ucapnya tiba-tiba ketika aku sedang sibuk memainkan hp di ruang tamu.

"Gak usahlah Bu," tolakku pada ibu. Besok juga hari yang sama dengan jadwal bimbingan olimpiade ips yang pertama.

"Terus gimana? Ulangan matematikamu kan banyak yang remedial," ledek ibu.

Aku mengerucutkan bibir, menjawab tidak suka, "Ya, nanti adek belajar." Belajar ips, lanjutku dalam hati.

"Yaudah makan dulu sana, dari pulang sekolah bukannya makan malah main hp terus," ucap ibu sambil beranjak pergi memasuki kamarnya.

"Iya, nanti!" jawabku agak keras.

Aku ingin sekali mengikuti olimpiade ips, selain semakin menambah pengetahuan juga menambah pengalamanku.

Sejak dulu aku selalu merasa jika ips adalah pelajaran yang menarik, entah itu tentang sejarahnya, geografi atau bahkan ekonomi.

Semua itu telah membuatku menyukai pelajaran ips, yang hampir semua orang sependapat jika pelajaran ini, membosankan dan tidak menyenangkan sama sekali. iya, kan? Apalagi bagian sejarahnya.

Aku pergi ke dapur sebab perutku sudah berbunyi sedari tadi.

Di dapur aku melihat ibu sedang memotong beberapa buah mangga, kayaknya buahnya manis, pikirku.

"Oh iya dek, jangan melakukan sesuatu hanya karena sebuah alasan, nanti kalau alasannya hilang bisa-bisa kamu ngerasa perbuatan yang kamu lakuin itu rasanya percuma," ujar ibu.

"Apa sih Bu, adek gak ngerti," kataku sambil tertawa.

Ibu hanya menggelengkan kepalanya, melajutkan mengupas buah yang lain.

"Bu, besok kayaknya gak bisa les soalnya setiap kamis pulangnya sore, ada jam tambahan," bujukku pada ibu, tentunya dengan sedikit kebohongan.

Setelah diam memikirkan, akhirnya ibu menjawab iya.

********



















Bersambung....

Sweet PeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang